Chapter 1-Bola Daging
Drett, Suara pintu terbuka membuat suasana kelas di jam istirahat yang santai menjadi terfokuskan kearah pintu yang baru saja dibuka dengan keras.
Ada satu anak laki-laki dengan wajah tegas menatap tajam keujung kelas. Disana terdapat satu anak lelaki sepantarannya, hanya saja tubuhnya pendek dan bulat mirip seperti bola basket. Juan namanya, raut wajahnya terlihat suram dan ketakutan. Dibelakang anak lelaki tadi terdapat 2 orang temannya yang ikut memasang wajah tegas meskipun sebenarnya tidak cocok dengan penampilan mereka.
Dengan langkah yang kuat si anak laki-laki mulai berjalan ke arah Juan diikuti oleh dua orang temannya dibelakang. Berhenti persis di samping Juan lalu si anak laki-laki itu mulai berbicara.
"Pulang sekolah nanti kita bertemu di belakang sekolah."
Matanya menatap kearah Juan menunggu jawaban darinya. Sementara Juan semakin ketakutan dengan tekanan yang diberikan oleh Dino juga Bian dan Yuda yang ikut memberikan tekanan ke arahnya. Kesal dengan Juan yang tidak menjawab sama sekali, kini Bian memukul meja Juan sebagai bentuk kekesalannya pada Juan. Dengan begitu Juan pun menjawab meskipun terbata-bata.
"B- baik"
Sudah puas mendengar jawaban untuknya barusan, Dino pergi keluar kelas meninggalkan Juan duduk terpatung dibangkunya. Kelas masih dalam keadaan hening sesaat setelah Dino juga teman-temannya keluar kelas, namun tidak lama kemudian seisi kelas mulai ramai kembali seolah kejadian tadi tidak terjadi sama sekali.
Satu menit berlalu, kemudian menjadi dua menit, lima menit dan hingga 10 menit berlalu Juan masih terpatung dibangkunya. Setelah itupun tidak ada satu orangpun yang mendekatinya untuk menanyainya ataupun menenangkannya hingga bel kembali berbunyi, menandai sudah berakhirnya waktu istirahat.
***
KRIIIING
Dering bel yang menandakan tibanya waktu pulang sekolah berdering dengan keras sampai mampu merubah wajah murid yang tadinya lesu dan kosong menjadi segar dan tanpa beban. Ditengah ramainya kelas yang sedang mengantre untuk keluar, Juan semakin ketakutan karena Dino dan teman-temannya yang sudah menunggunya di belakang sekolah.
Juan ingin kabur dari ini semua, pergi meninggalkan kota dan memulai kehidupan baru. Namun, dia tidak punya cukup keberanian untuk melakukan itu semua. Dia hanyalah anak seorang pedagang baso keliling dan tinggal mengontrak bersama kedua orang tuanya. Apa yang akan dia katakan kepada kedua orang tuanya begitu dia mengatakan bahwa putra mereka satu-satunya, yang selama ini mereka kenal sebagai seorang siswa teladan yang memilki kehidupan layaknya anak SMA pada umumnya ternyata merupakan seseorang dibully setiap harinya. Juan menahan semua penderitaan itu selama delapan bulan sembari memikirkan apa kesalahannya pada Dino dan temannya.
Semua ini bermula saat jam istirahat kedua di bulan September. Saat itu Juan bersama dua orang temannya sedang membeli makan siang untuk disantap bersama. Juan diberikan uang saku oleh orang tuanya hanya cukup untuk membeli roti kacang dan sisanya dia simpan untuk ditabung. Disaat mereka sedang makan di kantin, datang satu gadis berseragam putih dengan rok abu-abu sampai ke mata kaki.
"Juan... Aku minta rotimu dong." Namanya Melinda atau biasa disapa Linda, dia merupakan gadis yang cukup populer dikarenakan sifatnya yang cukup ceria sehingga memiliki banyak teman di sekolah. Wajahnya juga cukup cantik dengan rambut pendeknya yang berwarna hitam, selain itu dia juga juga merupakan pacar Dino sehingga tak ada yang berani macam-macam dengannya.
Tangannya langsung menyambar roti yang belum sempat Juan santap dan merobek bagian kecilnya untuk dia makan. Tidak lama kemudian potongan roti itu menghilang begitu masuk kemulutnya. Setelah itu Linda lanjut berkeliling kantin dan tak terlihat dari oleh pandangan Juan dan temannya.
***
"Juan!! pinjam catatan matematikamu, aku mau salin semuanya."
"Sudah dipinjam Geri."
Dengan begitu, ramai anak laki-laki dikelas itu mencari Geri. Juan terkenal cukup pandai dikalangan anak laki-laki dikelas. Nilainya terbilang cukup bagus sehingga selalu mendapat peringkat 5 teratas di kelas. Terlebih lagi, ia juga suka membagikan jawaban-jawaban miliknya, karena itu banyak yang berteman dengan Juan.
Sampai ketika Dino datang ke kelas Juan dengan wajah yang terlihat sangat marah. Matanya terus bergerak berputar-putar mencari seseorang. Dibelakangnya masih terlihat Bian dan Yuda yang selalu mengekor kemanapun Dino pergi. Sambil berjalan masuk kedalam kelas dan terus mencari seseorang, tidak ada seorang pun dikelas yang berani bersuara ketika ada Dino. Seberat itu tekanan yang dapat ia berikan hanya dari kehadirannya. Sosok teratas yang paling disegani disekolah bahkan oleh kakak kelas dan adik kelas semuanya tunduk kepada Dino.
Begitu sampai tepat di depan Juan. Dino berhenti berjalan. Badannya menunduk mensejajarkan kepalanya dengan Juan yang sudah banjir keringat.
"Siapa namamu?" Suaranya berat dan kuat. Itulah suara dari sosok puncak disekolah ini. Sosok yang tidak akan pernah bisa Juan capai pikirnya, dan sedang berbicara dengan marah kepadanya.
'apa yang sudah kulakukan? Kenapa dia marah kepadaku? Apa salahku? Kenapa?' pikir Juan dalam benaknya yang terdalam. Pertanyaan-pertanyaan lain terus terpikirkan olehnya sementara Dino masih menunggu pertanyaannya terjawab.
Tangannya yang kuat mencengkeram bahu bulat yang sudah basah dengan keringat. Juan melengking sehingga terjatuh berlutut dari kursinya. Bahu kanannya terasa seperti akan hancur jika terus ditekan seperti itu.
Selagi memperhatikan Juan yang sedang berlutut kesakitan, Dino membaca papan nama milik Juan dibajunya. Tertulis Midwan Biru yang merupakan nama asli Juan. Mata Dino yang terlihat tajam sedikit terbuka saat membaca nama orang yang ia cari-cari akhirnya ketemu.
"Datanglah ke belakang sekolah begitu bel pulang sudah berbunyi. Jangan sekalipun berpikir untuk lari karena aku akan mengejarmu sampai kemanapun itu." Setalah menyelesaikan kalimatnya ia melepaskan cengkeramannya di bahu Juan agar ia dapat menjawabnya.
Juan buru-buru menjawab suruhannya kali ini dengan terbata-bata. "B-baik."
Sejak saat itulah kemampuan berbicaranya menurun sehingga ia berubah menjadi gagap. Puas mendengar Juan yang akhirnya menjawab, Dino membalikkan badannya menuju keluar kelas. Tanpa menjelaskan apa-apa kepada Juan terduduk lemas dilantai memegangi bahunya yang ingin hancur.
"Hei kau tahu? Aku dengar Linda pingsan di kantin." Celetuk salah satu teman sekelasnya. Juan pun ikut mendengarnya namun masih terdiam tanpa mengeluarkan kata, pikirannya langsung penuh dengan pertanyaan-pertanyaan baru.
'apa hubungannya itu denganku? Aku bahkan tidak pernah berbicara langsung dengan Linda sampai istirahat tadi."
"Benarkah?"
"Kok bisa?"
"Tapi kenapa Dino mendatangi Juan?"
"Ya itu tidak ada hubungannya."
Teman-teman yang lain juga tidak ada yang mengerti.
"Bukankan Linda pingsan karena gejala dari alerginya? Aku lihat Juan memberinya roti kacang saat istirahat."
"Huh?" Jadi semua ini hanya karena roti kacang? 'Omong kosong.' Juan bahkan bukan orang pertama yang memberikan rotinya. Faktanya adalah Linda sendiri yang memakan roti kacang tersebut.
"Semua orang tahu kalau Linda punya alergi dengan kacang, kenapa kau malah memberikan rotimu pada Linda?"
Juan bahkan baru tau alerginya Linda beberapa detik yang lalu. Jika ia menjelaskan secara baik-baik kepada Dino pasti dia akan dimengerti sehingga dapat menyelesaikan masalah ini pikirnya. Semangat Juan kembali bangkit melihat kemungkinan tersebut.
Tidak lama kemudian waktu istirahat berakhir dan semua kembali ke bangkunya masing-masing. sementara Juan terus merangkai kata-kata menjadi kalimat yang akan dia katakan nanti kepada Dino.
Beberapa jam berlalu, bel kembali berbunyi menandakan waktunya pulang. Juan segera berlari menghampiri Dino. Diantara himpitan manusia di koridor, badan bulat Juan terus bergerak diantara mereka. Pikirannya masih mempersiapkan kata-kata yang akan ia katakan nantinya selagi kakinya terus bergerak secepat yang ia bisa.
Sesampainya disana, ia melihat tumpukan-tumpukan meja yang rusak dan kotor tersebar dimana mana. Bersama ilalang yang menjulai tinggi dan s****h terserak menandakan bagaimana tak terurusnya tempat ini. Bagaikan sebuah tempat yang sempurna bagi Dino untuk merundungnya.
Ditengah-tengah tumpukan meja terdapat Dino dan dua kacungnya yang selalu menempelinya kemanapun dia berada. Ditangan mereka terdapat tembakau yang tergulung kertas yang sudah dibakar sehingga asap yang ditimbulkan membuat Juan terbatuk. Selagi berjalan dengan langkah kecil, tubuh bulatnya dengan jelas terlihat oleh Dino dari jauh.
"Kenapa Babi itu jalannya lambat sekali?" Ucap Bian pertama kali. Sifatnya sudah terkenal menjengkelkan diatara mereka bertiga, dan terbukti dengan kalimatnya setelah ini.
"Aku hitung sampai tiga kalau kau tidak berlari dan belum sampai disini aku akan memukulmu lho!"
Juan yang mendengarnya tersontak dan segera berlari kearah mereka bertiga.
"Tiga..."
Badannya yang terlihat bulat ditambah kakinya yang kecil terlihat lucu ketika berlari sehingga ketiga orang yang melihatnya tidak mungkin tidak tertawa.
"Dua... Satu."
Tepat ketika Bian selesai menghitung Juan terjatuh terguling didepan mereka. Wajahnya mencium tanah sehingga terlihat lipatan lemak di pundaknya. Sementara Bian kembali dengan aksi jahilnya membuang bara tembakau yang sudah terbakar diatas pundak Juan sehingga terbangunlah ia dari posisinya tadi.
"Aa-aku minta ma-af..." Wajah Juan terlihat menunduk sembari tergagap saat berbicara. Sekali lagi ia mencoba membuka mulutnya meskipun terasa sangat berat. Ia akan menjelaskan kesalah pahaman tentang Linda dan dirinya.
"Ll-Linda yang meng...ambilnya."
"Huh?" Sedari awal tadi Dino hanyalah memperhatikan Juan dan belum berbicara sama sekali. Namun, baru kali inilah dia membuka mulutnya saat mendengar Juan menyebut nama pacarnya itu.
"Apa maksudmu?"
"Hik.. Ss saat istirahat tadi Linda dd-datang dan bilang kalau dia ingin aku m-membagi roti kacangku, nn-namun dia langsung mengambilnya dan pergi."
Tangannya mengepal kuat. Badannya tegang setelah berhasil mengatakan yang sebenarnya terjadi. Meskipun tidak sesuai dengan kata-kata yang sudah ia persiapkan sebelumnya namun ia tetap senang karena telah berhasil mengatakannya. Harapannya ialah semoga ini semua cepat selesai dan dia dapat kembali pulang.
"Hei apa maksudmu kau bilang kalau-"
"Lalu?"
Bian yang sudah tersulut emosi mendengar kalimat Juan barusan tidak terima sementara Dino memotong Bian seolah apa yang Juan katakan barusan tidak ada hubungannya sama sekali.
"Huh?"
"Kau kira aku memanggilmu kesini hanya karena dia pingsan?"
'bukankan semua ini memang karena hal itu? Jika bukan lalu apa?' pikir juan dalam benaknya. Ia hanya terbingung mendengar jawaban tidak peduli Dino.
"Memang awalnya aku memanggilmu kesini karena ingin menghajarmu. Tetapi aku berubah pikiran."
Mendengar kalimat Dino bagai menaiki roller coaster bagi Juan. 'karena ia berubah pikiran apa berarti masalahnya sudah selesai?' Namun, Dino belum selesai berbicara.
"Kau pasti anak orang kaya. Badanmu gemuk seperti babi dan nilaimu bagus. Orang tua mu pasti memasukkan mu kedalam Les dan memberikan makan 5 kali sehari untukmu."
Juan tercengang mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Dino. Faktanya Juan hanyalah anak seorang tukang baso keliling yang hidup pas pas an. Dan dia harus belajar sampai larut malam setiap hari agar dapat mengikuti pelajaran disekolah. Selain itu, badannya yang gemuk merupakan faktor genetik dari kedua orang tuanya yang juga berbadan besar.
"Berikan aku lima puluh ribu rupiah setiap hari dan kerjakan semua PR ku."
Mengerjakan PR bukanlah hal yang sulit bagi Juan, namun jika itu berurusan dengan uang sudah merupakan hal yang berbeda lagi. Darimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak lima puluh ribu rupiah setiap harinya sementara uang jajannya hanya lima ribu perhari. Juan segera menjelaskan kesalah pahamannya kali ini kepada Dino. Ia menjelaskan semua kondisi keluarga, kondisi genetik badannya, hingga kesalah pahaman tentang Les ditempat ternama.
Setelah menjelaskan tentang semua itu kepada Dino. Wajah Dino berubah menjadi merah dan tegas. Rokok yang selama ini dipegangnya terjatuh dan tangannya menghilang dari pandangan Juan. Pandangannya menjadi gelap dan wajahnya terasa panas. Itulah pertama kalinya Juan merasakan pukulan dari sosok teratas di sekolah.