BAB 10 Teknik Pedang Nao

1819 Words
Nao pun mulai menggerakkan pedang yang selalu menemaninya dalam latihan. Sejak ia mendengar percakapan guru dan ibunya mengenai fisik dan kemampuannya yang lemah. Nao pun memutuskan untuk berlatih cukup keras. Setelah latihan dengan gurunya, anak lelaki itu hanya makan sebentar lalu kembali berlatih seorang diri di halaman rumahnya. Kadang sang ibu dan ayah menegurnya. Tapi, ia tetap tidak perduli dan kembali berlatih. Kedua telapak tangannya sudah sangat merah dan memar akibat keseringan memegang pedang. Namun, keinginnanya yang sangat kuat membuat rasa sakit yang ia rasakan menjadi hilang. Yang ada dalam pikirannya hanyalah tes penerimaan siswa baru. “Aku harus berhasil. Aku tak boleh membuat malu ibu dan ayahku,” batin Nao. Anak lelaki berusia sepuluh tahun itu menggerakkan pedangnnya ke kiri dan ke kanan dengan sangat lihai. Sekilas beberapa siswa kagum namun ada juga yang menatap gerakan Nao sangat biasa. Nao melempar pedangnya ke atas langit. Para siswa pun mengikuti arah pedang yang Nao lempar. Sekilas Nai tersenyum lalu melompat dan menangkap pedangnya dengan sangat mudah. Namun ... Nao meringis kesakitan saat kedua kakinya mulai menapakkan di lantai. Walau begitu ia tetap melanjutkan aksinya dan memperlihatkan teknik pedang pertama yang sangat indah dan lihai. Sisa dua teknik lagi yang harus ia perlihatkan. “Aku mohon bertahanlah,” batinnya saat merasakan sangat nyeri di pergelangan kakinya. Di antara para siswa. Ken yang sedari tadi memperhatikan Nao menyeringai saat sekilas ia melihat wajah Nao yang seperti menahan sakit. “Sepertinya dia terluka. Semoga saja dia tidak lolos,” batin Ken yang masih setia memperhatikan pertunjukan yang dilakukan Nao di atas panggung. Nao kembali menggerakkan tubuhnya dengan lihai. Namun, saat ia akan melompat dan berusaha memperlihatkan gerakan indahnya. Kedua kakinya tak bisa lagi bertahan. Pedang yang sedari tadi Nao pegang pun terjatuh di lantai. Para siswa pun serontak berseru prihatin. Sedangkan ke tiga juri yang ada di tiap-tiap sisi panggung menggelengkan kepalanya. Nao pun terduduk dengan lemas di panggung. Aku sudah gagal pikirnya. Usaha yang ia lakukan selama tiga bulan hanya sia-sia. Keringat dingin menghiasai tubuhnya saat itu juga. Ia menatap para juri dengan tatapan sendu. “Sepertinya Nao tidak bisa melanjutkan keahliannya. Sepertinya kakinya keseleo,” ujar sang host dan naik ke atas panggung. “Tapi, kita lihat saja bagaimana pendapat ketiga penitia kita.” Nao pin berusaha beridir dengan tubuh gemetar dan penuh kecemasan. Ia telah melakukan kesalahan. Tak hanya Nao. Para siswa yang lain pun ikut deg degan saat menunggu penilaian dari sang penitia tes. Ke tiga penitia itu terlihat saling berbisik-bisik dan sesekali mengangguk. Lalu tak lama kemudian, seorang penitia mengangkat kode X lalu di susul oleh penitia ke dua dengan kode X juga. “Sepertinya dia sudah dinyatakan gagal,” batin Ken. Tak hanya Ken para siswa juga memiliki pemikiran yang sama. “Nao telah mendapatkan dua kode X. Sisa satu penitia lagi. Dan ini akan menjadi penentu apakah Nao di terima atau tidak.” “Kita hitung sama-sama!” “Satu!” “Dua!” host dan para siswa menghitung bersama. “Tig_” pekikan mereka pun terhenti tiba-tiba. Saat seseorang yang tak dikenal tiba-tiba mendekati penitia terakhir dan membisikkan sesuatu. Penitai itu mengangguk dan lelaki tak di kenal itu pun pergi. “Sepertinya ada hal penting yang dibicakana oleh sang penitia dengan lelaki itu. Tapi, tak perlu membuang waktu banyak lagi. Kita hitung satu sampai tiga sekali lagi,” kata sang host saat lelaki itu telah pergi. “Satu!” “Dua!” “Tiga!” saat itu lah penitia terakhir mengangkat kode O dan Nao pun di nyatakan lolos dan akan di terima di Academic ini. Air mata Nao pun jatuh saat itu juga. Ia sangat bersyukur salah satu penitia memberinya kesempatan untuk belajar di Axademic ini. Hal yang paling ia inginkan saat ini. Walaupun ia berbeda, setidaknya ia bisa sekolah di tempat anak sebayahnya menuntut ilmu. Tapi, tanpa Nao sadari tatapan siswa yang lainnya menunjukkan ekspresi wajah yang tak biasa. Banyak dari mereka yang tak terima dengan hasil yang didapat Nao. Tak terkecuali Ken yang beridir di antara para siswa. Ken mengepalkan kedua tanganya kesal menatap Nao yang tersenyum bahagia. “Tak akan kubiarkan kau hidur enak di sekolah ini,” batin Ken. *** Nao dan Ken pun pulang ke rumah mereka. Nao dengan wajah ceria dan Ken dengan wajah yang sangat kesal. “Aku tidak menyangka aku akan lolos. Aku pikir aku tak akan di terima,” celetok Nao yang berjalan di belakan Ken karena kedua kakinya yang sakit jadi Nao hanya bisa berjalan dengan tertatih. “Penita terakhir itu baik sekali. Aku tak menyangka dia akan memberikanku kode O,” masih dengan berceletoh senang. Ken menghentikan langkahnya dan menatap Nao dengan wajah tak bersahabat tiba-tiba. “Ada apa?” tanaya Nao bingung. “Dengar yah! Saat di Academic nanti jangan berbicara denganku lagi. Karena aku tidak suka denganmu dan juga kau itu lemah dan tidak seharusnya kau di terima untuk sekolah di Academic,” kata Ken kasar. Kedua mata Nao pun seketika berkaca-kaca mendengar ucapan Ken yang sangat menyakitkan. Bukankah itu artinya Ken mengharapkannya untuk gagal. Ia tahu Ken sangat membencinya. Tapi, sebagai saudara yang tiggal di satu atap yang sama bukankah seharusnya ia dan Ken bedamai. Entah apa yang harus Nao lakukan akan Ken tak membencinya lagi. Sudah bertahun-tahun lamanya mereka saling membenci. Dengan suara lirih. Nao berkata. “Aku mengerti ...” Lalu Ken pun pergi meninggalkan Nao yang berjalan pelan di belakannya. Tak lama kemudian. Ken pun tersenyum melihat ibunya yang kini menyiram bunga di halaman rumah mereka. “Ma!” pekik Ken keras lalu segera memeluk tubuh ringkik ibunya. “Ken ... kau sudah pulang, Nak.” Sambil membalas pelukan Ken. Ken mengangguk dan melepas pelukan ibunya. “Iya, Ma. Aku lo_” “Arkh.” perkataan Ken pun terpotong saat Nao yang baru saja tiba terjatuh karena sudah tak kuat lagi dengan sakit yang ia rasakan pada pergelangan kakinya. “Nao!” pekik sang ibu cemas. Lalu meninggalkan Ken dan segera membantu Nao berdiri. “Kau tidak apa-apa, Nak?” tanya sang ibu cemas sambil menepuk-nepuk lutut Nao yang kotor. “Aku tidak apa-apa, Ma.” “Bagaimana hasilnya Nao? Apa kau lolos?” tanya sang ibu penuh harap. “Tentu saja aku berhasil,” ujar Nao senang membuat senyuman merekah di wajah ibunya dan segera memeluk Nao erat. Ken yang melihat ibu yang sangat perhatian dengan Nao semakin kesal dan membenci Nao. Selalu saja Nao yang menjadi nomor satu di hati ibunya. Sang ayah yang keluar dari rumah melihat wajah Ken yang sangat sedih lalu beralih menatap istri dan anaknya Nao. “Sepertinya dia cemburu lagi,” baitinnya lalu menghamoiri Ken. “Bagaimana hasilnya, Nak? Apa kau lolos tes?” tanya sang ayah. “Iya. Aku lolos,” ujar Ken dingin lalu berlalu meninggalkan ayah, ibu dan Nao menuju kamarnya. *** Ken dan Nao berangkat ke sekolah dengan perasaan senang dan gugup karena hari ini adalah hari pertama mereka sekolah. Jarak antara Academic dengan rumahnya tak terlalu jauh jadi mereka berjalan kaki ke sekolah baru mereka. Saat tiba di Academic. Ia melihat banyak siswa sebaya mereka yang berlalu-lalang di Academic itu. Ken memperhatikan sekelilingnya lalu tersenyum saat melihat seseorang yang ia kenal. “Aaron!” teriak Ken lalu menghampiri seorang anak lelaki yang baru saja tiba di Academic. Keduanya telah menjadi akrab setelah tes penerimaan siswa baru dilakukan. Nao memperhatikan Ken dan teman barunya lalu menundukkan kepalanya. Ia tak punya teman sama sekali. Lagian siapa yang ingin berteman dengannya. Dia hanyalah anak yang lemah dan tak memiliki kekuatan. Semua siswa yang ada di sekolah ini pasti lebih memilih untuk berteman dengan siswa yang punya kekuatan yang hebat. Sambil menunduk Nao berjalan menuju kelas barunya dan tak menyadari dua anak lelaki yang lebih besar dengannya sedang berjalan ke arahnya. Nao yang tak melihat kedua siswa tersebut tak sengaja menabraknya hingga ketiganya pun terjatuh di tanah. “Apa yang kau lakukan!” bentak kedua lelaki itu marah. Kedua lelaki itu bankit dari jatuhnya dan menatap Nao marah. “Maafkan aku. Aku tidak sengaja ...” lirih Nao. Sekilas saat Nao mengangkat kepalanya untuk melihat siswa yang ia tabrak menjadi gugup dan takut. “Gawat, dia anak kelas dua ...” batinnya. “Maaf? Kau pikir dengan kata maaf aku bisa memaafkanmu dengan mudah? Kau tidak tahu siapa yang telah kau takbrak?” “Maafkan aku. Sungguh aku tidak sengaja.” Pertengkaran yang di sebabkan ketiganya pun mengundang perhatian banyak siswa di Academic itu. Seketika Nao dan dua orang yang ia tabrak dikerubuni banyak siswa. “Ada apa di sana? Ayo kita lihat?” ujar Aaron pada Ken. Ken mengangguk dan keduanya pun berjalan cepat untuk melihat apa yang terjadi pada kerubunan yang ada di halaman sekolah mereka. “Maaf ... biarkan kami lewat. Kami juga ingin melihat.” Aaron dan Ken pun berjalan pelan dan masuk dalam kerubunan. Ken pun mengepalkan kedua tangannya setelah melihat apa yang terjadi. “s**l ... Nao berulah lagi,” batin Ken lalu berbalik pergi tanpa ingin membantu. Dari arah belakan Aaron mengikuti Ken. “Ice Arrow.” Sebuah panah es meleset cepat ke arah Nao. Nao yang punya kekuatan apa pun tak bisa berkutik saat panah itu melayang ke arahnya. Nao pun segera menutup kedua matanya saat panah itu akan mengenainya. Dan beberapa detik kemudian. Seorang lelaki tiba-tiba berdiri di hadapannya dan menangkap panah es itu. “Apa yang kalian lakukan!” bentak lelaki itu menatap kedua anak lelaki yang menyerang Nao dengan panah es. Seketika wajah kedua anak lelaki itu pucat pasih melihat siapa yang berdiri di depan Nao. “Guru ...” lirih keduanya takut dengan suara pelan. Seketika Nao pun membuka kedua matanya saat mendengar suara bentakan yang sangat keras. “Guru!” pekik Nao kaget saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Lelaki itu pun berbalik dan tersenyum. “Apa kau baik-baik saja?” tanya lelaki itu yang ternyata adalah guru yang disewa orang tua Nao untuk mengajar Nao beberapa teknik pedang. “Aku tidak apa-apa guru,” gumam Nao. Lelaki itu kembali menatap kedua anak yang telah melakukan k*******n tersebut. “Maafkan kami guru. Kami tak bermaksud untuk melakukan p*********n ...” “Aku tak mau tahu. Kalian berdua ikut aku sekarang juga,” tegas lelaki itu lalu berjalan pergi. Tapi, baru beberapa langkah Nao mencengah langkah gurunya. “Ada apa Nao?” “Jangan hukum mereka. Mereka tidak salah. Aku lah yang telah menabrak mereka dulan. Jadi aku mohon tolong maafkan mereka dan jangan menghukumnya ...” Reonald tersenyum dan mengacak rambut Nao. “Baiklah jika itu maumu. Aku akan memaafkan mereka dan tak menghukumnya.” Nao ikut tersenyum. “Terima kasih guru.” Sang guru pun menatap kedua lelaki yang menyerang Nao tadi. “Kali ini saya memaafkan kalian. Jadi ingat, jangan mengulanginya lagi. Mengerti!” “Mengerti, Pak!” pekik keduanya serentak. Lelaki bernama Reonald itu pun pergi setelah membubarkan para kerumanan siswa. Sedangkan kedua anak itu sekilas menatap Nao benci dan marah. “Tunggu pembalasanku,” batin lelaki itu dan meninggalkan Nao.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD