BAB 17 Kenyataan Pahit

1584 Words
“Ma ...” lirihnya. Ia kaget melihat ibunya yang kini berjalan ke arahnya. Nao menunduk takut. Ia tak tahu kenapa ibunya bisa ada di sini. “Kalian ...” Wanita paruh baya itu menatap dua teman Nao dengan tatapan kesal dan marah. Urat lehernya terlihat jelas dan wajahnya yang begitu marah terpampang membuat dua anak lelaki itu takut. “Jadi kalian yang selama ini menganggu anakku ...” geramnya marah, terlihat di kedua mata wanita paruh baya itu membara. Salah satu tangannya terangkat dan bersiap untuk memberikan ganjaran pada dua anak lelaki di hadapannya. Ia sudah melihatnya. Beberapa hari ini mengikuti anaknya membuat ia mulai mengerti dengan karakter mereka. Keduanya hanya menganggap Nao sebagai mainan, tak menganggap Nao teman. Ia tak bisa terima ini semua. Ia harus membalas mereka setelah apa yang di lakukannya. Mereka telah membahayakan nyawa anaknya. Jika ia tak ada di sana, dua panah itu pasti menancap di tubuh anaknya. “Kalian harus diberi pelajaran ...” geramnya. “Fire Ex_” “Tunggu, Ma!” pekik Nao cepat menghentikan ibunya. Ia tak ingin ibunya melukai dua anak itu. Nao segera memegang tangan ibunya yang terangkat. Sambil memberikan wajah memelas. “Aku mohon jangan, Ma ... mereka teman aku, Ma ...” lirih Nao memohon. Ia tak ingin ibunya melukai teman-temannya. Nao tak ingin masalah ini membuat temannya membeci dan tak ingin bermain lagi dengannya. Walau permainan keduanya membahayakan asalkan ia bisa punya teman, di Academic hanya dua anak itulah yang bersedia bicara dengannya. Akhirnya, karena tidak tega melihat wajah memelas Nao. Wanita itu pun menyerah dan balik memegang tangan anaknya. “Ayo kita pulang, Nak.” Wanita paruh baya itu menarik tangan anaknya menjauh dari dua anak lelaki yang sedari tadi hanya menunduk diam. Keduanya kembali ke rumah mereka. *** Saat keduanya tiba di rumah, Nao bisa melihat Ken duduk di ruang tamu sambil memakan cemilan. Ken hanya menatap mereka sekilas saat sang ibu membawa Nao ke kamarnya. “Ma. Kenapa kau terlihat sangat marah? Apa salahku ?” tanya Nao bingung. Keduanya sudah ada di dalam kamar Nao. Wanita itu menuntun Nao untuk duduk di kasurnya. “Nao ...”sang ibu terlihat bimbang saat ingin melanjutkan perkataannya. Tapi, ia tak bisa tinggal diam. Apa yang di katakan Reonald beberapa minggu yang lalu benar. Sepertinya Nao tak bisa lagi sekolah di Academic. Tak ada yang menyukai anaknya. Bahkan mereka membully anaknya. “Ada apa, Ma?” tanya Nao. Anak itu masih setia menunggu apa yang akan ibunya katakan. “Bagini, Nao. Sepertinya. Ibu harus mengeluarkanmu dari Academic.” “Apa!” pekik Nao kaget. Ia tak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut ibunya. Apa ia tidak salah dengar? Ibunya menyuruhnya untuk berhenti sekolah. Awalnya ia memang tak ingin sekolah. Tapi, setelah bertemu dengan dua teman barunya. Ia tak ingin lagi berhenti. Di tambah ada gurunya yang selalu berdiri disisinya. Jika ia berhenti bagaimana dengan masa depannya. Selamanya ia tak akan punya teman. “Ma ... apa aku salah dengar ...” lirih Nao. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Melihat bola mata itu yang mulai berkaca-kaca membuat hati wanita itu ikut sedih. Wanita itu berusaha menahan air matanya. Ia segera memeluk anaknya. “Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa melihatmu disiksa oleh mereka.” Nao seketika melepas pelukan ibunya. “Disiksa?” batin Nao. Anak lelaki itu menatap ibunya. “Ma ... aku tidak disiksa. Kami hanya sedang bermain ...” lirih Nao. “Tidak, Nao. Mereka tidak mengajakmu bermain. Mereka hanya mempermainkanmu.” Nao menggelengkan kepalnya. “Tidak, Ma. Mereka adalah teman baruku. Mereka tidak mempermainkanku. Mereka hanya mengajakku bermain sekaligus latihan.” Hati wanita itu terasa sakit mendengar pekataan polos anaknya. Jelas-jelasnya anaknya dibully. Tapi, Nao masih saja membela dan menganggap mereka teman setelah apa yang dilakukannya. “Apa kau sudah lupa. Dia yang telah meninggalkanmu di hutan. Mereka hampir saja membuatmu celaka. “ Nao terdiam. Ia tak bisa membantah perkataan ibunya. “Mama mau tanya. Apa kau menyukai mereka?” tanya sang ibu. Tanpa ragu Nao menganggukkan kepalnya. “Apa kau suka dengan permainan mereka?” pertanyaan kedua membuat Nao bingung. Ia suka saat ia di ajak temannya bermain. Tapi, permainan mereka membuat Nao merasa tidak nyaman. Sangat berbahaya dan kadang hampir melukainya. Perlahan Nao menggelengkan kepalanya. “Aku menyukai mereka berdua. Tapi, aku tidak suka dengan permainannya,” jawab Nao polos. Sang ibu sekali lagi memeluk anaknya. “Itu artinya. Mereka tidak menganggapmu teman, Nao. Dia hanya mempermainkanmu.” Nao melepas pelukan ibunya cepat. “Tidak, Ma. Mereka tidak mempermainkanku.” Anak kecil itu masih bersikeras membela teman barunya. Sang ibu menggelengkan kepalanya. “Mereka bukan sahabatmu, Nao. Sahabat adalah seseorang yang selalu membuatmu nyaman. Seseorang yang akan selalu berada di sampingmu. Mereka tak akan pernah melupakan dan meninggalkanmu ... jika permainan mereka membuatmu tidak nyaman maka itu bukanlah permain tapi siksaan bagimu ... ” Perkataan ibunya membuat air mata Nao mengalir. Ia tak menyangka ibunya akan mengatakan hal itu. Apa yang dikatakan ibunya memang benar. Tapi, entah kenapa ia tak bisa menerimanya. Nao menepis tangan ibunya yang ada di pundaknya. Menatap ibunya dengan wajah sedih. “Ma ... kau salah. Mereka betul-betul temanku ...aku membencimu. Kau tak mengerti apa yang aku rasakan ...” Setelah menyelesaikan perkataannya dengan air mata yang mengalir di wajahnya. Anak lelaki itu segera keluar dari kamarnya dan menghapus air matanya kasar. Setibanya di ruang tamu ia melihat Ken tapi ia tak perduli dan tetap berlari keluar rumah. “Ada apa dengannya,” batin Ken penasaran. *** Nao terus berlari keluar dari rumah hingga bermeter-meter jauhnya. Air mata yang masih setia membanjiri wajahnya membuat ia tak sadar jika ia telah berlari masuk ke dalam hutan. “Aku di mana ...” lirihnya menatap sekelilingnya. Saat ia berbalik yang ia lihat hanyalah pohon-pohon yang tinggi. Ia tak tahu jalan pulang. “Ma!” “Pa ...” “Ken!” teriak Nao dalam hutan itu memanggil keluarganya satu persatu berharap ada yang mendengarnya dan menolongnya. Tapi, setelah beberapa menit memanggil. Satu pun tak ada orang yang mendekat membuat Nao semakin takut. Nao pun kembali menangis dalam ketakutannya. “Kenapa aku bisa ada di sini ...” Nao pun duduk di tanah dan menyadarkan tubuhnya di pohon sambil memeluk kedua lututnya. Membenamkan kepalanya pada dua sisi lutunya dan menangis sekencang-kencangnya. Ia memikirkan nasib dan perkataan ibunya. Ia masih belum bisa terima dengan apa yang di katakannya ibunya. Dua anak lelaki itu adalah teman pertamanya setalah bertahun-tahun tak ada yang ingin berteman dengannya. Mencari teman sangatlah susah. Maka dari itu Nao tak bisa menerima kenyataan jika dua anak itu tak pernah menganggapnya teman. Ibunya pasti salah ... Nao masih bersikesa menyakinkan hatinya bahwa ibunya salah. Dua anak itu benar-benar temannya. Nao hanya bisa menagis seorang diri di hutan itu. Hingga sebuah pekikan keras mengagetkannya. “Nao!” Nao segera mengangkat kepalnya dan menatap seorang lelaki yang kini berjalan mendekat ke arahnya. “Guru!” anak lelaki itu segera berlari memeluk gurunya. Ia sangat bersyukur ada gurunya yang menemukannya. “Kenapa kau bisa ada di sini?” “Aku tersesat...” “Aku antar kau pulang yah.” Reonal segera mengadenga tangan Nao untuk keluar dari hutan. Tapi, baru beberapa langkah lelaki itu berhenti. Ia menatap Nao yang diam tak mengikutinya. “Ada apa, Nao?” “Aku tidak mau pulang ...” lirihnya. Reonald menatap Nao dan melihat wajah anak itu sembab dan kedau bola mata yang bengkak. Dari wajah anak itu Reonald bisa lihat bahwa telah terjadi sesuatu pada anak itu. “Apa kau berantam dengan ibumu?” Nao mengagguk pelan. Reonald menghela napas. Lelaki paruh baya itu menuntun Nao untuk duduk di samping pohon. “Kau tidak boleh marah dengan ibumu. Guru yakin, ibu tidak bermaksud seperti itu. Tidak baik jika terus-terusan marah dengan ibumu. Apa kau ingin tinggal di hutan ini selamanya.” Nao spontan menggelngkan kepalanya. “Kalau begitu jangan marah lagi yah.” Nao mengangguk pelan. Keduanya terdiam sejenak. Membawa Nao pulang pasti dia tidak mau. Lelaki itu mencoba berpikir keras apa yang harus ia lakukan. Meninggalkan Nao seorang diri di hutan juga bukan ide yang bagus.Apa lagi ia harus pergi memburu monster di hutan. Lelaki itu menatap langit. “Sepertinya tak ada salahnya untuk mengajak Nao,” batinnya. Reonald pun memutuskan mengajak Nao untuk memburu monster di hutan. Dengan begitu pengalaman Nao akan bertambah. Hari sudah sangat gelap setelah Reonal dan Nao selesai memburuh monster di hutan. Anak lelaki itu sangat lelah jadi Reonald memutuskan untuk mengendong Nao dan mengantarnya pulang. Selama di perjalanan. Nao terus mengajak Reonalnd bercerita hingga akhirnya anak lelaki itu tertidur pulas di atas punggung gurunya. Beberapa langkah dari rumah Nao. Ia bisa melihat kedua orang tua Nao sedang menuggu Nao dengan penuh kecemasan. Apa lagi ibu Nao yang telihat sangat putus asa. “Bu Rika ...” lirih Reonald pelan. Ia tak ingin suaranya membangun kan Nao yang sedang tertidur pulas. Kedua orang tua Nao pun segera menghampiri mereka. Betapa kagetnya saat melihat Nao yang tak sadarkan diri di punggung Reonald. “Reonald ... apa yang terjadi pada anakku ...?” Melihat wajah cemas kedua orang tau Nao membuat Reonald tersenyum. “Dia tidak apa-apa. Nao hanya tertidur setelah seharian bersamaku memburu di hutan.” Perkataan Reinald pun membuat keduanya bisa bernapas lega. Sang ayah segera mengambil tubuh anaknya dan segera membawa Nao ke kamarnya. Sedangkan ibu Rika menemani Reonald bercerita sejenak di luar. Setelah Reonald pulang. Wanita paruh baya itu pun segera menemui Nao. Ia duduk di ranjang anaknya mengelus-elus rambut Nao dengan penuh kasih sayang. “Maafkan ibu, Nak.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD