BAB 18 Bukan Teman

1068 Words
Di pagi hari yang cerah Nao bangun dari tidur nyenyaknnya. Sinar cahaya matahari membuatnya terganggu. Jadi dengan terpaksa anak lelaki itu membuka matanya secara perlahan. Saat ia membuka mata ia sudah berada di kamarnya. Padahal tadi ia bersama dengan gurunya. “Apa guru yang membawaku pulang … kenapa ia tidak membangunkanku…” lirihnya kesal. Sesekali ia menguap saat turun dari ranjangnya. Sekilas ia melirik ranjang Ken yang sudah kosong. Ini sudah biasa baginya. Secara perlahan Nao mendekati pintu. Ia membuka pintu kamarnya dan mengeluarkan sedikit kepalanya untuk mengecek keadaan. “Sepertinya tidak ada orang,” batinnya dan bernapas lega. Untuk sementara ia tak ingin bertemu dengan ibu angkatnya setelah apa yang terjadi kemarin. Ia masih merasa kesal pada ibunya yang tak mengerti dengan keadaan dan apa yang diinginkannya. Secara sembunyi-sembunyi Nao keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. Ia berusaha untuk tidak terlihat oleh siapa pun. Setelah mandi. Ia kembali ke kamarnya. Karena kamar mandi dan kamarnya terpisah. Setelah memakai baju sekolahnya anak lelaki itu segera keluar dari kamarnya dengan diam-diam. Tanpa ia tahu. Sang ibu sedari tadi melihat tingkah lugunya yang mengendap-endap layaknya seorang pencuri di ruang makan, walau begitu ia tak menegur anaknya. Ia tahu, anaknya pasti tak ingin bertemu dengannya. Bahkan wanita itu juga merasa canggung. Ia hanya bisa menghela napas saat melihat Nao yang keluar dari rumah. *** Selesai jam pelajaran pertama dan kedua. Nao segera berjalan menuju kantin. Tapi, langkah kakinya terhenti saat ia ingat ia tak punya uang. Padahal sisa tiga langkah lagi ia sampai di kantin. Tapi, mau bagaimana lagi. Ia tak punya uang untuk makan di sana. Ia tak sempat meminta uang pada ibunya sebelum berangkat ke sekolah, Karena masalah yang terjadi kemarin. Dua orang temannya melihat Nao dan segera menghampirinya. Salah satu dari mereka meletakkan tangannya di pundak Nao. “Ada apa? Kenapa kau tidak masuk?” Dengan wajah kaku Nao mencoba tersenyum. Ia masih memikirkan kejadian kemarin. Semoga saja teman barunya ini tak marah dengan kejadian itu. “Aku tidak sempat minta uang sama mama,” ujarnya pelan. “Kau tenang saja. Biar aku yang membelikannya. Ayo masuk biar saya yang mentraktirmu.” Seketika wajah Nao menampilkan sebuah senyuman. Ia sudah sangat kelaparan apa lagi tadi pagi ia tidak sarapan. “Terima kasih,” ujarnya cepat. Dua anak itu segera menarik Nao masuk ke kantin. Membelikan apa yang Nao mau. Perlakuan kedua anak itu membuat Nao semakin terlena dan menganggap keduanya betul-betul menganggapnya teman dan ibunya telah salah paham tentang dua temannya. Selesai makan seperti biasa dua anak lelaki itu mengajak Nao untuk bermain setelah selesai jam pelajaran. Awalnya Nao ingin menolak. Tapi, keduanya tetap memaksa dan mengatakan bahwa permainan tidak akan seru tanpa adanya Nao. Jadi mau tidak mau Nao harus ikut. *** Dan di sinilah mereka bertiga. Mereka berada di belakang Academic. Dua anak itu sekilas memperhatikan sekelilingnya dan tersenyum menyeringai saat tak melihat satu orang pun yang ada di sana. “Bagus. Tak ada orang di sekitar sini.” Keduanya menatap Nao. “Ada apa?’ tanya Nao bingung di lihat seperti itu. Namun, yang ditanya tak menjawab. Keduanya berjalan semakin dekat dengan Nao. “Ada apa?” tanya Nao sekali lagi. Namun, tak lama kemudian terdengar suara tamparan yang cukup keras. Salah satu dari mereka menampar wajah Nao cukup keras. Nao memegang pipinya yang memerah. Ia tak pernah menyangka bahwa temannya akan menamparnya. Ia tak tahu mengapa ia di tampar. “Kenapa?” tanya Nao lirih. Tapi Sekali lagi mau ditampar hingga anak itu terjatuh di tanah. Nao menatap keduanya dengan kedua mata yang berkaca-kaca. “Kenapa kalian menamparku… bukankah kita akan bermain?” “Memang kita sedang bermain. Aku sangat suka permainan ini.” Perkataan temannya membuat Nao syok. Permainan ini membuatnya tidak nyaman dan sakit. Nao kembali teringat perkataan ibunya. Ia merasa tidak nyaman dengan permainan dua temannya. “Aku tidak suka dengan permainan ini. Kita ganti ke permaian yang lain,” ucap Nao berusaha nengusulkan. “Tapi kami suka permainan ini.” Sekali lagi sebuah tamparan keras di wajah Nao. Nao ingin menangis. Tapi ia berusaha untuk tetap tegar dan kuat. “Ibuku bilang jika bermain dengan teman harus sama-sama suka. Jika permaian itu membuat salah satunya tidak nyaman maka itu artinya bukan permainan. Bukankah kita ini berteman? Seharusnya kita bermain dengan permainan yang kalian suka dan yang aku suka,” kata Nao polos. Keduanya tertawa terbahak-banyak mendengar perkataan polos Nao. “Apa? Teman? Kau sangat lucu Nao,” ucap salah satu temannya dan keduanya tertawa mendengar perkataan Nao. Nao semakin bingung. Kenapa temannya malah menertawakannya? Apa ada yang lucu? “Kenapa kalian tertawa?” Keduanya menghentikan tawanya dan menatap Nao jijik dan benci. “Dengar yah. Kami berdua tidak pernah menganggapnya teman. Kami hanya ingin bermain-main denganmu.” Perkataan itu membuat hati Nao sakit bagai teriris pisau yang tajam. Apa ia salah dengar? Keduanya tak pernah menganggap Nao sebagai teman. “Kalian jangan bercanda …” lirih Nao. Ia masih berusaha untuk tidak menangis. “Kau pikir kami ingin berteman dengan anak manusia biasa? Dengar yah. Anak manusia biasa itu tak seharusnya sekolah di sini. Kau tak seharusnya gagal pada saat tes penerimaan siswa baru. Hanya saja kau mempunyai orang dalam yang membantumu hingga kau bisa sekolah di sini.” “Apa maksudmu?” Tanya Nao kaget. Benarkah apa yang dikatakan dua anak di depannya bahwa ia di terima karena bantuan orang dalam. “Itu tidak mungkin,” Akhirnya pertahanannya pun pecah. Air mata Nao mengalir deras. “Dasar cengeng.” Salah satu dari mereka kembali melayangkan sebuah pukulan di wajah Nao. Tak ingin tinggal diam anak yang satunya pun ikut memukuli Nao secara bertubi-tubi. “Berhenti …Ali mohon hentikan,” lirih Nao yang masih berusaha untuk melindungi wajahnya. Namun, kedua anak itu tak berhenti dan tetap memukul. Keduanya menghentikan pukulan mereka saat Nao sudah tak sadarkan diri. Anak lelaki itu pingsan karena sudah tak kuat dengan rasa sakit yang di berikan dua anak yang ia anggap sebagai temannya. Tapi ternyata ia salah. Hanya dia yang menganggap keduanya temannya. *** Langit mulai gelap dan anaknya belum kembali juga membuat wanita paruh baya itu cemas. Ini sudah kesekian kalinya Nao membuatnya cemas. “Kau kemana, Nak. Kenapa kau belum kembali …” “Ma …” tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat dan suara lirih. Wanita paruh baya itu segera membalik tubuhnya. Dan bola matanya membesar saat melihat anaknya kini berdiri di hadapannya dengan pakaiannya yang sangat kotor. “Nao!” pekiknya kaget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD