BAB 16 Kebohongan

1608 Words
“Mati aku,” batin Nao. Ibu dan ayahnya menatapnya sedang menunggu penjelasan darinya tentang apa yang dikatakan Ken pada mereka. Tatapan kedua orang tuanya membuat ia semakin gugup. “I ... itu ...” jawab Nao gugup. Otaknya berpikir keras untuk merangkai kata-kata apa yang akan ia katakan pada kedua orang tuanya. Ia harus memberikan penjelasan yang masuk akal. Jika tidak, ibu dan ayahnya pasti akan menganggapnya bohong. “Tadi kami bermain bersama di hutan. Dan tau-taunya saat kami bermain hujan turun. Kami berencana untuk kembali bersama. Tapi, saat di tengah jalan aku tersesat. Aku berjalan ke arah yang lain sehingga aku kehilangan kedua teman baruku. Dan saat keluar dari hutan sepertinya keduanya mengira aku sudah kembali.” Jelas Nao berbohong sekali lagi. “Ibu senang kau sudah mempunyai teman baru.” Sang ibu mengelus rambut anaknya dan tersenyum. Walau ia tahu anaknya sedang berbohong. “Ibu tahu kau sedang berbohong. Sebaiknya aku menyelidiki ini diam-diam,” batin ibunya masih dengan mengelus rambut Nao lembut. *** Nao dan Ken bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Nao dan ibunya kini berada di depan rumah. “Ini tasmu, Nao.” Sang ibu memakaikan Nao tasnya dengan penuh perhatian. Ken yang kebetulan keluar seketika menjadi cemburu. Seketika ia kembali mengingat perkataan ayahnya saat di sungai dekat rumahnya semalam. “Itu tidak mungkin. Nao tak pernah cemburu padaku. Bahkan ia mempunyai kehidupan yang lebih enak ketimbang diriku,” batinnya lalu berlalu melewati Nao dan ibunya. “Ken, kau tidak menunggu Nao!” teriak sang ibu. Namun Ken menulikan pendengarannya. Ia tak perduli sama sekali. “Ken!” teriak sang ibu kesal. “Sudah, Ma. Aku tidak apa-apa berangkat sendiri aku sudah terbiasa, Ma,” ujar Nao menenangkan ibunya. “Cepatlah berangkat ke sekolah. Semoga hari ini hari-harimu menyenangkan.” “Aku pergi dulu yah Ma ...” Nao pun mulai melangkah mengejar Ken yang telah berjalan beberapa meter di depannya. Sang ibu menatap anaknya yang sudah sangat jauh di depannya. “Saatnya menyelidikinya,” batinnya. *** Di sekolah, Nao dan Ken mengikuti pembelajaran dalam damai. Seperti biasa tak ada yang mengajak Nao berbicara. Semua teman sekelasnya masih sangat membencinya. Setelah pelajaran ke dua selesai. Nao pun berjalan menuju kantin Academic untuk mengisi perutnya yang sedari tadi berbunyi meminta di isi. Saat Nao berdiri di depan kantin ia sedikit tersenyum melihat para siswa yang ada di sana. Saling bercengkrama dan bercanda satu sama lain. Ia tersenyum kecut. “Seandainya ... aku bisa seperti mereka. Aku juga ingin memiliki teman yang banyak,” batinnya. Tapi, beberapa detik kemudian anak kecil itu menggelengka kepalanya dan menghilangkan kesedihannya dan mencoba tersenyum. “Lagian aku sudah mempunyai teman baru,” batinnya. Nao kembali semangat dan berjalan masuk ke kantin. Saat itu lah para siswa yang ada di sana yang semula ribut kini menjadi hening dan menatap Nao. Sesekali ada yang berbisik-bisik membicarakan Nao tapi Nao tak perduli dan tetap melangkah mencari tempat yang menurutnya nyaman. Setelah memesan makanan. Nao pun mulai menikmati hidangan yang ada di hadapannya dengan penuh semangat karena dia sudah sangat kelaparan. Saat suapan kedua di mulutnya dua anak yang lebih tua darinya berjalan masuk ke kantin. Wajah Nao seketika menjadi cerah. Teman barunya kini memasuki kantin dan berjalan ke arahnya. “Hei!” perkik Nao girang dan melambaikan tangannya. Dua anak lelaki itu menatapnya. “Dia ada di sana.” Bisik lelaki yang lain menunjuk Nao yang kini menatapnya. Keduanya tersenyum menyeringai dan berjalan ke arah Nao lalu duduk di depan Nao. “Apa makananmu enak?” tanyak salah satu dari mereka. “Tentu saja enak. Ini adalah makanan kesukaanku.” “Apa kalian tidak ingin makan?” “Kami sudah makan. Kami ke sini karena kami sedang mencarimu.” Perkataan mereka membuat Nao tersenyum. Dua orang yang menjadi temannya itu mencarinya sedari tadi. “Kami mencarimu karena ingin meminta maaf setelah apa yang terjadi padamu kemarin. Kami tak sengaja melupakanmu dan meninggalkanmu seorang diri di hutan. Aku baru ingat saat sesorang menelfon kami dan mengatakan kau hilang.” “Syukurlah. Mereka betul-betul tidak sengaja meninggalkanku di hutan itu,” batin Nao senang. “Tidak apa-apa. Lagian aku selamat, Kok.” Sejenak keduanya terlihat menyeringai. “Kau ingin bermain setelah sepulang sekolah nanti?” “Tentu saja aku mau!” pekik Nao cepat. “Okey. Sepulang sekolah nanti kita ke lapangan basket untuk berlatih panah. Bagaimana?” Nao tentu saja mengangguk setuju dengan cepat. Tanpa ada rasa curiga sama sekali. *** Sesuai kesepakannya. Nao menunggu kedua temannya di lapangan basket. Ia sudah tidak sabar untuk berlatih bersama dengan mereka. Baru kali ini ada yang mengajaknya berlatih bersama. “Maaf kami terlambat.” Nao membalikkan tubuhnya dan tersenyum mendapati dua temannya kini berjalan ke arahnya. “Tidak apa-apa.” “Bagaimana kalau kita memulai latihan kita.” "Tentu saja.” Dua temannya pun mulai berlatih panah dengan menggunakan Fire Element dan Water Element. Sedangkan Nao hanya duduk diam melihat keduanya berlatih di pojokan. “Aku haus sekali ...”ujar salah satu dari mereka. “Tunggu sebentar biar aku ambilkan kalian minuman!” pekik Nao cepat dengan semangat. Saat Nao berjalan ingin membeli minuman ia kembali menatap keduanya. “Ada apa?” “Uang kalian mana? Biar aku yang belikan.” Keduanya saling bertatapan. “Maafkan kemi. Kebetulan hari ini uang kami sudah habis. Bisakah kau meminjamkan kami uang untuk hari ini saja?” “Tentu saja. Aku akan segera kembali.” Nao segera pergi membeli minuman. Dan tak lama kemudian, Nao pun kembali dengengan tiga botol minuman segar di tangannya. Senyumnya agak pudar saat melihat keduanya sudah bersiap-siap untuk pulang. “Terima kasih minumannya. Tapi, sepertinya kami harus pulang duluan. Kau tidak apa-apa kan pulang sendiri? Kami lagi buru-buru.” “Tentu saja.” “Sekalian. Kau bereskan lapangan ini yah.” Nao hanya bisa mengangguk dan menuruti apa yang keduanya katakan padanya. Setelah kedua temannya pergi. Nao segera merapikan lapangan lalu kembali ke rumahnya. *** Esok harinya. Keduanya kembali mengajak Nao berlatih di lapangan basket. Dan seperti biasa mereka meminta Nao untuk membelikan mereka minuman dan menyuruh Nao untuk membersihkan lapangan basket seorang diri. Hingga satu minggu kemudian, Nao mulai patah semangat. Ia mulai lelah di suruh ini dan itu pada dua temannya. “Apa kalian betul-betul menganggapku teman?” tanya Nao tiba-tiba saat keduanya masih berlatih panah di lapangan. “Tentu saja. Emangnya ada apa? kenapa kau bertanya seperti itu?” “Tidak ada. Hanya saja ...” Nao merasa ragu untuk mengatakan apa yang ingin ia ungkapkan. Kata-katanya tercekal di tenggorongan. Tak bisa ia keluarkan. Keduanya tersenyum. “Begini saja. Kalau kau bosan bagaimana kalau kau membantu kami berlatih panah.” Nao mengangguk. “Baik. Aku senang bisa membantu.” “Bagaimana kalau kau berdiri di ujung sana. Dan taruh buah apel di atas kepalamu. Dari sini kami akan membidik apel itu. bagaimana? Apa kau setuju?” Perkataan dua anak lelaki di hadapannya membuatnya kaget. Bukankah itu sangat berbahaya? Bagaimana jika mereka salah sasaran dan mengenainya? Tapi, jika ia menolak ia takut akan membuat temannya kesal dan tak ingin bermain lagi bersamanya. “Tapi ... itu kan sangat berbahaya ...” lirih Nao. Ia sangat takut. “Jadi kau tidak mau membantu latihan kami?” “Bukan begitu. Aku hanya ...” “Sudahlah ... tidak apa-apa jika tak ingin membantu. Kami bisa meminta orang lain yang membantu kami.” Nao semakin merasa tidak enak. Sepetinya temannya mulai kesal padanya. Nao menunddukkan kepalanya. “Baiklah. Latihan kita sampai di sini saja. kami pulang saja jika begitu." Keduanya pun mulai bersiap-siap untuk pulang. Nao mengepalkan kedua tangannya dan menguatkan tekatnya. Ia tak boleh takut. Jika sepeti ini maka ia tak akan pernah mempunyai teman. “Baiklah aku setuju ...” lirihnya. Keduanya pun tersenyum menyeringai tanpa Nao sadari. Nao mengambil sebuah apel lalu berjalan sejauh lima meter dari teman-temannnya. Dari kejauhan ia meliah dua anak lelaki itu kini sedang bersiap-siap untuk membidik buah apel yang ada di kepalanya. “Semoga mereka tepat sasaran dan tidak melukaiku ...” Tanpa ketiganya sadari sedari tadi seseorang memperhatikan mereka dari kejauhan dengan wajah yang merah padam sambil mengepalkan kedua tangannya. “Haruskan aku keluar?” batinnya bimbang. Dia adalah ibu angkat Nao yang sedari tadi mengawasi anaknya sejak tiba di Academic. Sudah satu minggu wanita itu mengikuti anaknya ke sekolah dan ia sangat tidak menyukai dua anak yang menjadi teman baru Nao. Anak itu seakan memanfaatkan Nao dan hanya menganggap Nao sebagai mainan. Ia tak bisa terima. Tapi, ia juga tak bisa keluar. Ia tak ingin anaknya melihat dan mengetahui jika ia telah mengikutinya selama ini. Namun, saat ini keduanya sudah sangat keterlaluian. Permainan mereka sungguh di luar dugaan. Ini bisa menyebabkan Nao terluka. Kedua anak itu pun mulai membidik anak panahnya secara bersamaan. Keduanya mengguankan element yang berbeda. Satu menggunakan elemen air dan yang satunya menggunakan elemet api. Keduanya tersenyum menyeringai menatap Nao yang pasrah. ”Dasar anak bodoh.” Setelah itu keduanya pun melepaskan anak panah secara bersamaan. Nao segera menutup kedua matanya saat melihat panah api dan es kini melaju sangat kencang ke arahnya. Tubuhnya pun bergetar ketakutan saat itu juga. Ia ingin lari. Tapi, ia tak bisa. Dan tak lama kemudian terdengar suara keras. Saat panah es dan api itu tiba-tiba di hancurkan oleh sebuah panah yang labih cepat. Nao membuka kedua matanya saat ia tak merasakan sakit. Saat itulah itu ia bernapas lega. Ia melihat dua panah teamannya hancur. “Sepertinya keduanya sengaja menghancurkan panah mereka demi keselamatanku,” batin Nao haru. Tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya. Hingga sebuah suara yang sangat ia kenal mengangetkannya. Dengan wajah pucat dan gugup. Nao berbalik dan sesuai dugaannya. Wanita yang ada di hadapannya kini adalah ibu angkatnya. “Ma ...”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD