BAB 26 Kehilangan Mana

1916 Words
Nao berteriak kencang kala melihat ayahnya kini berada di tangan salah satu monster. Nao segera mengambil batu dan melempari monster itu. Tak hanya batu, kayu pun ia lempar ke arah monster tersebut. Berharap monster itu melepaskan ayahnya. Sedangkan ibunya kini tak sadarkan diri setelah kehabisan banyak darah yang keluar dari kakinya yang di tumpuk oleh reruntuhan bagunan. “Lepaskan ayahku … monster jelek…” maki Nao sambil melempar monster tersebut apa pun yang ia bisa gapai di sekitarnya. Nao pun tersenyum saat melihat monster itu mulai terusik. “Seandainya aku punya pedang. Aku pasti bisa menyelamatkan ayahku,”batin Nao. Monster itu berbalik menatap Nao. “NAO … pergilah … larillah sejauh mungkin Nao …” lirih ayahnya. Ia sangat takut jika anaknya pun ikut menjadi korban dari monster-monster yang menyerang desa. Setidaknya anaknya selamat. Tidak masalah jika ia dan istrinya menjadi santapan para monster itu, asalkan anak yang telah ia rewat dan besarkan sepenuh hati selamat dari bahaya. “Tidak … ayah. Aku tidak mau lari seorang diri. Aku tidak ingin hidup tanpa kalian …” lirih Nao. Ia tak bisa bayangkan kehidupannya tanpa kedua orang tuanya. “Hai monster jelek … serang aku kalau bisa …” ejek Nao untuk memusatkan perhatian monster itu kepadanya. Tangan kiri monster itu pun menyerang Nao. Untungnya lelaki itu berhasil menghindar. Setiap kali monster itu menyerang Nao selalu menghindar. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Dan saat lelaki itu mempunyai kesempatan. Segera Nao mengambil batu keras lalu melepas monster itu tepat di tangan kanannya. “Ayah …” Nao pun segera membantu ayahnya menjauh setelah berhasil melepaskan ayahnya dari cengkeraman monster tersebut. Tapi, monster itu keburu menyadari tawanannya lepas lalu kembali menyerang Nao dan ayahnya. Saat itu Nao tidak melihat monster itu menyerang karena terlalu fokus pada ayahnya yang berusaha membawanya menjauh. Salah satu tangan monster itu melayang ke arah Nao dan ayahnya. “Nao!” pekik seseorang yang tak lain adalah gurunya. Segera lelaki paruh baya itu mengeluarkan sebuah pedang dan menyerang monster tersebut dari arah belakan sehingga serangan monster tersebut meleset dan mengenai bangunan yang lain. Nao pun berbalik dan melihat gurunya yang menyerang monster tersebut. “Guru ...” “Nao ... ambil pedang ini!” pekik gurunya dan melemparkan sebuah pedang ke arah muridnya. Nao pun tersenyum dan segera menangkap pedang tersebut. “Ayah ... tunggu sebentar di sini. Aku harus membunuh para monster itu,” ujar Nao dan meninggalkan ayahnya ke tempat yang aman. Nao pun mendekati gurunya. “Ayo kita menyerangnya bersama-sama. Tunjukan pada mereka jika kau tidak lemah.” Nao menganguk dan menatap monster itu serius. Inilah saatnya ia menunjukkan kekuatannya. Nao dan gurunya pun mulai menyerang monster itu bersama-sama. Dengan mudahnya Nao dan gurunya berhasil melumpuhkan salah satu monster. Beberapa warga yang tadinya bersembunyi pun mulai keluar dan kagum melihat teknik pedang Nao yang begitu hebat. Bahkan anak lelaki yang dulu mereka anggap sebagai anak lemah kini berhasil mengalahkan satu monster. “Bukankah anak itu adalah Nao? Anak yang terlahir tanpa mana? Dan tidak punya kekuatan sihir?” tanya salah satu warga. “Benar dia Nao. Aku tidak menyangka anak itu hebat juga walau tanpa sihir,” ujar beberapa warga desa yang menyaksikan kehebatan Nao bersama dengan gurunya. “Sayang ... bertahanlah ...” lirih ayah Nao yang mendekati istrinya yang kini tidak sadarkan diri akibat tertimpa reruntuhan. Lelaki itu terlihat sangat panik apalagi istrinya kini tidak berdaya dan tak sadarkan diri. “Bukankah mereka orang tua Nao dan Ken?” ujar salah satu warga yang melihat seorang lelaki paruh baya yang berusaha menyingkirkan reruntuhan pada seorang wanita. “Benar ... ayo bentu mereka.” Awalnya hanya dua orang yang membantu orang tua Nao. Namun, lama kelamaan satu persatu warga desa pun turut ikut membantu. Setelah bertarung melawan lima monster yang menyerang desa. Akhirnya Nao dan gurunya pun bisa bernapas lega. Keduanya berhasil mengalahkan lima monster tersebut. Nao segera menghampiri ibu dan ayahnya. “Ma ...” lirih Nao sedih melihat ibunya yang tak berdaya. “Seseorang tolong selamatkan ibuku ...” lirih Nao sedih. Namun, semua yang ada di sana hanya bisa menunduk sedih. Nao pun menatap gurunya. Tapi, sang guru hanya bisa menggelengkan kepala dan menunduk. Seakan mengatakan bahwa ibunya sudah tidak bisa tertolong lagi. “Tidak ... pasti ada cara lain untuk bisa menyelamatkan ibuku ... aku mohon. Siapa pun tolong ibuku ...” akhirnya Nao pun menangis dan terus memohon. Sang ayah segera memeluk anaknya. Ia juga sangat sedih jika kehilangan istri yang ia cintai. Apalagi saat melihat anaknya yang terus memohon membuatnya semakin sedih. “Tenanglah, Nak.” “Bagaimana aku bisa tenang ... aku tidak ingin dia pergi ...” Nao melepas pelukan ayahnya dan menatap ibunya lalu memeluk wanita paruh baya itu “Ma ... aku mohon bangunlah ... bukankah seharunya kau menunggu Ken? kau tidak ingin melihatku dan Ken lagi? Aku mohon bangunlah ...” Mendengar suara Nao yang begitu lirih dan sendu membuat para warga ikut semakin sedih. “Nao ...” tak lama kemudian. Terdengar suara wanita yang begitu lemah dan lirih. Nao segera melepas pelukannya dan menatap wajah ibunya. “Ma!” pekinya dan kembali memeluk ibunya haru. “Kau membuatku takut ... aku kira kau akan meninggalkanku ...” Sang ibu pun membalas pelukan ibunya. “Ibu tidak akan pernah meninggalkanmu ...” “Dokter ... atau siapa pun ... tolong periksa ibuku ...” pekik Nao segera. Tak lama kemudain seorang dokter pun datang dan segera mengobati ibu Nao. Beberapa warga yang semula mengerubuni Nao dan orang tuanya segera menyingkir memberikan ruang pada dokter tersebut untuk mengibati ibu Nao. Para wagra bergotong royong untuk membantu beberapa orang yang terluka atau yang tertimpa bangunan. Kini Nao, ayahnya dan gurunya pun menunggu dengan cemas sang dokter memeriksa ibunya. “Bagaimana, Dok? Apa ibuku akan baik-baik saja?” tanya Nao saat melihat sang dokter selesai memeriksa ibunya. “Maafkan aku. Sepertinya ibumu memiliki luka yang sangat serius. Tapi, jangan khawatir. Ibumu selamat kok. Hanya saja ...” dokter tersebut menjeda perkataannya karena bingung haruskah ia mengatakan kondisi ibu Nao sejujurnya atau tidak. “Ada apa, Dok?” tanya Nao dan ayahnya serentak. Menunggu penjelasan sang dokter. “Sepertinya kedua kaki ibumu lumpuh ...” “APA!” Pekik Nao dan ayahnya kaget. “Dan yang lebih parah lagi ...” “Ibumu selamanya tidak akan bisa menggunakan kekuatan sihir lagi. Ibumu telah kehabisan mana yang ada pada tubuhnya. Kini ibumu hanyalah manusia biasa sama sepertimu Nao.” Nao pun menangis kencang saat itu juga. lalu memeluk tubuh ibunya. “Tidak apa-apa, Nak ... jangan sedih ... dengan ini aku bisa merasa apa yang kau rasakan tanpa kekuatan selama ini ...” lirih sang ibu menenangkan anaknya. “Tapi, Ma ... tanpa mana_” “Tidak apa-apa, Nao,” ujar ibunya cepat memotong perkataannya. Akhirnya Nao pun hanya diam dan menatap sedih ibunya. Ia tahu bagaimana rasanya jika hidup tanpa mana. Orang-orang di sekitarnya akan menghina dan memandang remeh. Ia tidak ingin ibunya bernasip sama padanya. Di pandang remeh dan hina oleh tetangga karena tak punya kekuatan. *** Nao dan gurunya pun berjalan-jalan di sekitar desa untuk memeriksa situasi pasca p*********n lima monster tersebut. Nao menatap sedih sekitarnya yang kini rata dengan tanah. Kadang Nao mendengar tangisan dari beberapa warga yang kehilangan keluarganya. Ada juga yang terlihat tegar dan berusaha membangun kembali tempat tinggal mereka. “Nao ... ayo kita duduk di sana,” ujar gurunya tiba-tiba dan menunjuk ke arah pohon besar. Nao hanya mengangguk dan mengikuti langkah gurunya. Setibanya di sana keduanya hanya duduk diam tanpa ada yang ingin membuka suara. Nao memikirkan keadaan desanya. Tak hanya itu dia juga memikirkan nasib ibunya yang akan datang. “Seandainya aku kuat dan mempunyai kekuatan sihir. Mungkin aku bisa melindungi keluargaku dan warga desa,” batinnya. Pak Reonald menatap Nao. “Apa yang kau pikirkan, Nao?” tanya sang guru. “Aku merasa ... aku masih lemah. Aku harus menjadi lebih kuat lagi dari ini. Dan juga ...” “Aku memikirkan nasib ibuku setelah kejadian ini. Hidup tanpa mana sangatlah tidak mudah. Aku ingin ibuku bisa kembali seperti dulu lagi. Aku ingin kekuatan ibuku kembali ... aku ...” “Aku tidak ingin ibuku bernasib sama denganku ...” Entah sudah keberapa kalinya Nao menangis hari ini. Pak Reonald pun memeluk Nao dari samping. “Sebenarnya masih ada cara untuk mengembalikan mana ibumu ...” ujar Pak Reonald tiba-tiba membuat Nao segera menatap lelaki itu. “Benarkah! Bagaimana caranya?” “Dengan buku sihir.” "Benarkah?” “Tapi, aku tidak yakin dengan cara ini akan berhasil atau tidak. Dulu ada sebuah kisah seseorang yang menguasai lima elemen sekaligus. Dia bisa mengusai semua element berkat buku sihir yang ia pegang. Tak hanya itu dengan adanya buku sihir. Kita bisa mengembalikan mana yang hilang pada seseorang. Sejak berita itu di ketahui oleh beberapa orang. Si pemilik buku itu selalu di buru karena banyak yang menginginkan buku tersebut. Hingga akhirnya si pemilik itu pun menghilang bersama dengan buku sihirnya.” “Bertahun-tahun buku sihir itu selalu di cari. Namun tidak ada satu pun yang bisa menemukan buku itu. Hingga akhirnya. Lambat laun orang-orang mulai lupa dan merenyah.” Nao pun menunduk sedih. Sepertinya ibunya tidak akan bisa di selamatkan. “MONTSER ... MONSTER ...” Tiba-tiba terdengar suara teriakan. Nao dan gurunya segera menghampiri lelaki yang berteriak tadi. “Di mana monste itu?” “Di sana ....” lelaki itu menunjuk ke hutan. Nao dan gurunya pun segera berlari ke arah hutan untuk memeriksa. Baru saja kuduanya berlari beberapa meter keduanya berhenti saat merasakan guncangan yang begitu dahsyat. Keduanya pun kembali melanjutkan langkah mereka. Dan saat itu lah kedua mata mereka membulat saat melihat tiga monster yang begitu besar lebih besar dari lima monster yang baru saja mereka kalahkan kini berjalan mendekat ke arah desa. “Itu kan ...” batin Pak Reonald kaget dan mematung. “Siapa yang telah membuka segel monster itu,” batinya kaget. Ia kembali mengingat misinya beberapa tahun yang lalu di mana ia berusaha melawat tiga monster itu bersama dengan salah satu teman baiknya. Sebuah misi yang paling berat dan membuat nyawa sahabatnya melayang. Mengingat kematian temannya membuat Pak Reonald marah dengan orang yang melepaskan tiga monster itu. Ia tidak akan memberi ampun padanya. Sekarang Pak Reonald mengerti. Menapa para petualang tidak ada di desa. Itu semua pasti karena ada orang dalam yang menargetkan desa ini. Orang itu yang menyusun rencana agar para petualang meninggalkan desa sehingga yang tinggal hanyalah orang-orang yang tidak berpengalaman pada peperang. “Ada Pak Reonald?” tanya Nao melihat wajah guruya yang berubah derastis. “Kali ini pertarungan akan sangat berat. Jika hanya kita berdua aku tidak yakin kita bisa mengalahkan para mosnter itu. Ketiga moster itu lebih kuat dari monster yang kita bunuh tadi.” “Aku tahu. Walau begitu aku tidak akan mundur. Setidaknya kita sudah berusaha. Kita berjuang hingga petualang kembali ke desa.” Pak Reonald pun tersenyum dengan kepercayaan diri Nao. Nao dan gurunya pun bersiap-siap untuk menyerang. Keduanya mulai mengeluarkan pedang mereka dan menunggu monster-monster itu mendekat di atas pohon. Saat tiga monster itu semakin dekat dengan mereka. Keduanya pun segera melompat sambil mengayukan pedang mereka. Selain pedang Pak Reonald juga menggunakan kekuatan sihirnya untuk menyerang. Keduanya terlihat sangat kompat saat itu juga. Namun, tebasan yang mereka berikan pada salah monster kembali seperti semula. Tubuh monster itu beregenarasi sangat cepat. “s**l ...” maki Nao dalam hati karena gagal melukai monster itu. Mereka pun kembali menyerang. Tapi lagi-lagi luka yang mereka berikan kembali seperti semula.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD