Prinsip dan Keberanian

1043 Words
Matahari baru saja terbit, sinarnya menerpa rumah sederhana di daerah pinggiran ibukota. Sebuah rumah kecil sederhana bercat putih agak sedikit kusam namun tampak asri, seorang pria muda gagah berusia 26 tahun, bernama Wildan Perdana tinggal disana bersama keluarga bahagianya. Wildan adalah seorang intelijen polisi berpangkat Brigadir satu, meskipun pangkatnya masih tergolong biasa dan gajinya tak seberapa, namun di dalam rumah nan sederhana penuh dengan kehangatan, jauh lebih bernilai dibanding gedung megah atau harta berlimpah. Wildan terlihat gagah dengan mengenakan seragam dinasnya di depan cermin, wajahnya tegas dengan sorot mata jernih. Dari ruang tamu yang sederhana suara tawa kecil bayi terdengar merdu di telinga menambah suasana syahdu di pagi yang ceria. Nama sang bayi adalah Andry, masih enam bulan, buah dari hasil cinta bersama sang istri yang cantik jelita. Istrinya Wildan bernama Wulandari, wanita ayu berusia 24 tahun, sudah setahun lebih mereka berumah tangga. Selama menjalani kehidupan rumah tangga, pasangan itu tampak bahagia selalu, apalagi setelah kehadiran sang buah hati yang lucu bernama Andry Perdana, romansa keindahan semakin lengkap jadinya. Wulandari sedang berada di dapur, ia sedang menyiapkan sarapan sederhana nasi, telur dadar, dan segelas teh hijau hangat. Rambutnya diikat sederhana, namun aura ketulusan dan kasih sayang membuatnya tampak mempesona. "Mas Wildan..." Panggilnya mesra, "sarapannya sudah siap, dipersilahkan kepada sang raja untuk menikmati walau menu nya sederhana," ucapnya dengan senyum dan canda. Kemudian Wulan menghampiri Andry dan menggendongnya dengan lembut. Wildan menoleh ke arah mereka, senyumnya hangat. Ia menghampiri, mencium lembut kening istrinya, lalu mengusap pipi anaknya dengan kasih sayang. "Terima kasih untuk semuanya, sayang. Kalian berdua adalah alasan dari semangat hidupku untuk berjuang setiap hari." Wulan menatap mata suaminya dalam, ada rasa bangga sekaligus cemas. Entah kenapa dalam beberapa hari belakangan ini ada rasa aneh yang tak biasa dalam diri Wulan, namun ia selalu menepisnya dengan prasangka baik dan doa buat suami dan putranya. Ia mengerti pekerjaan suaminya penuh tantangan dan sarat resiko, apalagi sang suami dikenal jujur, tak pernah kompromi dengan kebohongan dan kecurangan. "Aku bangga samamu, Mas. Walau hidup kita sangat kontras di banding rekan-rekan seprofesimu, tapi aku dan Andry sangat bahagia," bisik Wulan lembut, "harapanku, semua ini tetap berjalan seperti hari-hari biasa." Wildan mengangguk pelan. Di balik senyum, ia menyimpan tanggung jawab dan tekad: keluarga adalah tujuan yang harus di lindungi, walau apapun resiko dan taruhannya. Setelah selesai sarapan dan berbincang sebentar dengan keluarganya, Wildan melangkah keluar rumah menuju sepeda motor yang terparkir di halaman rumah mereka yang mungil. Wulan sambil menggendong Andry melambaikan tangan, melepas kepergian sang suami tercinta yang melaju dengan senyum bahagia menghias pagi itu. ***** Pagi menjelang siang, seperti hari-hari biasa di sebuah kantor kepolisian kota tampak sibuk. Telepon berdering, laporan masuk silih berganti, dan suara langkah kaki para anggota bersahutan. Di tengah kesibukan, Brigadir Wildan duduk di mejanya, menatap beberapa berkas kasus dengan alis berkerut. Semua rekannya mengenal bahwa Wildan adalah seorang polisi muda yang rajin, lurus, idealis dan tak bisa dibeli. "Wildan!" suara lantang terdengar dari sang komandan-Inspektur Ferry- memanggil dari dalam ruangannya, Nada suaranya tegas tapi mengandung ketergesaan. Wildan berdiri cepat, lalu masuk, langsung memberi hormat. "Siap, Pak." Di dalam ruangan kantornya, Ferry sedang duduk di kursi empuknya, segelas kopi panas tersaji di mejanya, aroma arabica masih terasa di udara. "Malam ini, kau dan beberapa tim pergi lakukan penyelidikan ke pelabuhan Tanjung Priok, beberapa laporan ada yang mencurigakan di sana, mungkin rencana transaksi narkoba." "Siap, Pak," jawab Wildan mantap. Ferry menatapnya dalam, lalu tersenyum tipis. "Kamu harus ingat, Wildan. Idealisme bisa menghancurkan, cobalah sedikit fleksibel, ingat keluargamu, mereka bukan hanya butuh cinta dan perhatian, tapi banyak hal yang tidak kamu dapatkan dalam pendidikan dikepolisian." Wildan hanya diam, tidak menanggapi. Dalam hatinya, ia mengerti bahwa kata-kata itu bukanlah nasihat, melainkan sebuah pesan yang terselubung. Setelah keluar dari ruangan atasan, Wildan kembali duduk. Dadanya terasa berat. Ia sudah lama merasakan sesuatu yang tidak bersih di lingkungan kerjanya sendiri. Amplop yang kadang terlihat tanpa sengaja, kedekatan atasan dengan pengusaha tertentu. Seperti aroma permainan kotor perlahan terlihat semakin jelas. Namun, sebagai seorang polisi yang patuh kepada atasan, Wildan membuang segala prasangka buruk dari pikirannya. Sebelum berangkat menuju tempat operasi penyelidikan, Wildan menelpon Wulan. "Doakan aku, ya. Malam ini mungkin agak panjang, ada tugas dari atasan, kemungkinan sampai larut malam." Wulan menjawab lembut, "dimanapun, kami selalu mendoakanmu, Mas. Semoga tugasmu sukses ya." Wildan menutup telepon, menatap langit yang mulai berwarna jingga dari jendela. Dalam benaknya, satu keinginan dan tekad yang tak bisa ditawar: sampai kapanpun, selagi ia masih bernapas, tak akan ada yang bisa membelinya, dengan alasan apapun, baginya kebahagian adalah ketenangan jiwa dan keluarga, bukan kemewahan yang didapat dengan cara yang tak benar. Arah jarum jam sudah melewati angka sebelas, malam terasa semakin sunyi, namun Wildan belum juga kembali. Wulan duduk menanti di sofa sederhana sambil menonton siaran televisi. Lampu temaram menyoroti wajahnya yang tenang. Di tangannya, sebuah foto lama ia genggam erat. Foto itu memperlihatkan Wildan bersama seorang polisi muda lain, sama-sama gagah dengan seragam bintara kepolisian. Senyum mereka lebar, penuh semangat masa depan. Foto itu diambil tujuh tahun yang lalu, ketika mereka baru saja lulus dari pendidikan kepolisian. Wulan mengusap bingkai foto itu pelan, matanya menerawang. Ia masih ingat betul bagaimana Wildan dulu selalu bercerita tentang sahabatnya itu-seorang pemuda pintar, pemberani, dan berprinsip. Mereka adalah teman sejak SMA. Bahkan setelah tamat sekolah mereka memutuskan menjadi polisi dan diterima di pendidikan sekolah calon bintara. Namun seiring waktu, komunikasi antara dua sahabat itu jarang terjadi di karenakan tanggung jawab dan lokasi tugas yang jauh. "Sahabatmu ini sangat tampan, Mas. Tapi bagiku kau paling tampan sedunia," bisik Wulan lirih, meski ia hanya sendiri berbicara dengan foto usang dalam genggamannya. Tangannya kemudian bergerak ke arah ranjang bayi di dekat sofa. Andry, putra kecil mereka sedang tidur pulas dengan wajah damai. Wulan tersenyum tipis, meski hatinya sedang didera cemas. Pikirannya melayang pada Wildan. Akhir-akhir ini suaminya sering pulang larut malam, wajahnya tegang, matanya menyimpan rahasia. Wulan tahu bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi, sesuatu yang tak biasa dan tak mampu untuk diceritakan oleh Wildan. Wulan hanya bisa berharap, apapun itu, suaminya tetap kuat dan kembali dengan senyum bahagia. Dari luar rumah, suara motor terdengar mendekat. Wulan segera bangkit dari sofa, hatinya berdegup. Foto itu langsung ia simpan dalam laci meja. Sesaat kemudian, ucapan salam terdengar, pintu terbuka, dan Wildan masuk dengan langkah lelah, namun sorot matanya masih jernih penuh harapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD