Aral yang Melintang

1079 Words
Gedung Sun Tower menjulang gagah di jantung Jakarta, menembus langit dengan arsitektur modern yang memancarkan wibawa. Di dalamnya, berbagai perusahaan ternama beroperasi, namun pusat kendali yang paling berpengaruh berada di lantai teratas: PT. Sunrise. Di balik meja besar dari kayu hitam berkilau, sang CEO duduk dengan tenang, dia adalah Andy Wong. Bukan hanya pimpinan perusahaan, Andy juga pemilik sah dari gedung Sun Tower, simbol kekuatan dan pengaruhnya di dunia bisnis sekaligus dunia kelam yang tersembunyi di baliknya. Dengan busana jas elegan dan sorot mata penuh kharisma, Andy menjadi sosok yang disegani. Para eksekutif memandangnya sebagai pemimpin visioner, sementara para rival di dunia bawah tanah mengenalnya sebagai penguasa yang tak pernah gagal menyingkirkan lawan. Gedung Sun Tower bukan hanya pusat bisnis, gedung itu juga berfungsi sebagai benteng kekuasaan Andy, tempat di mana dunia terang dan gelap bertemu dalam satu figur: raja mafia yang kini juga berdiri sebagai pengusaha sah yang dihormati. Kota mengenal Sun Tower sebagai simbol kemewahan dan kesuksesan, namun hanya sedikit yang mengerti, di balik dinding yang berkilauan itu, tersimpan rahasia kelam tentang siapa Andy sebenarnya. Hari itu, suasana ruang kantor Andy di lantai teratas Sun Tower terasa tegang namun penuh wibawa. Tirai jendela terbuka, menampilkan panorama langit Jakarta yang mendung. Aroma kopi hitam yang baru diseduh memenuhi udara menambah keheningan sebelum pintu kayu diketuk dari luar. Dua pria berseragam rapi melangkah masuk. Mereka adalah Komisaris Dito dan Inspektur Ferry, keduanya adalah aparat penegak hukum yang disegani, namun bagi Andy, mereka adalah rekan yang menjaga jalannya roda kekuasaan di balik bayang-bayang. "Selamat siang, Andy," sapa Komisaris Dito sambil menyalami dengan senyum tipis. Ada nada hormat sekaligus kepentingan dalam tatapannya. Dengan sikap tenang dan berwibawa, Andy mengangguk sambil mempersilakan keduanya duduk. "Saya sudah menduga kadatangan kalian berdua. Apa berita yang membawa langkah Anda berdua?" tanyanya perlahan. Inspektur Ferry menyandarkan diri di kursi kulit hitam itu, lalu berbicara. "Ada operasi besar tiga hari lagi di Jakarta. Kami pikir, ini waktu yang tepat untuk... menyaring mereka, dan yang pasti, semua jalur tentu masih milik Anda, Andy." Andy menyalakan rokoknya, asap tipis mengepul di udara. Senyum samar menghias wajah tampannya. "Kalian pasti sudah tahu, aku tak suka gangguan di wilayahku. Semua harus bersih. Dan kalian berdua... pastikan tidak ada yang berani mengusik ketenangan Sunrise." Percakapan itu tak lagi terdengar seperti antara seorang pengusaha dan penegak hukum, melainkan antara bos besar dan dua pion yang menjaga jalannya permainan. Detik berjalan cepat, tanpa terasa matahari telah terbenam di ufuk barat. Namun ketiga orang itu masih tampak berbicara serius. Lampu gantung kristal di ruang itu berkilau, memantulkan cahaya redup yang menambah kesan mencekan. Andy bersandar di kursinya, rokok di tangan kiri, sementara tangan kanannya mengetuk pelan permukaan meja marmer hitam. Komisaris Dito membuka map cokelat yang dibawanya, meletakkannya di meja Andy. "Ini data target, Andy. Mereka sindikat dari Vietnam, mencoba menjual barang di wilayah kita melalui Jakarta, lewat jalur pelabuhan Tanjung Priok. Kalau dibiarkan, mereka dapat merusak pasar." Andy membuka map itu perlahan. Foto-foto wajah, data transaksi, dan peta jalur distribusi terhampar rapi. Ia menatapnya dengan dingin, lalu menutup kembali. "Mereka berfikir tempat ini aman buat mereka?" ujarnya, suaranya pelan dan terukur. Inspektur Ferry menyahut, "Persis, Andy. Dan... tentu, sudah pasti kami bisa menggagalkan operasi mereka. Tapi butuh dukungan finansial. Sebab banyak mulut yang harus ditutup." Andy tertawa kecil, suara rendahnya menusuk dalam sunyi. Ia membuka laci meja, mengambil sebuah koper hitam, kemudian meletakkannya di hadapan mereka. "Di dalam koper ini... ada satu juta dolar. Anggap saja ini masih uang muka. Pastikan semua aparat di lapangan patuh pada kalian. Jangan sampai ada sedikitpun kebocoran. Setelah operasi selesai sisanya akan kalian terima." Komisaris Dito dan Ferry saling bertukar pandang. Mata mereka berbinar-binar, dan tahu benar bahwa sekali lagi, mereka menjadi bagian dari permainan gelap yang dijalankan bos besar di hadapan mereka. Andy menatap keduanya, sorot matanya tajam seperti busur panah. "Ingat, wilayah ini adalah milik kita, bukan milik siapapun. Kalau ada penyusup yang coba masuk... habisi." Keduanya mengangguk dalam-dalam. "Semua akan berjalan sesuai keinginan Anda, Andi." Pertemuan itu pun berakhir. Bagi publik, semua pembicaraan mereka adalah pertemuan bisnis biasa di sebuah gedung pencakar langit. Namun di balik pintu tertutup, kesepakatan hitam kembali ditandatangani, mengikat tiga orang dalam lingkaran dosa kekuasaan. Sejak pertemuan itu, semua berjalan sesuai kemauan Andy Wong. Bisnis gelap yang di jalani di bawah kepemimpinannya tak tersentuh oleh siapapun. Hampir semua aparat hukum ia rangkul menjadi bagian dalam bisnis hitamnya. ***** Malam itu langit kawasan puncak Bogor dipenuhi gemerlap bintang yang berkilau, udara sejuk pegunungan menambah suasana elegan di kafe mewah yang berdiri di puncak bukit. Lampu-lampu gantung berkilau, alunan musik pop mengalir lembut, sementara gelas-gelas kristal berisi anggur mahal beradu di meja bundar yang di tempati Andy, Linda, Joni, Komisaris Dito, dan Inspektur Ferry. Tawa pecah berkali-kali, suasana perayaan kemenangan terasa begitu megah. "Sempurna, nyaris tanpa celah," ucap Joni menegakkan badan. "Sindikat murahan itu habis, tanpa jejak." Linda tersenyum manis, meneguk minumannya. "Semua berkat jaringan dan koordinasi. Andy, kau sudah buktikan berulang kali bahwa dirimu adalah raja yang tak tergoyahkan." Namun tawa itu perlahan meredup ketika Ferry menaruh gelasnya dengan perlahan. Wajahnya tiba-tiba berubah serius. "Ada satu hal yang membuatku sedikit khawatir." Andy menatap ke arahnya sambil mengangkat alis. "Apa masalahnya, Ferry?" Ferry menarik napas, suaranya menurun, setengah berbisik. "Brigadir Wildan." Komisaris Dito ikut menyahut, nada suaranya berat. "Ya... Aku mengerti, Wildan itu berbeda, masih muda, tapi berani dan otaknya lumayan tajam. Dia seorang yang jujur, tak bisa di beli. Sekali ia curiga, maka rahasia kita bisa terbongkar." Linda mengerutkan kening. "Bukankah Wildan itu juga bawahanmu, Pak Ferry? Kau tentu bisa kendalikan." Ferry menggeleng pelan, wajahnya suram. "Hal itu justru yang jadi masalah. Dia terlalu bersih. Setiap melakukan operasi, dia selalu mencari bukti, menulis laporan secara detail, dan-" Ferry menatap Andy lekat-lekat, "-dia sudah mencurigai Sunrise adalah sarang sindikat." Keheningan menyelimuti meja. Musik berganti dengan irama jazz, namun seperti hilang, hanya suara angin pegunungan yang terdengar sayup. Andy menyalakan cerutu, menghembuskan asap tebal sambil menatap kosong ke kejauhan. "Aku sudah mengerti. Dia pernah mengirim seorang wartawan penyusup bernama Budi. Bahkan wartawan itu hampir berhasil mengumpulkan bukti sebelum mati." Joni menatap ke arah Andy, "jadi apa langkah kita selanjutnya? kami siap menunggu instruksi." Andy menoleh, menatap mereka satu-persatu, matanya tajam menusuk, suaranya tenang tapi penuh bahaya. "Wildan adalah ancaman. Ia bisa membakar kerajaan kita." Dia diam sejenak sambil mematikan cerutunya. "Satu aturan dalam dunia kita: siapa pun yang tak ingin bersahabat. berarti musuh. Dan... musuh harus disingkirkan." Komisaris Dito dan Ferry terdiam, menyadari kalimat itu bukan hanya wacana, melainkan keputusan mutlak yang harus dijalankan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD