Perlahan pintu tertutup tanpa suara yang terdengar, Wildan takut kalau Andry terbangun,. Ia meletakkan tasnya di kursi, dan langsung disambut dengan tatapan lembut namun penuh tanya dari Wulan.
"Mas Wildan..." suara Wulan pelan, seolah menahan resah, "tadi aku lihat lagi foto lamamu itu. Foto berdua dengan sahabat bestimu dulu, kamu pernah cerita, dia sahabatmu yang kau kagumi, tapi siapa namanya?"
Wildan terdiam sejenak, menatap wajah istrinya yang begitu tulus. Lalu ia menjawab dengan senyum canda. "Ada apa, Wulan? apa kamu penasaran dengan ketampanan nya? atau kamu sengaja membuatku cemburu."
Wulan mencubit mesra lengan suaminya," aku serius Mas? jangan ngomong ngawur sudah malam."
Wildan menarik napas dalam-dalam sebelum duduk di samping Wulan. "Namanya Jaka Permana," ucap Wildan lirih, seolah nama itu membawa segudang kenangan.
Wulan mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Aku dan Jaka sudah saling kenal sejak remaja, kami sekolah di SMA yang sama, berteman akrab, bercanda, bermain bola--"
"Pasti melirik wanita cantik juga bersama kan?" potong Wulan bercanda.
"Aku belum selesai bicara, kamu main potong aja," sela Wildan.
"Oke Mas, lanjutkan," balas Wulan.
"Baik aku lanjutkan, jangan di potong lagi ya," Wildan menarik napas sejenak. "Setelah tamat SMA, kami sama-sama masuk pendiidikan kepolisian. Sejak awal pendidikan, Jaka selalu menonjol. Bayangkan saja masa itu dia menjadi yang terbaik. Keberaniannya luar biasa, kepintarannya sulit untuk tersaingi. Selama kami dekat, aku sering belajar dengannya."
Senyum samar mulai muncul di wajah Wildan, mengingat kenangan bersama sahabat. "Jaka bukan hanya pemberani, tapi punya etika dan kejujuran, hatinya sangat tulus. Dia selalu bertindak sesuai keadilan, sangat tidak setuju dengan kecurangan, Bahkan menjelang akhir pendidikan, kami sama-sama berjanji, kelak setelah menjadi abdi negara, kejujuran dan prinsip keadilan harus dijaga sampai mati."
Wulan menatap suaminya, matanya berkaca-kaca. "Lalu... kemana dia sekarang, kamu sudah lama sekali tidak cerita tentangnya lagi."
Wildan hanya terdiam. Sorot matanya berubah sendu. "Entah, Wulan... Sejak ia bertugas di tempat lain, kami tak pernah lagi bertemu, hanya sesekali bicara melalui via telpon."
"Memang temanmu bagaimana Mas? aku kok jadi penasaran," tanya Wulan kembali.
Wildan bersandar di kursi, menatap kosong ke arah dinding, seolah setiap detail kisah masih jelas di kepalanya. Wulan menggenggam tangan suaminya erat, ingin mendengar lebih jauh.
"Setelah lulus pendidikan, kami sama-sama ditempatkan sebagai detektif bintara," Wildan mulai bercerita, suaranya berat tapi penuh kebanggaan. "Dan benar-benar... Jaka menjadi badai bagi penjahat. Tidak ada satu kasus pun yang bisa lolos dari penyelidikannya. Kriminal yang paling licin sekalipun, akhirnya tumbang di tangannya."
Wulan mengangguk pelan, matanya berbinar. "Kedengarannya dia sangat luar biasa, Mas."
Wildan menghela napas, lalu melanjutkan dengan suara penuh emosi. "Bukan cuma kasus biasa... bahkan pejabat-pejabat korupsi yang selama ini kebal hukum, sindikat besar yang ditakuti, semua berhasil dibongkarnya tanpa rasa takut. Kamu bayangkan, Jaka berani melawan orang-orang yang kebanyakan penegak hukum tak berani menyentuh."
Senyum samar muncul di wajah Wildan, tapi segera memudar, berganti sendu. "Namanya melambung, setiap bulan ada saja penghargaan yang dia terima. Dari kepolisian, dari pemerintah, bahkan dari masyarakat. Semua orang kagum kepadanya. Aku sangat bangga menjadi sahabatnya. Seorang sahabat yang menjadi cahaya di tengah gelapnya hukum yang kotor."
Wildan meneguk air putih di meja kecil ruang tamu, lalu menatap Wulan dengan sorot mata penuh semangat bercampur getir.
"Kamu tentu masih ingat berita besar yang terjadi lima tahun yang lalu? peristiwa pembajakan bus pariwisata di kawasan Bogor?" tanya Wildan.
Wulan mengangguk. "Iya, Mas. Maksudmu pasti kejadian pembajakan bus pariwisata yang penumpangnya adalah sekumpulan orang-orang hebat kan? Kejadian itu aku masih kuliah. Yang ku dengar aksi pembajakan berhasil digagalkan oleh kepolisian."
Wildan tersenyum tipis, lalu melanjutkan, "Benar sekali, di dalam bus itu ada beberapa taipan-taipan besar, orang kaya dari berbagai daerah, bahkan beberapa pejabat tinggi negara. Mereka baru pulang berlibur dari Bandung. Di tengah perjalanan, saat melintasi jalur sepi di kawasan berbukit Bogor, bus itu dibajak olek kawanan perampok, bersenjata. Semua penumpang ketakutan. Kami para polisi belum tiba di lokasi kejadian, namun Jaka datang lebih cepat."
Wulan menatap serius. "Setelah itu, bagaimana?"
Wildan menghela napas panjang, suaranya bergetar oleh rasa kagum. "Jaka tak berpikir panjang. Dengan aksi berani, ia mengejar mengendarai motor dan menerjang masuk kedalam bus yang sedang berjalan, ia melawan para pembajak yang menbawa senjata api. Bayangkan Wulan... Di dalam bus yang sempit, di kawasan terjal yang di kelilingi jurang, Jaka bertarung dengan ke tiga orang pembajak sekaligus. Tembakan berkali-kali dilepaskan, tapi Jaka bergerak seperti kilat, berduel tanpa rasa takut kehilangan nyawa."
Wajah Wildan memanas, nada suaranya meninggi, seakan merasakan momen itu. "Ia memecahkan kaca bus, menarik salah satu pembajak keluar pada saat bus telah berhenti, dan menghantamkannya ke aspal. Satu orang yang lainnya, ia buat tidak berdaya hanya dengan tekhnik beladiri."
Wildan terdiam sejenak, lalu berdiri dan berjalan pelan ke jendela rumahnya. Angin malam masuk melalui celah tirai, membawa rasa dingin yang menembus kulit. Ia kembali menoleh kepada Wulan, matanya berkaca, seakan kenangan itu begitu hidup di benaknya.
"Ada satu momen luar biasa lagi waktu itu," Wildan memulai dengan nada rendah, "pembajak yang ketiga berhasil menyandera putri remaja seorang konglomerat wanita. Gadis itu masih enam belas tahun, gemetar ketakutan, lehernya dicekik, dan si pembajak menyeretnya ke arah tepi jurang."
Wulan langsung menegakkan tubuhnya, kedua tangannya menggenggam. "Ya... aku tahu itu, maksudmu gadis itu putri Nyonya Nancy Purnama, pemilik perusahaan tekstil terkemuka, tapi aku lupa dengan nama putrinya itu, kabar yang kudengar kalau putrinya itu adalah anak kandung dari suami pertamanya, seorang pria berkebangsaan Francis."
"Kamu benar sekali, Wulan," Wildan melanjutkan ceritanya kembali. "Bayangkan, bus sudah berhenti. Semua penumpang menjerit ketakutan. Para taipan, bahkan beberapa pengawal tak mampu berbuat apa-apa. Si pembajak menodongkan pistol ke kepala remaja itu, sambil berteriak akan melemparkannya ke jurang jika berani mendekat. Semua menjadi panik... kecuali.... Jaka," suara Wildan meninggi, penuh getaran emosi. "Dengan tubuh sudah berdarah, tiga peluru bersarang di tubuhnya, ia tetap tenang dan melangkah maju. Aku dengar dari saksi, Jaka berjalan pelan mendekat, mengikuti si pembajak sampai ke tepi jurang. Dan pada saat itu, entah bagaimana caranya, Jaka berhasil menyelamatkan sang gadis. Putri nyonya Nancy selamat... tapi Jaka jatuh terguling tak sadarkan diri, nyaris tak bernyawa di pangkuannya sang gadis, sampai akhirnya bantuan datang."
Wulan menutup mulut dengan tangan, matanya berkaca menahan sedih," Ya Tuhan.... Mas, dia... bagaimana setelah itu."
Wildan mengangguk pelan, suaranya serak. "Aksi itu membuat semua orang menangis haru. Nyonya Nancy berlutut memeluk putrinya, berulang kali menyebut nama Jaka. Tapi Jaka sendiri... di bawa ke rumah sakit dalam kondisi kritis."