Antara Fitnah dan Luka

1067 Words
Wildan kini sadar sepenuhnya, ia tidak hanya dikhianati, tetapi sudah dijebak ke dalam sarang macan. Dan pertanyaannya, apakah malam itu akan menjadi malam terakhirnya. Malam itu laut begitu tenang, hanya suara ombak kecil yang terdengar menghempas sisi kapal. Di ruang sempit yang diterangi cahaya lampu redup, Wildan duduk terikat, tubuhnya lelah, namun pikirannya melayang jauh. Bayangan wajah istri tercinta - Wulandari datang dengan begiitu jelas - mata teduh yang pagi tadi penuh kegelisahan saat melepasnya pergi. Kata-kata terakhir Wulan menggema di telinga. "HARI INI PERASAANKU BERBEDA, MAS WILDAN." Wildan menghela napas panjang, air mata menetes tanpa ia sadari. Putranya, yang baru berusia enam bulan - tertawa nyaring memandangnya ketika bermain bersama di waktu senggang, tangis kecil di malam hari, tangan lembut yang menggenggam jari ayahnya--semuanya terasa begitu nyata, seakan mereka masih di pelukannya. Dalam hati ia berdoa lirih, suara batinnya bercampur dengan kepasrahan. "YA TUHAN, LINDUNGI KELUARGAKU. JIKA MALAM INI ADALAH AKHIR, IZINKAN AKU PERGI DENGAN TENANG. JANGAN BIARKAN ANAKKU TUMBUH TANPA KASIH SAYANG WALAU AYAHNYA TELAH TIADA, KUATKANLAH ISTRIKU DALAM MEMBESARKANNYA." Linda menoleh sekilas, dan dalam tatapan matanya, ada sesuatu yang tidak bisa dipahami--antara dendam, rindu, dan kehancuran, ia melangkah menjauh menuju sisi kapal, menatap Wildan dari kejauhan, wajahnya menyimpan kebisuan aneh, seolah ada pertempuran batin di balik sorot matanya. Tapi ia hanya termenung membayangkan masa lalu bersama sahabat ataupun bayangan kekasih yang telah melupakannya. Kemudian, suara dingin Joni memecahkan keheningan. "Sudah waktunya." sambil menatap ke arah Andy. Andy hanya mengangguk pelan, ia berdiri, lalu berjalan ke bagian sisi kapal, memandang ke tengah samudra yang luas sambil menyalakan rokok. Joni mengangkat pistolnya, moncongnya diarahkan tepat ke kening Wildan. Detik-detik terasa abadi. Wildan memejamkan mata membayangkan lagi wajah istri dan putra tercinta, senyum tipis tampak dari wajahnya, pasrah pada takdir yang menjadi akhir dari perjalanan. DOR!! Peluru menembus kepalanya, tubuhnya terhempas ke belakang. darah mengalir membasahi lantai kapal. Sunyi sesaat, sebelum sang algojo selanjutnya - Lobo menjalankan tugasnya. Dengan tatapan diingin, ia mengangkat tubuh Wildan yang tak lagi bernyawa. Tanpa kata, ia menyeret tubuh itu ke geladak, lalu melemparkannya ke tengah samudra gelap. Tubuh Wildan tenggelam perlahan, hilang ditelan arus malam. Di balik gelombang, hanya doa yang tersisa - kenangan seorang suami, seorang ayah, dan seorang sahabat dalam hembusan napas yang terbawa angin malam. ***** Malam terasa sangat sepi, Wulan tak bisa tidur. Rasa gelisah yang sejak pagi mengganggu hatinya kini semakin menjadi, ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumah kecil mereka, memeluk foto keluarga yang baru sepekan lalu dicetak. Senyum Wildan di foto begitu lebar, seolah memberi kekuatan, padahal hatinya kini terasa hampa. Keesokan harinya, rumah sederhana itu diguncang berita mengejutkan. Di layar televisi, seorang penyiar berita membacakan dengan nada dramatis: "POLISI MENEMUKAN FAKTA MENGEJUTKAN DALAM OPERASI PENYERGAPAN TRANSAKSI n*****a DI SEBUAH PULAU KOSONG TAK BERPENGHUNI. SEORANG PEMIMPIN TIM OPERASI BERNAMA BRIGADIR WIlDAN DIDUGA SEBAGAI DALANG PENGKHIATAN DALAM OPERASI, IA TELAH MEMBUNUH REKANNYA SENDIRI BERNAMA BRIGADIR FAJAR HINGGA TEWAS. BUKAN HANYA ITU, BRIGADIR WILDAN JUGA MELUKAI SALAH SATU REKANNYA LAGI BERNAMA BRIGADIR ANDIKA SURYO. SETELAH MEMBUNUH DAN MELUKAI REKANNYA SENDIRI, BRIGADIR WILDAN DI DUGA MELARIKAN DIRI BERSAMA PARA SINDIKAT. BUKTI AWAL MENUNJUKKAN WILDAN BEKERJA SAMA DENGAN JARINGAN SINDIKAT PENYELUDUPAN OBAT-OBATAN TERLARANG." Wulan terhenyak. Tubuhnya gemetar, nafasnya sesak. "Tidak mungkin... Mas Wildan tak mungkin seperti itu..." bisiknya, air mata menetes dari pipinya. Di sisi lain, Brigadir Andika tampil di hadapan media, wajahnya berbalut perban, matanya lesu dipenuhi sandiwara kebohongan. "Saya melihat sendiri... Wildan menembak Fajar dari arah belakang tanpa alasan. Saya kaget... lalu menghindar, pelurunya melukai saya... tapi berkat doa dan pertolongan tuhan saya berhasil selamat. Saya melihat sendiri, Wildan dan kedua rekannya pergi meninggalkan pulau. Wildan sudah lama bekerjasama dengan mafia. Selama ini, kami rekannya dikepolisian menganggapnya bersih." katanya dengan suara bergetar, seolah-olah menyembunyikan luka batin yang mendalam. Kesaksian palsu itu menjadi headline di berbagai surat kabar dan media online. Nama Wildan tercoreng. Di media sosial, masyarakat ramai menghujat, mencaci maki, bahkan meludahkan kebencian tanpa ampun. Dari balik layar, Inspektur Ferry dan Kombes Dito tersenyum puas. Fitnah telah bekerja, jejak mereka bersih, dan Wildan resmi menjadi kambing hitam. Andy dan kelompoknya bisa melanjutkan bisnis gelapnya tanpa gangguan. Namun, selang beberapa hari kemudian. Nelayan di pesisir menemukan tiga sosok mayat yang terapung. Tubuh mereka penuh luka tembakan, wajah nyaris tak dikenal, namun salah satu mayat memiliki identitas yang jelas--Brigadir Wildan. Kabar cepat menyebar dan sampai ke rumah kecil Wulandari. Dunia seolah runtuh di hadapannya. Ia terduduk lemas di lantai, memeluk bayi mungil mereka, yang menangis tanpa mengerti. "Kenapa harus kamu Mas.... kenapa kau harus pergi secepat ini..." ratap Wulan, suaranya pecah. Di lingkungan kepolisian, media dan publik - nama Wildan dikenang sebagai pengkhianat. Tetapi di hati Wulan, ia tetap suami setia dan ayah yang penuh cinta. Kabar penemuan mayat Wildan dan dua orang yang di duga sebagai anggota sindikat langsung menjadi konsumsi media nasional. Tubuhnya ditemukan mengapung di tengah laut, membiru oleh dinginnya samudra dan luka tembak di kepala. Polisi langsung mengeluarkan pernyataan resmi. "DIDUGA BRIGADIR WILDAN DAN DUA KORBAN YANG LAIN TEWAS DIBUNUH OLEH SINDIKAT. MOTIF PEMBUNUHAN KUAT DIDASARI KEKHAWATIRAN SINDIKAT KALAU WILDAN AKAN TERTANGKAP OLEH APARAT HUKUM DAN MEMBONGKAR JARINGAN MEREKA." Namun pernyataan tersebut terasa janggal. Publik sudah menganggap Wildan sebagai pengkhianat. Kontradiksi itu menguap begitu saja, ditelan arus opini yang sudah di bentuk dua penegak hukum - Inspektur Ferry dan Komisaris Dito. Di lantai tertinggi gedung kantor Sunrise, Andy duduk tenang sambil tersenyum tipis. Di atas mejanya, secangkir kopi espresso panas mengepul di udara, aromanya harum menggugah selera. "Sangat bagus... semua sesuai rencana. Semua mengira Wildan mati dibunuh sindikat karena khawatir kalau tertangkap dan membongkar rahasia. Dan sekarang rahasia telah terkubur." Linda tersenyum tipis, menyesap segelas anggur merah. "Kematian Wildan hanya permulaan. Selama temannya tidak kembali ke ibukota, tidak ada penghalang yang kita perhitungkan." Ferry menyahut dingin, "Ya... tapi kita tak boleh lengah dan merasa nyaman. Wildan mati membuat kita lebih tenang, tapi orang seperti Wildan bukan hanya satu." Andy tersenyum kecil sambil menyerubut espressonya. "Tidak pernah, Ferry... kita tak akan pernah nyaman, apalagi tenang. Memang semua sudah menjadi pilihan, justru ketidak nyamanan itu yang membuat kita masih berdiri." Sementara itu, di tempat yang berbeda, Wulandari termenung di ruang tamu rumahnya yang sepi. Berita resmi memang menyebut suaminya dibunuh sindikat, tapi hatinya tak percaya. "Tak mungkin... semua pasti rekayasa. Mereka membuat nama suamiku terkubur seperti pengkhianat, padahal mereka yang pengkhianat. Mas Wildan... kamu selalu bicara tentang kebenaran... sampai kapanpun aku tetap percaya kebenaran itu akan datang," bisiknya, air mata masih menetes di pipi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD