Aksi Jebakan

1024 Words
Angin laut berhembus menusuk wajah, sementara matahari perlahan merunduk ke garis cakrawala. Wildan duduk paling depan, sorot mata tajamnya tertuju ke arah pulau yang mulai terlihat samar di kejauhan. "Apakah... pulau kecil itu..." tanyanya pada Tono. "Ya.. disanalah mereka bertemu. Biasanya transaksi berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari tiga puluh menit." Wildan hanya mengangguk. Di kepalanya, pertanyaan-pertanyaan liar berputar: "Kenapa hanya bertiga? Kenapa tak ada back up? Apa benar misi sederhana, namun rahasia. Mengandalkan seorang informan yang tampak meyakinkan, tapi justru membingungkan." Dalam hati, ia berjanji, "Apapun yang terjadi, aku harus pastikan semuanya selamat. Aku tak akan biarkan siapa pun jadi korban kalau semua ini jebakan." Perahu terus melaju menembus senja. Ombak berkilau seperti serpihan kaca. Suasana sunyi, hanya suara mesin dan desiran angin menemani. Namun di raga Wildan, jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya - seperti pertanda akan datangnya badai. Pulau itu kecil dan sunyi, tak ada kehidupan manusia di sana, hanya suara dedaunan kelapa dan semak belukar yang bergesekan dengan angin. Langkah Wildan, Fajar dan Andika begitu pelan, menyusuri tanah berpasir yang lembap. Dari balik semak, Wildan melihat jelas sebuah pondok reyot berdiri, cahaya lampu temaram menyorot bayangan dua orang yang sedang bertransaksi. Plastik putih di atas meja reyot terlihat jelas - barang haram jenis sabu. "Target terpantau," bisik Wildan. "Fajar , ambil posisi kanan. Dan Andika, ikuti aku dari arah kiri. Jangan lepaskan pandangan." Kedua anak buahnya mengangguk. Wildan menarik napas panjang, lalu memberi aba-aba dengan jari tangannya. Dalam hitungan detik, ketiganya bergerak cepat. "POLISI! ANGKAT TANGAN!" teriak Wildan lantang sambil mengacungkan pistol. Dua orang di dalam pondok itu kaget bukan main, hampir menjatuhkan barang bukti yang mereka pegang. Namun sebelum mereka sempat bereaksi lebih jauh-- BRUKK! Sebuah pukulan keras menghantan belakang kepala Wildan. Pandangannya seketika berkunang, tubuhnya limbung. Ia sempat melihat bayangan Andika yang tersenyum sinis di sampingnya... Andika yang tadi ia percaya... ternyata bagian dari gelap. "Di...ka...?" suaranya serak, nyaris tak terdengar. Namun tatapan dingin Andika menjadi jawaban dari pertanyaan yang belum terucap. Gelap. Tubuh Wildan jatuh tak berdaya ke tanah berpasir. Fajar yang semula mengacungkan pistol ikut terkejut. "Pak Andika! Apa yang kau lakukan?! kau-" Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, suara dentuman pistol terdengar. Fajar terhuyung, darah mengucur dari kepalanya. Sosok yang menembak bukan mitranya Andika--melainkan Tono, sang informan, yang kini tersenyum bengis sambil menurunkan senjatanya. "Kerja yang bagus, Dika... Andy dan Ferry pasti senang melihatmu." Andika hanya mengangguk, wajahnya tanpa ekspresi, seperti sudah lama menyiapkan pengkhianatan ini. "Terima kasih pujianmu, Joni," jawab Andika. Ternyata Tono adalah nama samaran dari Joni - si penjagal kejam kepercayaan Andy Wong. Di dalam pondok, kedua 'pelaku transaksi' yang ternyata adalah umpan, berdiri tenang seolah semuanya sudah diatur. Mereka berjalan pelan ke arah Joni. "Tugas kami sudah selesaikan, Tuan Joni," ucap salah satunya, "kapan kami bisa terima sisa pembayarannya?" "Sekarang," jawab Joni cepat sambil mengacungkan pistolnya, dua peluru melesat cepat-- DOR! DOR! Keduanya terkapar dengan luka di kepala. "Kenapa kau membunuh mereka, Joni," tanya Andika penasaran. "Tugas mereka telah selesai, sangat bahaya kalau di biarkan," jawab Joni tenang. Wildan terkapar tak sadarkan diri, tak tahu bahwa malam itu adalah awal dari badai besar yang akan mengubah seluruh hidupnya. ***** Waktu senja berlalu berganti dengan malam, Kesadaran Wildan kembali perlahan, kepalanya masih berdenyut akibat hantaman keras. Pandangan matanya kabur, namun perlahan ia bisa melihat jelas sekeliling. Suara mesin kapal menderu pelan, mengguncang tubuhnya yang terikat pada kursi besi. Tangannya dililit tali kuat, begitu juga kakinya. Ketika pandangannya benar-benar jernih, jantungnya seketika berdegup kencang. Di hadapannya berdiri enam orang. Lima pria dan seorang wanita. Aura kekuasaan dan ancaman begitu pekat terasa di udara. Pria yang duduk santai di kursi kulit, mengenakan jas hitam dengan tatapan penuh wibawa dan dingin--Andy Wong, sosok yang namanya begitu ditakuti di seantero Asia. Di sisi Andy, berdiri Joni, serta Lobo, pria bercodet yang seperti haus darah. Sementara di sisi lain, seorang wanita cantik--Linda, memandang Wildan dengan senyum tipis penuh misteri, seperti harimau betina yang menunggu saat menerkam. Namun yang paling membuat jantung Wildan sesak adalah dua sosok lainnya. Inspektur Ferry, atasannya sendiri, komandan yang tadi pagi memerintahkannya menjalankan misi rahasia, walau ternyata misi hanya sebuah jebakan. Dan seorang lagi Brigadir Andika, rekan kepolisian yang selama ini ia anggap sebagai sahabat dan saudara seperjuangan. Ferry hanya menyeringai, melirik Andy seakan memberi hormat. "Maaf, Wildan. Kau terlalu lurus. Kau pikir bisa jadi pahlawan di tengah lautan lumpur ini? Dunia ini bukan tempat orang jujur dan idealis sepertimu." Andy menyilangkan tangan, menatap tajam. "Aku sudah lama mendengar namamu, Brigadir Wildan. Kejujuran dari seorang penegak hukum yang tak bisa di beli. Prinsip yang luar biasa, aku sangat kagum padamu. Kalau boleh jujur... aku ingin bersahabat denganmu. Tapi, kenyataanya kau adalah musuh... musuh yang hebat, aku menghormatimu." Linda mendekat perlahan, jemari lentiknya menyentuh wajah Wildan, membuatnya merinding. "Sayang sekali... sahabat lama yang tampan harus berakhir." Wildan menatap Linda dengan senyum. "Kau bukan sahabatku sejak hari itu." "Bagaimana kabar Jaka Permana?" Linda bertanya, suaranya lembut tapi penuh racun. Ia melangkah mendekat, hak tingginya berketuk pelan di lantai kapal, hingga berhenti tepat di depan Wildan. Wildan menatapnya tajam. "Kau tak usah menyebut namanya. Dia tak pernah mengingatmu lagi." Linda tersenyum getir, menunduk sejenak seolah mengingat sesuatu yang jauh. "Dia melupakanku? Tapi aku belum melupakannya, dia cinta pertamaku, sekaligus luka pertamaku." Wildan mendengar dengan hati berdesir. "Kau yang mengkhianatinya, Linda. Kau bermain di belakangnya, setelah kau di campakkan oleh suamimu yang kaya kau kembali mengemis cinta padanya. Jaka tak pernah mengingatmu sedetikpun, dia sudah melupakanmu." Lobo terkekeh, menepuk pundak Wildan dengan kasar. "Dan sekarang... dia adalah ratu kami disini." Wildan menghela napas panjang, menatap Linda dengan campuran iba dan waspada. "Kalau begitu... kenapa kau menanyakan tentang Jaka? Semua yang kau ingini telah kau dapatkan, bahkan jauh lebih hebat dari sebelumnya." Linda mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Wildan. Senyumnya samar, namun matanya berkaca-kaca--entah karena emosi atau sebuah permainan manipulasi. "Aku hanya ingin tahu... apakah dia sangat membenciku." Dia terdiam sejenak, setengah berbisik ia berkata, "kau perlu tahu, Wildan. Aku yang telah menyebabkan tewasnya tunangan Jaka. Kecelakaan mobil itu adalah rencanaku." Wildan diam. Ia menahan emosinya. Dengan tubuh yang terikat erat, ia menatap balik mereka satu-persatu dengan penuh perlawanan. "Kalian semua boleh membunuhku... tapi tidak akan bisa membungkam kebenaran."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD