Mentari baru saja terlihat, sinar surya menembus tirai tipis rumah sederhana keluarga Wildan. Seperti hari-hari biasa, suasana hangat dengan tawa kecil Wulan dan ocehan Andry menjadi nuansa ceria di pagi hari. Namun kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Wildan baru saja menerima telpon singkat dari atasannya, Inspektur Ferry. Suaranya tegas, tanpa basa-basi.
"Wildan, pagi ini, kau segera datang ke ruanganku. Ada misi penting yang harus kau kerjakan. Jangan terlambat."
Nada suara itu membuat Wildan mengernyit. Ia memahami satu hal, setiap perintah langsung dari Ferry bukanlah hal ringan. Ada sesuatu yang lebih dari sekedar biasanya.
Sementara itu, Wulan berdiri di depan rumah, memandang suaminya yang bersiap. Ada kegelisahan tersembunyi di matanya, rasa tak nyaman yang sulit untuk dijelaskan. Seolah hatinya memberi tanda akan sesuatu yang buruk.
"Mas Wldan..." panggilnya pelan, memegang jemari Wildan yang sudah siap dengan seragam rapi. "Entah kenapa pagi ini suasana hatiku berbeda. Seperti ada sesuatu yang mengganjal ketika aku melihatmu. Perasaanku gak enak, tolong.... hati-hati, ya... kami selalu merindukan kehadiranmu, Mas."
Wildan tersenyum tipis, mencoba membuat Wulan tenang, meski ia sendiri merasakan sesuatu yang aneh pagi itu. Ia mengusap pipi istrinya lembut. "Kamu tak perlu khawatir, Wulan. Semua ini adalah tanggung jawab dan tugas yang biasa ku kerjakan. Seperti biasa, walau larut malam tapi aku tetap pulang juga kan?"
Namun saat Wildan melangkah menuju motornya yang terparkir di halaman, entah mengapa hati Wulan terasa berat. Ia melangkah mengikuti sang suami sampai ke halaman. Angin pagi menyapu wajahnya lembut, seakan memberi isyarat akan ada badai besar yang tengah menunggu.
Sementara itu, Wildan menoleh sekilas ke arah istrinya dengan senyum tulus, lalu melaju meninggalkan Wulan yang berdiri lama di depan halaman.
Wulan menatap kepergian sang suami dengan hati yang tak biasa, ada sesuatu yang ia sendiri belum mengerti.
"Kenapa pagi ini berbeda, tidak seperti biasa. Ya Tuhan.... lindungilah suamiku dan kami semua dari firasat buruk ini," bisiknya sambil berdoa dalam hati.
*****
Inspektur Ferry duduk santai di balik meja kerjanya. Ruangannya sepintas sunyi, Wildan yang baru saja tiba sedang berdiri tegak di hadapan atasannya, mereka terdiam sejenak, hanya terdengar detak jarum jam yang berputar di dinding.
Ferry menegakkan badannya, lalu menyerubut kopi arabica di mejanya, ia menatap ke arah Wildan.
"Wildan," ucapnya dengan nada dingin namun tenang. "Kau, aku instruksikan memimpin regu sore ini. Ada transaksi barang terlarang di sebuah pulau kecil, tak jauh dari pesisir utara."
Wildan mengernyit sedikit. "Di bawah komando siapa, Pak?"
"Kau yang memimpin misi nanti," ucap Ferry tegas.
Wildan menunduk sejenak, "Hanya saya yang memimpin operasinya, Pak?"
Ferry mengangguk, menserubut kopinya kembali. "Benar. Kau cukup di temani oleh dua rekanmu saja: Brigadir Andika dan Brigadir Fajar. Menurut data dari informan, hanya ada dua orang yang melakukan transaksi. Mereka juga tak pernah bawa senjata api, jadi menurut pendapat saya, misi ini tergolong ringan. Namun di balik itu... ada hal penting yang harus kau perhatikan."
Ferry berdiri dan berjalan perlahan mendekati Wildan. "Misi ini sangat berguna bagi karirmu, Jika kau berhasil... saya akan coba mempromosikan kenaikan pangkatmu lebih cepat."
Wildan kembali menunduk, mencatat setiap detail dalam benaknya. Namun ada sesuatu yang menggelitik. "Biasanya untuk kasus transaksi barang terlarang, minimal satu peleton pasukan yang dikerahkan, tapi kali ini kenapa hanya kami bertiga, Pak?"
Ferry kembali duduk di kursinya sambil tersenyum tipis, tatapannya mengarah tajam. "Sebab misi ini bersifat rahasia, kasus harus ditangani secara senyap, tidak perlu heboh. Aku percayakan ini padamu, Wildan. Aku tahu akan kemampuanmu."
Nada itu terdengar seperti pujian, namun juga seperti jebakan tersembunyi. Wildan menahan napas, lalu menjawab mantap, "Baik, Pak. Saya laksanakan."
Ferry hanya mengangguk, lalu menepuk meja perlahan. "Ingat, sore ini.... kalian harus bergerak cepat. Jangan terlambat, tangkap mereka hidup-hidup. Sebab dari mereka, kita nanti akan bisa mengorek tentang jaringan yang lebih luas. Hal ini akan mengangkat reputasimu, Wildan."
"Siap, Pak." Setelah memberi hormat, Wildan segera keluar dari ruangan dengan langkah tegas, namun hatinya masih penuh dengan tanda tanya.
"Semua ini instruksi serba aneh, hanya bertiga, terlalu sederhana, ada apa dengan Inspektur Ferry?" pertanyaan itu muncul dalam benaknya.
Sementara itu dari balik meja, Ferry menatap ke arah pintu yang baru saja tertutup. Bibirnya melengkung sinis. "Permainan akan segera dimulai, Wildan. Mari kita lihat, seberapa lama kau dan prinsipmu bisa bertahan."
*****
Siang akan segera berlalu, dan waktu sore datang menjemput, langit tampak cerah dengan warna yang mulai oranye keemasan, ombak kecil berkejaran menyapu bibir pantai. Wildan turun dari mobil dinas bersama dua rekannya: Brigadir Andika dan Fajar. Mereka membawa perlengkapan standar, masing-masing senjata laras pendek, rompi, dan alat komunikasi radio.
Di ujung dermaga kayu, seorang pria berperawakan kekar telah menunggu. Bajunya lusuh, wajahnya penuh keringat walau angin laut cukup sejuk. Dia adalah Tono, seorang pekerja serabut yang juga menjadi informan kepolisian. Berdasarkan informasi sebelumnya dari Inspektur Ferry--Tono mengetahui dan mengenal dengan baik tempat dan lokasi transaksi barang terlarang sore itu.
"Mas-mas bertiga... pasti Briigadir Wildan, Brigadir Andika, dan Brigadir Fajar" sapanya ramah, walau nadanya sedikit bergetar, matanya gelisah memandang sekitar.
Wildan mengangguk singkat. "Ya, benar sekali, Anda pasti Mas Tono kan?
Pria itu membalas anggukan agak terburu-buru. "Betul Pak. Semua sesuai informasi. Mereka akan bertransaksi di sebuah pulau kecil tak jauh dari sini."
Brigadir Fajar mendekat dan berbisik pelan. "Dari info yang kami terima, apa benar mereka hanya berdua dan tanpa senjata?"
"Benar sekali Pak. Saya sudah tiga hari memantau mereka. Dan saya yakin mereka hanya berdua tanpa senjata, tidak ada yang lain," jawab Tono sambil melirik kanan dan kiri.
Andika melirik cepat pada Wildan, nada suaranya datar. "Sepertinya, misi sore ini terlalu mudah bagi kita bertiga, kamu setuju dengan pendapatku, Wildan?"
Wildan memasang ekspresi serius. "Tapi... justru itu yang membuatku bingung." Ia menatap tajam pada Tono. "Kamu yakin informasimu akurat? Jangan salah keterangan, sebab informasimu bisa berbahaya jika tak benar."
Tono menelan ludah, lalu menjawab dengan nada meyakinkan, "saya sudah cek dengan sungguh-sungguh, Pak. Lagipula, tak mungkin saya berani bermain dengan bapak-bapak polisi."
Andika menepuk bahu Wildan sambil tersenyum tipis. "Mungkin ini kesempatan kita. Seperti janji Pak Ferry, jika misi berhasil - ia katakan bahwa kita akan di promosikan segera."
Wildan tidak menjawab, hanya menghela napas pelan. Ada firasat aneh yang mengendap di dadanya. Namun tugas adalah tanggung jawab yang harus dituntaskan, dan dia tak boleh ragu sedikitpun.
"Baik," katanya kemudian. "Kita segera berangkat. Tetap waspada, jangan anggap sepele."
Tono menuntun mereka bertiga ke perahu motor kecil, kemudian ia menghidupkan mesin, baling-baling berputar cepat, berbunyi nyaring membelah air laut, dan perahu mulai melaju meninggalkan pantai.