Setelah selesai istirahat siang, rapat kembali di lanjutkan. Aroma kopi hitam masih terasa di udara, sementara raut wajah para perwira tetap penuh ketegangan. Slide baru ditampilkan di layar, berisi bagan jaringan sindikat dan titik-titik merah jalur peredaran barang ilegal yang tersebar di berbagai kota besar Indonesia.
Komjen Hermanto kemudian menekan remote control, menampilkan foto beberapa tokoh mafia internasional di layar. Salah satunya: Andy Wong, sang bos besar yang kini namanya bergema di kawasan Asia.
"Dia adalah Andy," ucap Hermanto tegas. "Sosok bayangan yang kita tahu beroperasi di balik banyak bisnis ilegal. Sayangnya, sampai hari ini... dia tak pernah bisa disentuh hukum. Semua upaya kita seakan kandas sebelum sampai kepadanya. Pertanyaannya, siapa yang melindunginya di negeri ini?"
Suasana rapat berubah semakin berat. Beberapa perwira saling berbisik, tapi tak ada yang berani bersuara keras.
Komjen Hermanto berdiri, menatap semua yang hadir. "Mulai hari ini, saya tugaskan tim khusus untuk menyelidiki secara rahasia. Kita akan gali siapa yang bermain, siapa yang mengkhianati sumpahnya. Dan saya tidak ingin lagi ada nama baik kesatuan kita menjadi semakin tercoreng, seperti kasus... Brigadir Wildan."
Nama itu seketika membuat semua terdiam. Sebagian menunduk, sebagian lain menatap layar. Misteri besar mulai terhubung.
Tiba-tiba salah seorang perwira senior, Brigjen Husein, mengangkat tangannya. Suaranya tegas, menusuk keheningan ruangan.
"Pak Komjen Hermanto, izinkan saya menyampaikan satu usulan. Kita tidak bisa menyerahkan kasus sebesar ini pada tim biasa. Selama ini... kita sudah berulang-ulang membentuk tim dalam penanganan kasus yang sama. Tapi hasilnya sama sekali jauh dari harapan." Ia diam sejenak menunggu response dari sang komandan.
"Jadi... usul Anda - bagaimana Brigjen Husein," tanya Hermanto tenang.
Brigjen Husein menarik napas pelan, kemudian kembali bicara. "Kita butuh seseorang yang benar-benar memiliki kredibilitas yang tinggi - seorang detektif terbaik dan tak pernah punya minus prestasi, memiliki keberanian dan kecerdasan di atas rata-rata... Dan orang itu hanya ada pada satu nama yang saya kenal -- Jaka, ya - hanya Inspektur Jaka Permana."
Seisi ruangan mendadak berisik. Nama itu seperti membangunkan kenangan lama.
Komjen Hermanto menatap Brigjen Husein dengan penuh perhatian. "Kenapa harus Jaka?" tanyanya singkat.
Brigjen Husein menghela napas dalam. "Karena dia satu-satunya yang bisa. Riwayatnya jelas: tidak ada satupun kasus yang gagal ia tangani. Keberaniannya dan track recordnya sudah sangat jelas, bahkan semenjak ia masih dalam pendidikan bintara kepolisian. Aksi beraninya lima tahun yang lalu, masih menjadi legenda yang tak bisa dilupakan. Jaka tak pernah mundur - namanya justru menjadi badai sesungguhnya - walaupun di tengah ancaman paling dahsyat sekalipun yang bertiup kencang, ia bagai gelombang kebenaran yang menghantam penghalang, tanpa memikirkan bahaya kematian. Jika kita menginginkan seseorang yang harus mampu menembus lingkaran sindikat ini... hanya ada satu jawaban... satu nama.... Inspektur Jaka Permana."
Komjen Hermanto terdiam sejenak, lalu berdiri. "Usulan Anda saya terima. Saya pasti akan panggil kembali Inspektur Jaka Permana ke ibukota. Ketika ia sudah resmi kembali, maka kasus ini akan menjadi tanggung jawabnya. Tapi semua yang hadir di sini harus ingat...." ia menatap semua dengan sorot mata tajam, "Jaka hanya bisa bergerak bila kita benar-benar melindungi dan mendukungnya. Jika ada kecurangan atau kebocoran sekecil apapun... itu artinya kita punya pengkhianat di antara kita."
Ruangan hening. Semua sadar, pertarungan besar baru saja dimulai.
*****
Malam itu, di sebuah ruangan mewah berlapis kaca kedap suara di lantai atas sebuah gedung tinggi, para tokoh sindikat berkumpul. Asap cerutu memenuhi udara, aroma alkohol mahal menyatu dengan ketegangan yang terasa di setiap sudut ruangan.
Andy duduk di kursi paling ujung, mengenakan jas hitam elegan, tatapannya dingin menusuk. Di sampingnya, Joni yang selalu siap siaga. Linda duduk dengan kaki bersilang, wajah cantiknya tersamar oleh asap tipis rokok.
Di hadapan mereka, tiga orang penegak hukum tampak jelas sedang melepas topeng yang menjadi profesi mereka: Kombes Dito, Inspektur Ferry, dan Brigadir Andika. Saat itu, mereka bukan aparat negara, melainkan bagian dari jaring gelap yang sama.
"Namanya kembali di sebut waktu di ruangan pertemuan Mabes tadi siang..." suara Ferry pelan tapi berat. "Jaka Permana. Kalau dia benar-benar kembali ke sini, dia akan jadi ancaman yang paling berbahaya dari yang pernah kita hadapi selama ini."
Ruangan menjadi hening. Semua sudah saling paham dengan reputasi Jaka Permana.
Kombes Dito menyambung, suaranya penuh kekesalan. "Jaka bukan hanya seorang detektif biasa. Dia tak pernah terpengaruh dengan godaan materi apa pun. Semenjak ia bertugas, sudah beberapa kali tawaran uang di tolak - bahkan orang yang berani melakukannya malah di tangkap sampai babak belur. Dia sangat berani, jujur, memburu seperti macan lapar - tak pernah berhenti sampai mangsanya menyerah. Kalau memang benar-benar terjadi, dan dia benar-benar kembali, perang besar akan terjadi lebih dahsyat dari sebelumnya."
Linda mengerling ke arah Andy. "Apa langkah kita selanjutnya?" tanyanya pelan, namun penuh tekanan.
Andy menyandarkan tubuh, menyeruput minumannya, lalu menatap semua yang ada di ruangan, "Jika memang Jaka akan datang lebih dahsyat, kita hanya punya dua pilihan: menjinakkannya... atau menghabisinya. Tidak ada pilihan lain - tapi bagiku ancaman adalah sebuah tantangan menarik, dan kita harus siap sejak awal kita mulai."
Joni mengetukkan jarinya seperti irama sebuah lagu kematian. "Kita sedang bicara soal singa yang lapar Bos Andy. Kalau kita biarkan terlalu lama, dia akan menerkam kita."
Semua terdiam, lalu Kombes Dito tersenyum pelan. Senyum yang menjadi simbol kemunafikan. "Aku akan coba melobi teman-teman yang ada dalam genggaman kita, bagaimanapun kalau memang bisa - setidaknya mutasi Jaka kita gagalkan," Dito diam sejenak, lalu melanjutkan ceritanya kembali, "situasi ini telah pernah terjadi setahun yang lalu, waktu itu ada beberapa perwira yang mengusulkan Jaka kembali ke sini - tapi dengan negosiasi dan alasan tertentu proses mutasinya gagal - Jaka tetap di Sulawesi, dan harapan yang sama juga akan kita lakukan sekarang."
Joni meneguk minuman alkohol di tangannya, sambil tertawa kecil, '"kalau begitu.... kita lihat saja nanti. Tapi kalau memang ia tetap kembali," ia diam sejenak menatap ke arah Andy yang masih tenang mendengarkan semua pendapat. "Kalau kau perkenankan Andy.... aku akan siapkan jebakan. Si Jaka akan lenyap sebelum sempat menancapkan kukunya di sini."
Semua menjadi diam, Andy kembali tersenyum tipis, senyum dingin tapi sangat tenang, seperti harimau yang memberi ancaman. "Kau tak perlu buru-buru Joni... melenyapkan Jaka tak semudah seperti yang kau pikirkan. Dia berbeda, aku telah mengenal track recordnya. Dalam hal prinsip dan kejujuran dia sama denga Wildan... tapi Jaka jauh lebih berbahaya. Jika kita gegabah bertindak, bisa-bisa senjata yang kita kirim dapat menjadi bumerang yang akan menebas kita kembali."
Linda menimpali, "jadi langkah apa yang terbaik Andy?"
Andy berdiri, "kita tunggu saja kabar dari Kombes Dito dan Ferry, setelah itu akan kita pikirkan langkah selanjutnya."
Malam itu, kesepakatan kelam pun terpatri. Di satu sisi, sang jalan kebenaran akan kembali. Namun di sisi lain, para sindikat telah siap dengan perang yang lebih besar.
*****