Chapter 9

1197 Words
Percuma jika kau berkilah... pun, sia-sia jika kau mendustai. Karena cinta dan kasih itu adalah mulia, sulit bagimu dan dunia untuk menyembunyikannya... terlebih mematikannya. *** Elard terlihat senang dengan reaksi Sasi yang cemberut. Elard tak peduli bagaimana Sasi menanggapi kehadirannya, yang penting baginya adalah dia bisa menguasai Sasi, dimulai dari jemari Sasi yang terasa sangat lembut. Restoran yang dipilih Elard terkesan mewah walau didesain minimalis. Bergaya Amerika dan seperti restoran-restoran yang ada di film-film. Meja dan kursi ditata sangat apik juga rapi, ada frame-frame foto yang terpajang di dinding-dinding. Aneka roti dan cake menggiurkan, tertata rapi di sudut lain. Sasi menyukai restoran ini. Entah Sasi yang tiba-tiba memiliki kekuatan atau mungkin  memang Elard sudah melonggarkan genggamannya, yang jelas Sasi sudah melepaskan diri dari Elard. Dengan tersenyum lebar, Sasi memutar tubuhnyanya yang kini berhadapan dengan Mahesa, Kamania dan Raffael. "Hei Raffael, ayo turun. Kita ambil kue-kue yang yummy," Sasi mengulurkan tangannya ke arah Raffael yang masih digendong Mahesa. Mendengar kata kue, segera Raffael turun dan menyambut tangan Sasikirana. "Kak, makanan saya, pilihin aja, ya." Sasi mengerling ke arah Mahesa dan Kamania. Sasi dan Raffael melangkah buru-buru, seolah-olah khawatir kue-kue itu akan habis, dan itu membuat semua tertawa geli, kecuali Elard. Elard lagi-lagi terpaku melihat tingkah Sasi. Dirinya tidak bisa mendiskripsikan apa pun. Tapi kemudian ada perasaan senang yang pada akhirnya membuat Elard tersenyum, untuk sepersekian detik. "Ayo, kita cari tempat duduk," ajak Elard. Mereka mendapat tempat duduk, dengan view yang bagus. Sofa kulit mengelilingi tiga perempat meja dan sisanya diberi sofa tunggal yang manis. Semua duduk di sofa. Seorang pelayan wanita datang menghampiri dengan membawa daftar menu. "Mmm..., Sasi makan apa, ya?" gumam Mahesa sambil tetap membaca menu. "Biar saya saja yang pilihkan," jawab Elard acuh tak acuh dan tidak menyadari jika dua pasang mata sedang memandanginya dengan senyum geli. Mahesa dan Kamania saling berpandangan dan mengedikkan bahu, memutuskan untuk membiarkan saja kemauan Elard. Akhirnya Sasi dan Raffael kembali ke meja, didampingi seorang pelayan yang membawa nampan berisi macam-macam kue. Raffael langsung menghampiri Kamania dan kemudian duduk di sofa bagian dalam. Mahesa mengalah dengan duduk di sofa tunggal yang di pepetkan ke sofa utama. Sedangkan Sasi justru tampak bingung, satu-satunya pilihan adalah dia duduk di sebelah Raffael yang artinya di sebelah Elard dan yang artinya ia harus melewati Elard. Diliriknya Elard, sedangkan yang dilirik justru sedang menatapnya dengan senyum tersungging lebar, tanpa berniat sedikit pun untuk mengangkat tubuhnya, walau sekadar untuk mempersilakan Sasi duduk. "Gak duduk, Sas?" tanya Mahesa. "Eh, iya ini mau duduk. Hmmm..., permisi." Dengan berat hati, akhirnya Sasi bicara pada Elard. Senyum Elard semakin melebar, kemudian Elard mengangkat tubuhnya, dan mempersilakan Sasi masuk agar bisa duduk. Jarak Elard dan Sasi sangatlah sempit. Saking sempitnya, terjadi kontak fisik antara lengan Sasi dengan d**a Elard, yang seketika menciptakan kabut, dan menghentikan waktu, hanya di antara keduanya. Sasi dan Elard seperti merasakan guncangan lembut di dalam d**a, debar-debar semakin cepat, membuat ngilu di dalam diri masing-masing. Aroma bunga dari rambut Sasi, membuat Elard hampir kehilangan fokus, dan aroma maskulin dari parfum Elard, juga membuat Sasi meleleh. Saat Sasi akhirnya bisa duduk di tempatnya, Elard dan Sasi sama-sama menghela napas, tanda kelegaan. Tingkah laku keduanya, tidak lepas dari tatapan heran dari tiga pasang mata. Merasa sedang diperhatikan, Elard segera mengambil smartphone dan mulai menyibukkan diri, sedangkan Sasi justru sibuk mengambil nampan kue dari tangan pelayan. Dibagikannya kue-kue itu ke Raffael, Kamania, Mehesa dan dirinya sendiri. Elard heran, karena tidak ada kue untuknya. Ditatapnya Sasi dengan melotot, tetapi yang ditatap justru sedang tersenyum mengamati chrunchy chocolate cake dihadapannya. "Loh, punya Elard mana, Sas?" tanya Kamania keheranan. "Dia gak suka kue," jawab Sasi atak peduli. Dia malah sibuk membandingkan kue miliknya dengan Raffael sembari tertawa cekikikan. Jawaban dan sikap Sasi membuat Elard makin melotot. Apa-apaan dia ini. Mentang-mentang ada para pelindungnya, dia jadi seberani ini, lihat saja! Kamu gak tahu sedang berhadapan dengan siapa, ha?'  Dengan sengaja Elard mengambil kue milik Sasi. "Hei!" seru Sasi terkejut. "Apa?" tanya Elard kalem. "Itu punya saya!" "Bukankah ini punya saya? Biasanya, pasangan wanita akan memilih makanan terlezat buat kekasihnya dan saya adalah tunanganmu." Elard mengedipkan mata dan mulai memotong dan menikmati cake milik Sasi di dalam mulutnya. Sasi terkesiap memandangi kuenya yang sudah dimakan Elard. "Itu kue terakhir." Sasi bicara dengan lesu dan mengalihkan pandangannya dari Elard. "Mau, saya ambilkan lagi yang lain?" tawar Mahesa lembut. Ia sebenarnya geli melihat Elard dan Sasi, tapi ditahannya untuk tidak tertawa. "Gak usah, saya gak mau kue yang lain. Crunchy chocolate cake, itu yang terakhir hari ini,"  tolak Sasi cemberut. Tiba-tiba Elard menggeser tubuhnya lebih dekat ke Sasi. Tangan kirinya merangkul Sasi dan tangan kanannya menyodorkan sesendok kue ke arah mulut Sasi. Sasi yang terkejut sempat menghindar, tetapi tertahan tangan Elard yang merangkulnya. Sasi melotot ke arah Elard, ada marah, gemas, dan kesal, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. Jika ia marah-marah, sama artinya mempermalukan diri sendiri. Sedangkan Elard hanya tersenyum manis. Dan tampan... What? Tampan apanya?  Sasi terkejut dengan pikirannya sendiri. Dengan emosi, Sasi membuka mulut dan melahap kue yang disodorkan kepadanya. Elard tersenyum girang, dilepaskan pelukannya dari Sasi dan kembali memakan kue untuk dirinya sendiri. "Cie..., Ante Sas pacalan, kayak pilem" celetuk Raffael membuat Mahesa tertawa terbahak-bahak, sampai ia menunduk di lengan Kamania. Kamania mencoba mengingatkan Raffael dengan wibawa, tetapi yang ada, dia malah ikut tertawa kecil. Lebih mengkhawatirkan adalah reaksi Elard dan Sasi. Keduanya sama-sama tersedak kue dan itu rasanya cukup menyakitkan. Apesnya, Elard dan Sasi justru mengambil gelas minum yang sama. Akibatnya kemudian adalah perang memperebutkan segelas air. "Cie..., tuh kan, Ma, gelasnya amaan!" seru Raffael kegirangan. Sedangkan Kamania kembali mati-matian menjaga wibawa dan berniat mendiamkan Raffael, tetapi kembali gagal, dirinya justru tertawa senang sambil menutup mulut. Begitu juga Mahesa, tertawa sambil mengacungkan ibu jari tanda 'oke' ke arah Raffael. Rupanya celoteh Raffael memberi hasil positif bagi Elard dan Sasi. Keduanya saling melepaskan tangan dari gelas, kemudian saling memunggungi, berusaha menenangkan diri dan menjangkau gelas minum masing-masing. "Permisi." Dua orang pelayan datang mengantarkan pesanan mereka. Itu melegakan Elard dan juga Sasi, setidaknya saat ini Raffael berceloteh tentang makanannya. Sasi menatap makanan yang dihidangkan untuknya. Elard diam-diam memperhatikan mimik Sasi yang serius melihat makanannya. Elard penasaran akan apa yang dipikirkan Sasi. "Spaghetinya..., kayaknya so..., dry," ujar Sasi sambil menyendok spaghetinya. Elard kecewa, mulutnya terbuka berniat mengeluarkan protes. Dia yang memilih makanan untuk Sasi. "Hmmm... enak euy. Ternyata ada kerang di bawahnya. Kerangnya, so fresh. Enak." Sasi tampak menikmati makanannya Berlagak layaknya seorang pencicip kuliner yang handal, Sasi melanjutkan penilaiannya. "Kerangnya..., perfecto, not too raw and not overcooked..., sempurna. Dan rasanya, sweet and soft, not chewy at all. Mmm..., nyummy..., emang Kak Mahesa the best-lah." Sasi memuji Mahesa dengan memberikan kedua ibu jari sebagai tanda terbaik. "Bukan saya kok yang pesan." Jawaban Mahesa membuat Sasi bingung, kemudian dilihatnya Kamania. Namun, Kamania menggelengkan kepala, tanda bahwa ia juga tak memesankan makanan untuk Sasi. "Yang pesan adalah Elard," terang Mahesa dan Sasi tersedak untuk kedua kalinya. Diliriknya Elard dengan gemas. Elard mengunyah makanan dengan senyum lebar tersungging manis. Akan tetapi, Sasi tahu jika senyum Elard adalah senyum kemenangan berisi kesombongan. Kemudian Elard menatap Sasi yang disambut Sasi dengan mimik wajah mencebik. Dih, bukannya bilang terima kasih. Tapi bibirnya seksi. Seksi? Sinting. Elard merasa geli dengan pikirannya sendiri dan kembali menyibukkan diri dengan makanan agar pikirannya tidak ke mana-mana. Akhirnya acara makan siang itu selesai, setelah sedikit berbasa basi, mereka saling berpamitan. Elard melangkah kembali menuju kantornya diatas sedangkan rombongan kecil Sasi, menuju ke areal parkir. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD