BAB 5

1394 Words
Sebuah mobil melaju cepat membelah jalanan ibu kota. Di dalamnya terdapat dua orang yang saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Mata si pria fokus pada jalan sesekali melirik gadis di sampingnya yang lebih asik melihat jalanan melalui jendela mobil seolah pemandangan di luar sana lebih menarik dari pada pria tampan nan rupawan di sisinya. Lima puluh lima menit berlalu mereka sampai di gedung apartemen milik Rey tapi bukan apartemen yang sama dengan yang Jingga lihat tempo hari. Sengaja Rey memilih tempat tinggal yang cukup jauh untuk menyembunyikan pernikahan mereka. Sebelum masuk lift tatapan mereka bertemu melalui pantulan dinding di sisi lift. Segera Jingga mengalihkan pandangan. Dia canggung luar biasa. Sementara sudut bibir Rey sedikit terangkat melihat tingkah istri yang dia nikahi beberapa saat lalu. Senyum tulus tanpa sadar dia sunggingkan. Rey membuka pintu setelah menempelkan kartu akses apartemen yang ada di samping pintu kemudian menggiring sang istri masuk. Begitu pintu terbuka netra pria itu melebar sempurna melihat seseorang dalam apartemen yang kini berdiri di depannya. Sedangkan yang ditatap tampak begitu santai balas menatap ke arahnya. Karena bagi Lembayung pemandangan Rey yang membawa wanita random ke apartemen adalah hal biasa. Tetapi hari ini berbeda, wanita berhijab? Apa selera Rey berubah setelah dua tahun tidak bertemu? “Lea ....” lirih Rey. Sedetik kemudian dia berlari menghambur ke pelukan sahabat masa kecilnya yang sangat dia rindukan. Lea adalah panggilan Rey untuk Lembayung sejak kecil. “Kamu nggak berubah,” kata Lembayung sambil melirik ke arah Jingga saat pelukan mereka terlepas. Yang diajak bicara hanya terkekeh sedangkan Jingga menunduk menatap lantai, seolah di sana terdapat berton-ton berlian. “Kapan balik, suami nggak ikut?” “Suamiku sibuk, Rey, jadi aku balik sendiri. Nih baru nyampe dari bandara.” Lembayung langsung masuk ke apartemen milik Rey yang paling dekat dengan bandara. Dia berpikir untuk menemui pria itu terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Beruntung sang pemilik apartemen sedang berada di sana. Jangan tanyakan kenapa Lembayung bisa masuk apartemen Rey. Yap, benar! Wanita itu memiliki kartu akses masuk yang diberikan Rey beberapa tahun lalu. Walau kartu akses apartemen tidak dapat digandakan tapi apa yang tidak bisa dilakukan oleh seorang Reynand? “Kok nggak nelepon dulu, kan aku bisa jemput?” Untung saja Lembayung tidak memberitahu karena bisa dipastikan pria itu akan gagal menikah karena menjemputnya di bandara. “Kalo aku kasih tau kamu nggak melotot kayak tadi,” jawab Lembayung terkekeh mengingat ekspresi Rey yang kaget luar biasa. “Ckk.” “Eh, ini siapa?” tanya Lembayung menatap ke arah Jingga yang diam seribu bahasa. “Pembantu baru,” jawab Rey seenaknya membuat hati Jingga tersentil. “Jangan bilang kalo kalian abis nikah, ngeliat cewek ini pake kebaya, terus kamu pake jas?” Lembayung berbisik pada Rey, tidak enak jika gadis cantik itu sampai mendengar ucapannya. “Hahaha, tiap hari juga aku pake jas, Lea, yang benar saja! Nah kalo cewek ini baru kabur dari pernikahan paksa, kebetulan ketemu sama aku, jadi ya aku bawa sini aja buat dijadiin pembantu.” Lancar sekali Rey merangkai kebohongan. Jelas Lembayung tidak percaya, dia bukan anak kecil yang mudah dibodohi tapi wanita itu memilih diam dan mengulurkan tangan pada Jingga untuk berkenalan. “Aku Lembayung, panggil aja Lea.” Jingga mendongak menatap wanita di depannya, menerima uluran tangan Lembayung kemudian membungkukkan badan memperkenalkan diri. “Saya Jingga, pembantu baru tuan Rey,” balasnya mengikuti skenario sang suami. “Masa sih, kayaknya nggak mungkin deh cewek cantik gini cuma Rey jadiin pembantu,” ucap Lembayung dalam hati masih memperhatikan wajah gadis itu.”Warna matanya persis warna mataku, dan siapa tadi namanya, Jingga? “Malah bengong.” Rey menarik Lembayung ke kamar miliknya. Bukan untuk m***m tapi pria itu sudah biasa mengajak wanita itu ke kamarnya untuk sekedar bercerita pun sebaliknya. “Eh, kamu bikinin minum buat tamuku!” titah Rey pada Jingga yang masih diam di tempat. “Baik, Tuan,” balas Jingga kemudian melipir ke dapur, membuatkan minum untuk mereka. Tok tok tok Rey membuka pintu kemudian meraih dua gelas teh buatan Jingga. Hendak berbalik namun urung karena melihat gadis itu yang berdiri mematung di depan pintu. “Ngapain masih di sini?” tanyanya sarkas. “Dimana kamarku?” Jingga balas bertanya ketus. “Bagus! Berani kamu bicara gitu! Aku ini Tuan kamu, ingat?” Rey mendorong kasar kening Jingga dengan jari telunjuk membuat gadis itu hampir terjengkang. “Tau diri, kamu!” serunya kemudian berbalik ke kamar. “Lalu kamar saya dimana, Tuan?” Langkah Rey terhenti, tersenyum licik lalu berbalik kembali menatap gadis itu dan berbisik. “Kamar kamu yang itu ... di situ juga lengkap dengan peralatan pekerjaan kamu,” tunjuk Rey dengan senyum menyebalkan. Tanpa mengatakan apapun Jingga berlalu dari sana menuju kamar yang Rey tunjuk. Dia sudah terlalu lelah untuk berdebat. Dirinya ingin segera istirahat, mungkin sekaligus untuk mengurangi rasa lapar karena seharian cuma sarapan sepotong roti di kantin rumah sakit. Jingga terkejut saat masuk kamar yang ternyata adalah gudang tempat penyimpanan peralatan kebersihan, tidak ada kasur, bantal atau pun tikar. Tempat itu sangat kotor karena tidak pernah dibersihkan. Rey memang mempekerjakan seseorang untuk beberes namun hanya seminggu sekali dan tidak membersihkan gudang. Terdapat dua kamar dalam apartemen ini yang salah satunya dia jadikan gudang. Rey jarang menempati apartemen ini, hanya sesekali saat dia singgah karena ada pekerjaan yang mengharuskannya menginap. Sebenarnya bukan masalah sulit bagi Jingga untuk membersihkan kamar, hanya saja tubuhnya sudah sangat lelah. Dengan terpaksa dia mengambil alat-alat kebersihan itu untuk dipindahkan ke sudut ruangan agar tersisa ruang yang bisa dia gunakan untuk tidur. Jingga menyapu dan mengepel lantai, menunggu kering sembari mencari alas untuk tidur. Beberapa kardus berukuran agak besar menyita perhatiannya. Dia mengambil kemudian melipat dan menatanya setelah lantai kering. Merebahkan tubuh yang sudah sangat lelah, menit berikutnya mulai tertidur. Rey terbangun tengah malam saat perutnya terasa perih. Lembayung sudah pulang beberapa jam lalu. Namun karena terlalu asik berbincang Rey lupa jika dirinya menyuruh Jingga masuk gudang. Dia ingat dirinya dan gadis itu melewatkan makan siang. Bahkan sekarang sudah bukan lagi waktu makan malam. Mereka melewatkan dua waktu makan sekaligus. Pantas saja sekarang perutnya terasa perih. Lalu apa kabar gadis itu yang dia suruh tidur di gudang kotor? Beranjak menghampiri kamar yang ditempati istrinya Rey membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Ada rasa kasihan melihat gadis itu tidur melingkar seperti udang goreng dengan kebaya pernikahan mereka masih melekat di tubuhnya. Pasti dia sangat kedinginan. Rey menutup pintu kembali kemudian merogoh ponsel di saku celana dan mendial nomor seseorang. “Roy, carikan kasur queen size dan bawa kesini!” titah Rey tanpa peduli kalau di seberang sana sang anak buah sedang istirahat. “Maaf, Bos tapi ini jam satu pagi, mana ada toko kasur buka.” “Siapa yang bilang sekarang?” “Lah, kalau bukan sekarang kenapa nelepon pagi-pagi begini!” gumam Roy kesal setelah panggilan dimatikan sepihak oleh sang Bos. Hilang sudah ngantuknya padahal dia ingin tidur sampai puas mumpung bosnya sedang sibuk dengan malam pertama. Begitu dia pikir. “Gini amat jadi bawahan,” keluhnya sebelum menarik kembali selimut mencoba memejamkan mata lagi. Pagi menyapa Jingga bangun dari tidur saat mendengar suara adzan di ponselnya. Badannya terasa sakit karena tidur dengan posisi tidak nyaman. Dia bangkit kemudian membuka pintu kamar hendak ke kamar mandi. Netranya menatap berkeliling dan berhenti pada sebuah ruang kecil di samping dapur. Segera gadis itu masuk kemudian mengambil air wudlu untuk melaksanakan sholat subuh. Jingga tidak menyadari ada Rey di dapur karena lampu tidak dinyalakan. Sang suami sedang mengambil minum saat gadis itu berjalan menuju kamar mandi. Rey menatap intens sang istri, mata sayunya menandakan bahwa dia menyimpan kesedihan mendalam. ** Ini adalah hari kedua Rendi tanpa kehadiran Jingga. Rasanya sepi tidak ada yang bisa diajaknya berbicara seperti biasa. Menghabiskan sarapan dirinya bangkit untuk mencari pekerjaan. Dia sudah berjanji pada anak gadisnya untuk meninggalkan judi. Rendi akan hidup dengan baik mulai saat ini seperti kehidupan yang dijalaninya dulu saat bersama putrinya dan sang istri. Setelah mencari ke beberapa tempat akhirnya pria paruh baya itu mendapatkan pekerjaan sebagai tukang cuci mobil. Tidak apa, pekerjaan ini jauh lebih baik dari pada hasil dari menang judi. Hari ini juga Rendi mulai bekerja karena kebetulan pekerja lama di sana keluar karena ibunya di kampung sakit yang mengharuskannya untuk pulang. Tak sengaja matanya menatap ke seberang jalan. Rendi melihat seseorang yang sangat dikenalnya ada di sana. Seketika jantungnya berhenti berdetak, detik kemudian berpacu dua kali lebih cepat dari sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD