BAB 6

1179 Words
Lembayung duduk di kursi yang ada di balkon kamar sebuah rumah minimalis dua lantai yang beberapa tahun belakangan tidak ditempati. Rumah yang masih tampak asri karena selalu dibersihkan secara rutin itu menyimpan banyak kenangan. Ingatannya kembali pada kejadian lima belas tahun silam dimana adik satu-satunya yang sangat dia sayangi pergi menghadap Yang Maha Kuasa. Saat itu usia sang adik baru menginjak sepuluh tahun sedangkan Lembayung sendiri berusia lima belas tahun. Adik Lembayung meninggal karena kecelakaan saat pulang dari sekolah bersama seorang sopir yang juga meninggal di tempat karena mobil masuk jurang. Kepergian Lian, adik Lembayung meninggalkan duka mendalam bagi keluarganya. Sang ibu bahkan sampai depresi hingga akhirnya mereka memutuskan pindah ke Turki untuk melupakan kenangan buruk itu. Sekarang kondisi sang ibu sudah lebih baik. Mereka sudah mulai berdamai dengan keadaan. Sedikit demi sedikit mulai melupakan kejadian menyakitkan itu. ** “Dewi .... ” gumam Rendi, menoleh ke kanan kiri kemudian berjalan cepat menyeberang jalan menghampiri wanita yang mengenakan pakaian lusuh, tidak seperti dulu yang tampak modis. “Dewi!” Rendi berseru mendekat ke arah wanita yang masih berstatus sebagai istrinya. Wanita itu menoleh, terpaku mendapati pria yang sangat dirindukannya berdiri di hadapan. Matanya memanas sedetik kemudian sebulir air mata jatuh melewati wajah yang bahkan terlihat lebih tua dari usianya. “Mas Rendi ....” Bingung, dia tidak bisa mendekat karena merasa bersalah setelah sepuluh tahun meninggalkan pria itu dan sang putri. Namun dirinya juga tidak bisa menjauh karena begitu merindukan sosok suami yang sangat dia cintai. Tanpa ba bi bu, Rendi merengkuh tubuh ringkih sang istri dalam dekapnya. Tangis keduanya pecah seketika. Rasa rindu yang membuncah membuat mereka lupa sejenak masalah sebelum keduanya berpisah. “Kenapa kamu di sini, dimana Candra?” tanya Rendi setelah mengurai pelukan. Dia tidak tega melihat istrinya dalam keadaan cukup mengenaskan seperti ini. “Aku nggak tahu keberadaan Candra, Mas. Kenapa kamu menanyakan dia?” “Bukankah kamu kabur bersamanya?” tanya Rendi datar membuat seutas senyum terbit di bibir Dewi. Rendi berpikir sang istri pergi meninggalkannya bersama sang putri karena laki-laki dari masa lalu wanita itu yang bernama Candra. “Mas salah paham,” balas Dewi. Rendi mengernyit mendengar penjelasan sang istri. Dewi yang menyadari kebingungan sang suami segera meraih tangan pria itu kemudian mengusapnya. “Aku tidak pernah kabur bersama laki-laki lain, Mas. Beberapa kali aku memang bertemu dengan Candra tapi tidak ada apapun yang terjadi di antara kami. Aku pergi karena kamu berubah, Mas,” ucap Dewi sendu pada sang suami. “Kamu pulang dulu ke rumah ya, kita bahas ini di rumah. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku dulu.” Rendi mengecup puncak kepala sang istri sambil memberikan kunci rumah kemudian berlalu. Sementara Dewi pulang ke rumah mereka yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat itu. ** Selesai sholat subuh Jingga berjalan ke dapur berharap menemukan bahan makanan yang bisa dia masak untuk mengisi perutnya yang sejak kemarin kosong. Menelisik isi kulkas, tidak ada apapun. Dia juga tidak punya uang sepeser pun untuk membeli bahan makanan. Jingga bingung harus bagaimana sementara Rey tidak kelihatan batang hidungnya. Entahlah, mungkin sang suami masih tidur di kamarnya. Kembali ke kamar, Jingga mengamati sekitar. Harus kemana dia memindahkan isi gudang yang berantakan? Tentu Jingga merasa tidak nyaman tidur di kamar sekaligus gudang itu. Tiba-tiba pintu apartemen terbuka membuat Jingga menoleh, menampilkan sosok tampan sang suami. Di tangannya tertenteng dua kantung kresek berwarna putih. Satu kantung dia berikan pada Jingga kemudian satu lagi dia tuang dalam mangkuk. Rupanya Rey membeli bubur ayam. Melewati sang istri yang diam mematung dia membawa makanannya ke meja makan. “Ngapain masih di situ! Nggak laper?” tanyanya ketus saat melihat Jingga tak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Tanpa menjawab gadis itu ikut mengambil mangkuk dan menuang jatah buburnya kemudian ikut duduk di seberang meja pria itu. Mereka sarapan dalam diam. Hanya suara denting sendok menemani keheningan. Sesekali Rey melirik pada sang istri yang terlihat menikmati makanannya. Bibir itu tersungging namun buru-buru kembali bersikap datar seperti sebelumnya saat mendapati gadis itu mendongak menetapnya. "Ekhem!" Rey yang merasa seperti maling ketahuan mencuri berdeham. Konyol sekali dirinya harus mencuri pandang pada istri sendiri. Macam orang yang baru jatuh cinta saja. Selesai dengan sarapan segera Jingga membawa mangkuk kotor mereka menuju washtafel untuk dicuci. Masih dengan keheningan yang sama seolah kemarin tidak terjadi ijab qobul di antara mereka. Berlagak seperti orang asing yang tidak saling mengenal. Memang kenyataannya seperti itu, bukan? Mereka tidak saling mengenal tetapi terikat pernikahan sah secara agama. Kembali ke meja makan, Jingga merasa perlu membicarakan masalah ini pada Rey. Demi masa depannya. “Apa aku tetep boleh kuliah?” Jingga bertanya tanpa menatap pria yang diajak bicara. “Aku lagi skripsi, bentar lagi kelar, sayang banget kalo nggak dilanjutin,” imbuhnya. “Buat apa kuliah toh kamu di sini cuma aku jadiin b***k!” Senyum mengejek terukir di wajah tampan Rey. “Tolong ijinin aku kelarin skripsi, abis itu terserah kamu mau lakuin apapun.” “Ok, kurang baik apa coba? Setelah itu kamu bener-bener jadi budakku!” tegas Rey. “Thank’s.” Jingga berbalik, tidak ingin berlama-lama berbicara dengan manusia es di depannya. Di saat bersamaan terdengar suara berisik di luar apartemen. Roy datang membawakan pesanan Rey tadi malam. Tersenyum tipis sekali nyaris tak tampak, Jingga berkata dalam hati. “Ternyata kamu punya sisi baik.” Sebelum melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Keluar dari kamar mandi sepi, tidak tampak satu orang pun yang tadi sempat gaduh. Jingga masuk kamar ternyata sudah rapi. Sudah tidak ada alat kebersihan di kamar itu. Syukurlah, bisa tidur nyenyak nanti malam. Pikirnya. Jingga membuka tas selempangnya mencari ponsel yang sejak semalam mati karena habis baterei. Mengisi daya dan menghidupkan kembali ponsel kemudian bangkit untuk membereskan beberapa pakaian yang sempat dia bawa sebelum akad nikah kemarin setelah menyadari ada lemari baru juga di kamar itu yang sebelumnya kosong. Dering notif pesan masuk berbunyi, membuatnya menghentikan aktifitas beberes. Berpuluh pesan dari nomor yang sama dengan isi pesan yang hampir sama pula menghiasi layar ponselnya. “Kamu dimana, Ga?” “Aku cari kemana-mana.” “Aku khawatir sama kamu.” “Kalo udah baca tolong bales pesenku.” Itu isi pesan terakhir Aron beberapa jam lalu. Jingga bingung harus membalas pesan seperti apa untuk sahabatnya. “Aku lagi ada urusan Ar, maaf dari kemarin lupa isi daya ponsel. Aku nggak pa pa, kamu nggak usah khawatir. Besok kalo udah kelar urusan, insya Allah aku masuk.” Kalimat panjang nan lebar penuh kebohongan itu yang terpaksa Jingga kirimkan dalam bentuk pesan suara. Setelahnya ponsel kembali dia matikan. Hanya butuh waktu lima menit bagi dirinya menyelesaikan beberes kemudian mengambil laptop untuk melanjutkan bab skripsi yang kemarin diminta dosen pembimbingnya. Hari mulai terik, Jingga hendak keluar kamar untuk mengambil minum. Sibuk dengan laptop membuatnya lupa untuk sekedar melepas haus. Memutar handle membuka pintu kamar, dia membeku, netranya membola melihat penampakan di hadapan. “Astaghfirullahaladzim,” pekiknya sambil menutup mata. Jingga kembali masuk kamar dan mengunci pintu. Tanpa dikomando lelehan bening mengalir membasahi pipinya. Hilang sudah rasa haus yang sempat mendera. Tubuhnya merosot ke bawah dengan isakan tertahan. Jingga sadar posisinya, tapi pantaskah hal menjijikan seperti itu diperlihatkan padanya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD