Part 19

1096 Words
Bukan tanpa sebab, Kak Sofi jatuh cinta sejak kelas satu. Mungkin aneh. Namun, itulah kenyataan yang terjadi. Saat ini hanya tinggal beberapa bulan lagi menuju Ujian Nasional kelulusan. Satu setengah bulan yang akan datang sudah tes semester satu. "Sabar, Kak, kalo jodoh ga akan kemana. Kalo ga kemana-mana nanti ga jodoh," godaku pada Kak Sofi yang mencebikkan bibirnya. "Yee, ga menghibur malah menyesatkan." Kak Sofi mengerucutkan bibirnya. Benar juga, selama ini kehidupan Mas Panji sama sekali tidak ada yang tahu. Putra semata wayang Bu Desi, pemilik indekos memang tertutup. Banyak wanita yang datang, tapi tidak ada yang menjadi pacarnya. Rata-rata setelah datang ke rumah induk, semua wanita itu tidak akan datang lagi. Penyebabnya, entahlah. Sampai sekarang tidak ada yang tahu tentang hal itu. Lagi pula Mas Panji juga tidak pernah mengusik warga yang indekos di tempat ini, jadi tidak perlu tahu lebih dalam tentangnya. Aku kembali ke kamar. Mengambil ponsel yang sedang terhubung pada stop kontak. Ponsel ini telah penuh baterainya. Mengecek satu per satu pesan yang masuk. Ada nomor yang tidak dikenal bahkan baru pertama kali mengirim pesan. [Nirina apa kabar?] Aku mengernyit bingung. Tidak pernah memberikan nomorku pada orang tak dikenal. Pesan tersebut seolah menunjukkan lama tidak bertemu denganku. Jika teman SMP, pasti akan memberikan nama di bawah pesan tersebut. Aneh! Aku tidak membalasnya. Takut, salah satu alasannya. Akhirnya, tubuh ini mengisyaratkan untuk tidur. Ingat ya, tidur dengan mata terpejam, bukan berguling ke sana dan ke mari. Baru saja akan memejamkan mata, ada saja gangguan yang datang. "Na, ada Fajar di depan," teriak Mbak Irma. Anak ini, datang tak diundang dan tak tepat waktu. Hal apa yang membuatnya datang siang-siang begini? Dasar cowok aneh! Aku terus saja menggerutu sambil mencepol rambut asal. "Paan? Datang pas banget aku mau tidur siang," cerocosku sambil setengah marah padanya. "He he he ...." Hanya cengiran lebar sebagai jawaban kedatangannya. "Anu ... ini, itu," lanjutnya tidak jelas. "Anumu kenapa?" jawabku tanpa sadar. "Ckck bukan itu yang mau aku katakan, ini penting bagi kelangsungan hidupku kedepannya," jawabnya dengan senyum sangat lebar. Aku bahkan baru menyadari jika hari ini Fajar menggunakan baju merah jambu. Astaga! Semakin aneh dan membuat bulu kuduk meremang. Bagiku, pria menggunakan baju merah jambu adalah hal yang langka. "Emang gimana kelangsungan hidupmu selama ini? Kadang mati kadang hidup?" Aku bertanya dengan nada tak bersahabat. Fajar sepertinya memikirkan kalimat yang akan keluar dari mulutnya. Takut, aku memarahinya karena datang tak diundang. Benar saja, dia komat-kamit semakin tidak jelas saja. "Buruan, aku mau tidur, ganggu aja. Kalo ga penting ga usah bilang dulu," kataku berikutnya Fajar terkesiap mendengarnya. "Na, ini rahasia kita berdua ya. Janji dulu." Fajar mengangkat salah satu krlimgkingku agar mengait pada kelingkingnya. "Aku jatuh cinta ...," kalimat ucapannya terpotong. Aku sangat penasaran, siapa yang dia suka. Heran saja, selama ini tidak ada gelagat menyukai perempuan.Bahkan tingkahnya seperti perempuan suka bergibah. Banyak yang mengatakan dia pria bertulang lunak. Aku satu-satunya sahabat yang dia punya. Bukan berarti dia melambai, hanya saja tukang gibah. "Siapa orangnya?" tanyaku dengan mata melebar. Rasa kantuk ini hilang seketika. Berita baru dari Fajar membuat mata ini terbuka lebar. Fajar justru tampak bingung mengatakannya. Akhirnya dengan setengah berbisik dia jujur. "Riani," jawabnya polos. "Hah! siapa ...?" Pertanyaanku bahkan belum selesai. Fajar membekap mulutku dan mengisyaratkan agar aku tidak berteriak histeris ala-ala pengemar Westlife. Aku akhirnya mengganguk setuju. Takut kehabisan oksigen dan mendadak pingsan. "Diam ya, tolong, Na, jangan cerita ke siapa pun," pintanya memelas. "Nah 'kan baru aja diminta diam, malah mau teriak," ucap Fajar. "Tenang aja, dan bisa bantu doa doang ya," candaku. Wajar Fajar sangat masam dan lucu saat pamit pulang. Kurang ajar memang, pulang saat aku sudah tidak mengantuk. Berita yang dia bawa memang mengejutkan. Diam-diam suka dengan Riani. Gadis aneh, dan ya sering membuat hati ini jengkel. Entah hendak mengerjakan apa, yang pasti rasa kantuk hilang seketika. Saat ini tempat indekos sangat sepi. Penghuninya sedang sibuk tidur siang. Terlebih ini adalah hari Minggu. Akhirnya dengan mata yang terlanjur lebar kembali aku memutuskan menonton acara televisi. Barangkali saja nanti bisa mengantuk saat menontonnya. Acara yang yang ada di televisi ternyata membosankan. Perut juga sudah kenyang rasanya, bingung hendak melakukan apa. Iseng, mencoba membersihkan kamar milikku. Kamar yang bentuknya sudah sangat mengerikan jika dikatakan kamar seorang gadis. Lebih tepatnya sebuah gudang. Hingga sore, kegiatanku hanya membersihkan kamar. Segera mandi, dan melangkahkan kaki membeli makan malam. Terlalu awal jika dikatakan makan malam, karena masih jam setengah lima sore. Sepanjang perjalanan tampak ramai lalu lalang kendaraan beroda dua dan empat. Hari Minggu biasanya arus balik ke tempat mereka bekerja atau menimba ilmu. Aku jarang pulang, jadwal sekolah tidak memungkinkan. Sekalian liburan semester manti. "Na, makan di sini juga?" tanya sesorang yang tidak asing saat baru saja sampai di depan warung bebek bakar. Dia adalah Pak Reza dan temannya. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Mulut ini kelu jika mengingat berita yang beredar aku berpacaran dengannya. Enak saja! Agung masih lebih ganteng di mata ini. "Tumben sendirian?" Pak Reza terlihat sedang mencari obrolan denganku."Biasanya 'kan selalu sama-sama dengan Rini. Apa kabar dia?" tanyanya lagi. "Saya tidak satu tempat indekos dengan Rini, Pak. Dia indekos di dekat sekolah." Aku memberikan informasi secara gratis. Aku memerhatikan penjual yang sedari tadi sibuk menggoreng bebek. Air liur rasanya menetes melihat perpaduan sambal dan bebek goreng. Lebih baik makan di sini atau dibungkus ya? Kalau dibungkus makan sendirian, majan di sini bareng Pak Reza. Bagaikan makan buah simalakama! Pilihan yang sangat sulit. "Makan di sini aja, Na," ajak salah satu teman Pak Reza yang entah bernama siapa. "Enggak, mau langsung pulang. Mau mengerjakan PR buat besok Senin." Alasan yang sedikit masuk akal. Biarlah berdusta daripada besok akan timbul gosip yang sangat aduhai. Jangan percaya pada siapa pun perihal kedekatan kita dengan seseorang. Bisa jadi kabar burung yang entah burung milik siapa. Guru PPL berlesung pipi mendesah kecil. Namun, masih terdengar di telinga ini. Temannya memberikan senyuman yang mengejeknya. Aku tak paham maksud kedua orang itu. "Na, sesekali makan di sini, bareng aku dan Sandi." Pak Reza menjelaskan. Baru aku tahu nama temannya adalah Sandi. Entah, Sandi Morse, atau Sandi siapalah. Nama yang menurutku tidak jelas. Kalau dijelaskan pun belum tahu otak ini bisa berpikir jernih. "Hm ... besok-besok deh kalau saya khilaf." Aku menjawab dengan senyum lebar karena mengingat nama Sandi. Aku menungu pesananku. Ternyata dari tadi belum memesan sama sekali. Astaga! Teledor sekali, membuat malu saja. Aku bahkan tanpa sadar justru menunggu kedua guru PPL ini makan. "Makanya kalo disuruh makan bareng sama guru itu nurut. Ini namanya kualat berani menolak titah guru ganteng." Pak Reza terus saja mengoceh saat pesananku datang. Mereka berdua terbawa sambil menggeleng. Aku pun menjadi malu karena keteledoran yang sangat mendarah daging ini. Ya, siapa yang tahu jika tadi lupa memesan. Toh, penjual dan pelayan di warung ini tidak bertanya padaku. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD