Langit semakin gelap, setelah aku melihat pergumulan panas antara Papa dan Istriku sendiri. Aku langsung memutuskan untuk pindah di kamar depan.
Sekarang ini aku sudah berada di meja makan, bersama Mama serta Papa dan Istriku. Cih! Aku bahkan tidak sudi memanggilnya Papa dan mengakui perempuan itu sebagai istriku.
"Pah, mau yang mana lauk nya?" kudengar suara itu, suara perempuan itu agak manja.
"Sayur sama ayam aja sayang."
Aku hanya diam, lebih fokus ke makanan yang ada di depanku.
Lewat ekor mataku kulihat Mama menunduk. Ada apa? Segera ku angkat wajahku untuk melihat tingkat apa yang sedang dilakukan 2 orang di depanku itu.
Aku hanya memutar bola mata malas, melihatnya. Laki laki dan perempuan itu saling suap dan tangan sang laki mengelus pelan perut si perempuan.
"Ekhm!"
"Kalian sudah putuskan mau keluar dari rumah pukul berapa kan?"
Kulihat tubuh mereka menegang karena pertanyaan itu.
"Ehm.. Res sebaiknya kita bicara dulu."
Ku tautkan alisku, "Kenapa? Apa ada alasan untuk menampung seorang penjahat?"
"Ti-tidak begitu maksudku, bagaimana kalo kami disini sampai 1 minggu ke depan, dan dalam waktu itu akan ku gunakan untuk mencari pekerjaan."
"Ti-"
"Res, biarkan mereka disini seminggu ke depan. Kasian Rena juga sedang hamil." potong Mama, sambil mengusap lengan ku.
"Hmm.. terserah." Aku bahkan tidak tega menentang Mama, akhirnya rayuan itu ku setujui.
****
Setelah makan, Mama memintaku untuk mengahantar heliau ke kamar. Ku kegendong perlahan Mama menuju ranjangnya.
"Makasih ya, sayang."
"Nggak usah makasih Ma. Ini udah ke wajiban aku."
Tanganku menarik selimut, menutupi tubuh Mama hingga sebatas lehernya.
"Ouhhhgggggg... ahhhhhh... aahhh.. ahhh.. terus Paaahhhhh.. nikmat.. ohhh.. .ohhhh"
"Engghhhh.. .ohhhh ohhhh ohhh.. ohhh.. ohhh.."
Ku dengar suara itu desahan yang ku dengar tadi siang. Dan suara decitan ranjang yang keras. Aku hanya menghela nafas jengah.
Bisa-bisanya sudah numpang selingkuh di rumah pasangan sendiri.
Ku lihat Mama menatapku sendu.
"Mah.. Mama mau aku usir mereka? Atau Mama pindah di kamar depan?"
Mama menggeleng.
"Seharusnya Mama yang tanya ke kamu. Kamu nggak papa kan?"
"Enggak aku nggak papa. Aku malah bersyukur undah dijauhakan dari mereka,"
"Tapi dulu perasaan mu ke Rena begitu besar, Nak."
Aku menggeleng, aku memang mulai tidak peduli pada Rena sejak ia mengabaikan tugasnya sebagai seorang istri.
"Sekarang lebih baik Mama tidur."
"Kamu juga tidur, nak. Selamat malam."
"Malam,"
Kututup perlahan pintu Mama. Kakiku membawaku pergi ke kamar depan tempat tidurku mulai malam ini. Aku tak ingin memikirkan mereka yang terus mendesah, melenguh, merancau keenakan.
****