2. Pinjam Uang

750 Words
"Mas, ada yang mau aku bicarakan." Kinan berdiri di belakang Arya yang sedang menyisir rambut. Suaminya itu baru saja mandi dan tengah bersiap-siap untuk ke bandara. Dia dan Ara juga sudah siap. Ya, mereka akan kembali ke Jakarta siang ini. "Iya." sahut Arya lalu berbalik menatap sang istri yang malah menunduk. "Ada apa?" Kinan memainkan jemari tangannya sendiri. Dia bingung mau mulai dari mana. "Anu, itu ...." "Duh, Nan. Jangan anu-anu dong. Masih siang." serobot Arya sambil tersenyum aneh. Mendengar kata anu disebutkan oleh istrinya membuat pikirannya ke mana-mana. Kinan mendongak dan terlihat bibirnya mengerucut sebal. "Aku serius, Mas." ucapnya lirih malah terdengar seperti sebuah rengekan di telinga Arya. "Iya, apa? Dari tadi aku tanya, kamu jawabnya malah anu-anu." Arya memegang kedua pipi Kinan yang entah kenapa bisa memerah dan dia sangat menyukai itu. Dia suka saat pipi Kinan merona karena dirinya. Wanita berpipi bulat itu menatap mata suaminya masih agak sungkan. "Aku mau pinjem uang." "Apa? Pinjem?" tanya Arya tak percaya. Bagaimana bisa Kinan mengungkapkan ingin meminjam uang kepada suaminya sendiri. "Kamu ini ngomong apa, sih?" Kinan kembali menunduk walaupun kedua pipinya masih ditahan oleh Arya. Rasa dalam hatinya sekarang menjadi sangat aneh. Dia tahu rumus uang suami adalah uang istri, tetapi dia bingung mau mengatakan apa saat meminta. Wanita itu sebenarnya tidak mau meminta pada Arya, tapi dia juga tidak sampai hati jika pulang ke Jakarta tanpa memberi sedikit uang pada ibunya. Bukan perihal sulit jika uang di tabungannya masih ada. Masalahnya semua uang miliknya sudah ia ambil untuk keperluan hajatan pernikahannya. Sejujurnya, dia juga sudah menolak saat ibunya akan mengadakan hajatan untuk merayakan pernikahannya itu. Namun, Kinan tidak bisa berbuat apa-apa ketika sang ibu berkata ingin merayakan pernikahan tersebut karena Kinan adalah anak perempuannya. Ibu Yanti ingin seperti orang tua lain yang bisa menikahkan anaknya seperti kebanyakan orang di tempat mereka tinggal. "Aku pengen ngasih ke Ibu, Mas. Tapi, aku udah nggak punya uang lagi. Di atm udah habis aku ambil buat biaya pernikahan." Arya menghembuskan napasnya pelan. Ia mengangkat wajah Kinan agar istrinya itu mau menatapnya. "Kenapa nggak bilang dari awal? Aku dulu udah mau kirimin kamu uang. Tapi kamu nolak dan akhirnya malah jadi beban kamu sendiri, kan." ucap Arya tetap tenang. Walaupun dia memberi uang seserahan, tapi tetap saja jalurnya berbeda. "Enggak. Udah jangan bahas itu lagi." tolak Kinan ingin mengalihkan pembicaraan. Dia dulu memang tak mau berterus terang pada Sang suami tentang biaya resepsi pernikahan. "Berapa? Kamu mau ngasih Ibu berapa?" tanya Arya kemudian. Dia juga tidak mau memperpanjang masalah ini. "Kalau... satu juta. ada?" Kinan memberanikan diri untuk menatap Arya yang masih betah memegang kedua pipinya. Arya lalu melepaskan tangannya dari pipi Kinan. Ia merogoh dompetnya di saku belakang celana yang ia pakai. Membuka dompet kulit berwarna coklat itu dan membukanya di depan Kinan. Tangan kanannya lalu mengambil semua uang tunai yang berada di dalam dompet. Menghitung lembaran-lembaran merah itu dengan disaksikan oleh Kinan. Saat merasa belum cukup, ia raih tas kecil di atas meja lalu mengambil lembaran-lembaran yang lain. "Ini." ucapnya sambil memberikan lima puluh lembar uangnya pada sang istri. Arya menarik tangan kanan Kinan karena istrinya itu tak segera menerima pemberiannya. Kedua mata Kinan membulat saat ada begitu banyak uang berada di tangannya. Dia lalu buru-buru menggeleng. "Nggak usah banyak-banyak, Mas. Satu juta aja." "Aku cuma ada lima-lima. Ini yang lima ratus buat pegangan kita. Yang itu kamu kasih Ibu. Nggak usah protes!" tutur Arya dan kembali mengantongi dompetnya. "Kebanyakan, Mas." seru Kinan masih menolak. Arya kembali meraup kedua pipi Kinan. Menatap mata bulat istrinya itu lekat-lekat. "Nggak ada kata banyak kalau ngasih ke orang tua. Itu nggak seberapa dibanding Ibu yang udah ngerawat kamu dari kecil. Aku adanya lagi segitu, jadi ngasihnya segitu dulu, ya." "Tapi, Mas." "Nggak usah ngeyel. Udah itu kamu kasih semua ke Ibu." tukas Arya tak mau dibantah. Walaupun dia dulu badung, tapi kalau untuk urusan orangtua dia tidak pernah setengah-setengah. "Nanti kan harus bayar tiket pesawat." tutur Kinan mengutarakan isi hatinya. Kalau Arya tak memegang uang, bagaimana mungkin nanti mereka bisa sampai di Jakarta. Arya tersenyum hampir tertawa. Dia melihat gurat kekhawatiran dari wajah ayu istrinya. "Nanti di bandara kan ada ATM. Kita bisa ambil uang di sana. Lagian masalah tiket udah diurus Sari semua." Akhirnya Kinan mengangguk mengerti. "Terima kasih, ya, Mas." "Makasih buat apa?" "Ini uangnya." jawab Kinan polos sembari mengangkat tangannya yang memegang uang. Tawa kecil Arya menguar mengisi telinga Kinan. "Nggak perlu terima kasih. Uang aku itu uang kamu juga, Sayang." Alisnya tertaut, bagaimana bisa begitu? Kinan kan tidak bekerja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD