3. Pulang

1156 Words
Kinan memeluk sang ibu dengan sangat erat. Rasanya sangat berat untuk meninggalkan beliau lagi. Kinan seperti ingin di Jogja saja jika tak mengingat statusnya yang sekarang sudah sah dimata agama, hukum dan hati Arya. Ya, sebagai seorang istri dia harus berbakti pada suami. "Ibu, Kinan pamit, ya. Ibu hati-hati di rumah. Jangan capek-capek. Dijaga kesehatannya. Tidak usah jualan setiap hari, jualan kalau pas hari pasaran saja." "Iya, Kamu juga hati-hati. Yang nurut nanti kalau sama suami. Inget, ya, Nduk, tidak boleh membantah suami. Anaknya juga jangan dibentak-bentak. Yang namanya anak kecil itu wajar kalau berantakin mainan atau makannya tidak habis." tutur Ibu Yanti menasihati putrinya itu. "Kinan kan tidak pernah membentak Ara, Bu." Kinan membela dirinya sendiri meskipun ia dulu sempat kelepasan mengomeli anaknya itu karena susah makan. Dan mungkin memang ada hubungannya karena setelah itu Ara jadi sakit dan dirawat di Klinik hingga Arya datang ke Jogja dengan keadaan tak sehat pula. "Ibu hanya memberi nasihat, Nduk. Nanti pasti ada masanya Ara susah makan lagi. Kamu harus sabar." Ibu Yanti mengusap-usap bahu anaknya itu. "Iya, Bu." "Jaga kesehatan. Jaga diri. Jangan lupa sholat." "Iya, Bu." Kinan melepaskan pelukannya dari sang Ibu. Lalu berpindah pada Adit yang sudah tersenyum menatapnya. "Mbak titip Ibu, ya, Dit." "Iya, Mbak Kinan tenang aja." balas Adit sambil mengusap-usap bahu kakaknya itu. "Nanti kalau ada apa-apa langsung telpon Mbak." ucap Kinan dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. "Siap." sahut Adit dengan cepat. Arya yang sejak tadi lebih banyak diam itu kini gantian berpamitan pada sang ibu mertua. Pria itu menyalami dan mencium punggung tangan Ibu Yanti dengan khidmat layaknya seorang anak kepada ibunya sendiri. "Kami pamit, ya, Bu." ucapnya singkat karena tak tahu harus berkata apa lagi. Sejujurnya masih ada perasaan canggung ketika berhadapan dengan ibu mertuanya itu. Arya bahkan tak berani menatap lama wajah beliau saat berbicara. "Iya, hati-hati, ya, Nak. Ibu titip Kinan sama Ara." tutur Ibu Yanti seraya menepuk bahu Arya. Arya tersenyum lembut sambil mengangguk. "Mereka tanggung jawab saya, Bu. Saya janji akan menjaga Kinan dan Ara." Ibu Yanti balas mengangguk. "Ibu percaya, Nak." jawab beliau lalu melihat Ara yang sudah tak sabar ingin naik mobil. Bayi satu setengah tahun itu sudah bisa berjalan sendiri dan dia sudah berdiri di samping mobil dengan berkata mbin, mbin berulang kali. "Ara, salim dulu sama Mbah." Arya turun ke halaman rumah dan menggendong anaknya yang sibuk mengetuk-ngetuk body mobil seolah sedang mengetuk pintu. "Bah." ucap suara kecil itu membuat semua orang yang berada di teras tertawa kecil. Apapun hal itu jika dilakukan oleh anak kecil pasti akan terlihat lucu dan membahagiakan. "Iya, salim sama Mbah dulu. Sama Om Adit juga." tutur Arya lalu mendekatkan Ara pada Ibu Yanti. "Salim." ucap Ibu Yanti ketika Ara mengulurkan tangan kanannya. Setelah tangannya dan tangan beliau bersentuhan, bayi itu lalu menariknya dan meletakkannya di dahinya seperti yang sering diajarkan oleh Kinan, Arya maupun Ibu Yanti sendiri. "Pinter cucunya Mbah. Sini, gendong dulu." lanjut Beliau lalu meminta Ara dari gendongan Arya. Menciumi pipi bulat cucunya yang menggemaskan. Ara meronta-ronta dalam gendongan neneknya. Isak tangisnya mulai terdengar karena merasa sedikit tak nyaman. Neneknya itu menciuminya dengan terlalu keras dan menggebu. Dan bayi itu juga merasa dijauhkan dengan mobil yang sudah ingin ia naiki semenjak kendaraan itu datang. Sekuat tenaga dia berusaha melorot dari gendongan Ibu Yanti. "Byuh-byuh, diambung we kok wegah. (Heran, dicium saja kok tidak mau.)" ucap Ibu Yanti yang kembali menggunakan bahasa Jawa sambil menurunkan Ara dari gendongannya. "Byah-byoh, byah-byoh." kata Ara meniru ucapan neneknya dengan asal. Bibirnya sampai manyun-manyun hingga mungkin bisa dikucir. Bayi itu kembali berjalan menuju mobil. "Lho, sama Om Adit belum salim." Arya mengikuti anaknya dan langsung mengangkat Ara lagi. Setelah sampai di teras, Arya menurunkan Ara di depan Adit dan bayi itu sudah bertolak ingin berlari lagi, tapi perutnya langsung ditahan oleh Adit yang berjongkok. "Salim dulu sama Om, Ndut." ucap Adit dan seperti terhipnotis, Ara lantas mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya. "Sayang dulu." lanjutnya seraya menyodorkan pipi kanan. "Tayan. (Sayang.)" Ara mengetuk pipi Adit dua kali dengan telunjuknya sebelum mencium pipi Omnya itu dengan ujung hidungnya. Beralih ke pipi kiri, bayi itu juga melakukan hal yang sama. "Pinter." puji Adit seraya mencubit dua pipi bulat Ara secara bersamaan hingga membuat bibir kecil bayi itu ikut melebar. "Ampun, Om." ucap Kinan sambil tersenyum. "Apooo." suara Ara kembali meniru kata yang didengarnya. Lagi-lagi membuat semuanya tertawa. Kinan membuka tasnya dan mengeluarkan uang yang tadi diberikan oleh Arya. Mendekat lagi pada sang ibu dan memberikan uang tersebut. "Apa ini?" tanya Ibu Yanti yang menolak dengan menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung. "Bu, tolong diterima." tutur Kinan memohon. "Ibu masih punya uang." "Kinan mohon, Bu. Buat pegangan Ibu di rumah." Ibu Yanti masih menolak. "Tidak usah aneh-aneh. Kalian lebih membutuhkan uang itu." "Bu, tolong diterima, ya. Maaf kami adanya hanya segitu." Arya ikut bersuara ketika melihat Ibu mertuanya yang terus menolak. "Ibu masih punya uang, Nak." balas Ibu Yanti tetap bersikukuh. "Buat jaga-jaga saja kalau nanti tiba-tiba butuh, Bu." tutur Arya masih mencoba membujuk agar beliau mau menerimanya. "Iya, Mas Arya benar. Buat jaga-jaga saja, Bu. Siapa tahu nanti Adit butuh buat beli buku." sambung Kinan. "Enggak, ini buat Ibu. Nanti kalau Adit butuh sesuatu, kamu langsung telpon Mas, ya, Dit. Nanti Mas transfer." ucap Arya yang membuat Kinan kaget. Apalagi Ibu Yanti dan Adit yang terlihat lebih kaget daripada Kinan. Adit hanya mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Daripada dia menjawab dengan penolakan dan malah berbuntut panjang, lebih baik dia mengangguk untuk membuat hati Arya lega. × "Makasih, ya, Mas." ucap Kinan ketika mereka sudah berada di dalam pesawat. Sudah duduk dengan nyaman dan tenang. "Makasih buat apa lagi?" tanya Arya sambil membenarkan posisi kepala Ara yang sedikit miring. Bayi itu tertidur ketika mereka sampai di bandara tadi. Arya duduk memangku anaknya dengan penuh sayang. Akhirnya setelah sekian lama dia berhasil membawa istri dan anaknya kembali ke Jakarta. "Buat semuanya yang kamu berikan ke Ibu dan Adit." jawab Kinan menatap sang suami yang berada di samping kirinya. Arya balas menatap Kinan. Lalu tangan kanannya terulur menyentuh pipi istrinya itu. Mengusap titik air mata yang entah sejak kapan sudah turun. Kinan adalah orang yang mudah menangis apabila ada hal yang berkaitan dengan keluarganya. Dan itu membuat penyesalan dalam diri Arya semakin membesar. Jika dia tidak merusak Kinan, pasti istrinya itu kini tengah berbahagia merayakan gelarnya. Pulang ke Jogja dengan ijazah kebanggaan ditangannya. "Semua itu nggak ada apa-apanya dibanding kesalahan aku yang udah ngerusak kamu." Kinan menunduk dalam. Bohong jika dia sudah sepenuhnya melupakan hal kotor itu. Namun, sekuat hati dia berusaha untuk menghapusnya. Ada keluarga kecil yang siap ia bina bersama Arya. Ada anaknya yang membutuhkan kasih sayang dari mereka berdua. Dan jangan lupakan Arya yang sudah menyesali perbuatannya. Kinan tidak boleh egois lagi. Manusia tidak luput dari dosa. Jika Allah saja bisa memaafkan hambanya yang berbuat salah. Kenapa dia tidak? Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD