2. Kenapa Harus Dia?

805 Words
"Ka-kamu?!" Gadis itu membulatkan mata saat mengenali pria yang datang menolong. Menolong? Ah, ia tidak yakin akan hal itu. Pria yang akrab disapa dengan sebutan Shaka itu menoleh lalu berkata, "Jangan dulu bilang makasih. Urusan dengan nyonya ini belum selesai. Iya kan, Nyonya?" tatapan tajam itu beralih pada sang wanita menor. "Ah, tidak. Itu tidak benar. Sudah selesai kok. Anda bisa membawa gadis Anda pulang setelah menyelesaikan pem'bayaran tentunya," sahut Imelda dengan ramah. "Saya bersedia bayar lebih dari laki-laki ini, Mami!" teriak lantang seorang pria yang usianya hampir setengah abad. "Tidak bisa. Lelang kali ini telah selesai. Nanti saya ganti barangnya," sahut Imelda. "Tapi, Mami—" "Tidak ada tapi!" tegas Imelda tidak ingin dibantah lalu mengalihkan tatapan pada Shaka yang masih berdiri di depannya. "Silakan Anda bawa gadis Anda setelah menyelesaikan pem'bayaran," ujarnya dengan sopan dan tentu saja ramah. "Saya tidak akan membayar sebelum tangan gadis ini dilepas. Anda pikir dia kambing pakai acara diikat segala," balas Shaka dengan nada dingin dan penuh penekanan. Sang gadis menoleh dengan kepala dipenuhi banyak tanda tanya. 'Ini orang lagi bercanda atau apa? Mukanya kelihatan serius banget. Tapi pakai acara nyaman-nyamain aku sama kambing segala,' batinnya. Imelda pun memerintahkan anak buahnya untuk membuka ikatan di tangan gadis yang ia sandera. Sang gadis meringis sambil memeriksa pergelangan tangan yang tertutup pakaian lengan panjangnya. Ada beberapa bekas luka yang diakibatkan oleh tali pengikat karena ia sejak tadi berusaha untuk melepaskan diri meski tidak berhasil. Shaka melirik sekilas, ia bisa melihat ujung pakaian bagian lengan itu terdapat bercak merah. Jelas terlihat karena sang gadis memakai atasan berwarna krem. Pria itu mengambil ponsel pintar dari saku kemudian mengotak-atik layarnya. "Ini untuk DP. Anda bisa datang ke kantor saya besok untuk mengambil sisanya. Saya tidak membawa cek karena tidak tahu akan mengeluarkan uang sebanyak itu hari ini," ujarnya seraya memperlihat layar ponsel pada sang muccikari. "Baik, Tuan. Anda bisa bawa gadis ini sekarang. Silakan," ujar Imelda. "Terima kasih, Nyonya," sahut Shaka lalu mengalihkan tatapan pada gadis yang telah ia tebus dengan jumlah uang yang tidak sedikit itu. Sebelah sudut bibir tertarik ke belakang. "Anda berhutang pada saya, Dokter Aneska Zahira. Ayo, pulang!" ajaknya sembari berlalu lebih dahulu. Gadis cantik itu menghela napas panjang sembari menatap punggung sang pria. Sudah ia duga, ini bukanlah sebuah pertolongan biasa. Entah harus bersyukur atau mengeluh karena ia merasa seperti selamat dari mulut harimau dan terjebak di mulut buaya, sama-sama akan membuatnya susah. "Setidaknya kamu masih bisa melobi dia," ujar Aneska pada dirinya sendiri. Lebih tepatnya menghibur diri. Gegas menyusul pria yang ia kenal sebagai teman dari rekan kerjanya tersebut. "Aku antar kamu pulang," ujar Shaka saat mereka sudah tiba di lobi. "Gak usah!" Dengan cepat Aneska menolak. "Saya pulang pakai taksi saja. Soal uang itu akan saya ganti nanti." "Kamu yakin?" tanya Shaka yang diangguki oleh sang gadis. "Baiklah. Tapi kalau mereka kembali menangkap kamu, itu bukan tanggung jawab aku dan aku nggak akan ikut campur lagi," ujarnya sembari berlalu pergi. Aneska yang masih merasa trauma atas kejadian beberapa saat lalu, akhirnya mengikuti sang pria. Tentu ia tidak ingin ditangkap lagi. Tadi saja ia sudah putus asa meski pada akhirnya ada seseorang yang datang membantu. Membantu? Ah, lagi-lagi gadis itu tidak yakin apakah itu sebuah bantuan? Lagi pula, dari sekian banyak makhluk yang ada di muka bumi ini, kenapa harus dia yang datang? Tuhan, kenapa kau tidak mengirim orang lain saja? Shaka yang tahu ia sedang diikuti, menghentikan langkah lalu berbalik ketika sudah tiba di samping mobil. Ia bahkan sudah membuka kunci kendaraan tersebut. Aneska yang terkejut langsung berhenti. Untung saja ia masih bisa mengendalikan tubuh. Jika tidak, mungkin ia sudah menabrak tubuh tinggi tegap pria di hadapannya. "Apa gak bisa kamu jangan berhenti mendadak kayak gitu? Untung aja saya masih bisa ngerem kaki saya," omel Aneska. Shaka mengangkat sebelah alis sembari menatap gadis itu. "Kenapa kamu ngikutin aku? Katanya tadi mau pulang pakai taksi." Ia tidak menanggapi omelan sang gadis. "Sa-saya ...." Aneska menjeda ucapan, bingung harus menjawab apa. Otaknya berputar untuk mencari alasan yang tepat. "Tadi bukannya kamu yang nawarin buat nganterin saya pulang? Ya kalau ada orang mau berbuat baik, harus saya terima dong," sahutnya. Tanpa menunggu tanggapan dari sang pria, Aneska langsung saja membuka pintu belakang mobil tersebut. "Aduh!" Saat hendak masuk, kepalanya terbentur bagian atas mobil karena tidak hati-hati dan terburu-buru. Diusapnya kening yang terasa benjol sembari meringis. "Kalau mau pulang bareng, ya duduk di depan. Kamu pikir saya ini sopir?!" ujar Shaka sembari menatap gadis yang urung masuk mobil karena sempat terbentur. Aneska mendelik sebal, tetapi akhirnya mau tidak mau harus duduk di kursi depan. Sementara Shaka duduk di kursi kemudi lalu melajukan kendaraan meninggalkan tempat tersebut. Aneksa menatap sang pria cukup lama dengan kepala dipenuhi banyak hal hingga akhirnya ia pun bersuara, "Siapa kamu?" Shaka menoleh sesaat dengan kening mengernyit. Apa mungkin gadis itu hilang ingatan gara-gara terbentur pintu tadi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD