3. Jaminan Hutang

812 Words
"Mami gimana sih? Saya mau bayar lebih dari pemuda itu tapi malah ditolak," protes pria paruh baya yang masih suka jajan di luar padahal punya dua istri. "Mana ngutang pula. Padahal saya bisa bayar full ke Mami sekarang juga." "Saya gak mau berurusan panjang sama pemuda itu." "Kenapa? Mami takut sama anak kemarin sore yang masih bau kencur itu?" sinis pria yang kepalanya sudah dipenuhi rambut putih itu. "Anak kemarin sore tapi bisa bikin bisnis dan nama baik siapa saja yang bermasalah dengannya hancur hanya dalam kurun waktu kurang dari satu jam. Saran saya, lebih baik gak usah berurusan sama dia," sahut sang mami dengan wajah serius. "Mana mungkin." "Kalau mau bukti, coba saja. Tapi sagala resikonya Anda tanggung sendiri." Imelda mengangkat bahu. "Memangnya dia siapa sampai mami segitunya?" Ia pun penasaran. "Tuan Moreno, apa Anda pernah mendengar nama Shankara Mahesa?" "Ya. Rekan saya sekarang masuk penjara gara-gara bersinggungan sama dia. Dan semuanya kasusnya dibuka ke publik. Entah dari mana dia dapat informasi. Padahal semuanya sudah ditutup rapat," jawab Pria bernama Moreno itu. "Nah itu Anda tahu." "Lalu apa hubungannya dengan pemuda tadi?" Imelda terkekeh. "Ternyata otak Anda tidak setebal dompet Anda," sindirnya dengan tatapan mencemooh sembari mengeluarkan sebatang ro'kok lalu menyalakannya. Moreno hanya berdecih mendengar sindiran sarkas wanita itu. "Dia orangnya," imbuh Imelda sambil meniupkan asap ke wajah Moreno lalu pergi begitu saja diikuti oleh para pengawal. *** "Kamu gak kenal aku, Anes?" tanya Shaka, "jangan-jangan kamu amnesia gara-gara kepentok pintu. Makanya jangan suka grasak-grusuk. Kita ke rumah sakit sekarang. Kalau perlu periksa sekalian kepala kamu. Siapa tahu otak kamu geser," cerocosnya lagi. Aneska memutar bola mata malas. "Maksud saya, kamu siapa? Kenapa wanita tadi kayaknya takut sama kamu? Jangan-jangan kamu mafia," tudingnya dengan telunjuk mengarah pada orang di sampingnya. "Sembarangan! Mana ada mafia setampan aku," kilah Shaka dengan percaya diri tumpah ruah. Ane mencebikkan bibir. Muak dengan tingkah sang pria yang over percaya diri. "Dia itu bukan takut sama aku, dia cuma takut uangnya lenyap kalau aku berubah pikiran. Yang dia suka cuma uang," imbuh Shaka. Aneska berpikir sesaat. Sama sekali tidak puas dengan jawaban pria itu. Bukankah jika Shaka berubah pikiran dan urung menembusnya, wanita menor itu bisa mendapat uang dari orang yang bersedia membayar lebih? 'Orang ini memang mengada-ada. Aku yakin ada yang gak beres sama dia. Aku harap ini terakhir kali aku terlibat urusan sama dia,' batin Aneska. "Oh, ya. Kenapa kamu bisa berurusan sama perempuan itu?" tanya Shaka. Ia tahu banyak tentang gadis di sampingnya, tetapi tidak menemukan informasi tentang keterlibatannya dengan sang muccikari. Aneska menghela napas panjang. Beberapa saat lalu, ia baru saja keluar dari rumah sakit dan sedang berjalan menuju tempat mobilnya terparkir. Tetapi tiba-tiba saja ada dua orang pria datang menghadang. "Nona Aneska Zahira?" tanya salah seorang pria berpakaian hitam itu. "Iya?" angguk Aneska dengan tatapan penuh tanya, merasa tidak mengenal mereka. "Silakan ikut kami." "Kenapa saya harus ikut Bapak-bapak? Saya tidak punya urusan dengan Anda," sahut Aneska. "Anda memang tidak punya urusan dengan kami. Tetapi Anda punya sangkutan dengan bos kami," balas pria yang sama. "Bos?" "Benar, Nona." "Memang bos Anda siapa?" "Mami Imelda." Aneska berpikir sejenak, mencoba menggali ingatan. "Tapi saya tidak kenal dengan orang yang namanya Imelda. Mungkin Bapak-bapak salah orang." "Tidak, Nona. Kami tidak mungkin salah orang." "Oke. Kasih tau saya dulu, sangkutan apa yang dimaksud. Kalau memang ada hubungannya dengan saya, saya juga berhak tahu." Aneska tidak begitu saja percaya dan bersedia ikut mereka. "Jadi begini, Nona. Pak Ikbal, meminjam uang pada bos kamu dan menjadikan Nona sebagai jaminan," terang orang suruhan Imelda. "APA?" Aneska begitu terkejut mendengar penjelasan orang itu. Ikbal adalah adik dari ayahnya. Sedikit pun tidak menyangka. "Karena Pak Ikbal tidak bisa membayar hutang-hutangnya, jadi Nona harus ikut kami," pria itu menambahkan. "Tidak! Saya tidak mau ikut. Saya sama sekali gak ada hubungannya dengan hutang piutang om saya," tolak Aneska. Hubungannya dengan sang paman pun tidak begitu baik karena pria itu kerap datang hanya untuk menguras uang orang tuanya. "Kami tidak sedang memberi pilihan untuk Anda, Nona. Mau tidak mau, Anda harus ikut!" tegas orang suruhan itu. "Tidak! Saya tidak mau!" tolak Aneska lagi. " Jika Anda tidak mau ikut, saya tidak bisa menjamin keselamatan orang tua anda. Karena bos saya jelas tidak akan mau rugi, jika Anda tidak ikut, kami akan mendatangi sanak dan saudara Pak Iqbal yang lain, termasuk orang tua Anda." Aneska mengehela napas panjang sembari menatap tajam. "Berapa utang om saya? Biar saya bayar." "Tiga ratus juta." "APA?" Aneska kembali dikejutkan dengan nominal yang cukup besar untuknya. "Saya ada sebagian. Sisanya saya bayar nanti. Tolong beri saya waktu." "Tidak bisa, Nona. Kami sudah memberikan banyak waktu pada om Anda dan waktunya sudah habis. Pilihannya bayar tiga ratus juta full sekarang juga atau Anda ikut kami." Dan akhirnya di sini lah Aneska berada. "Jahat juga om kamu. Kalau aku ada di posisi kamu, udah aku rebus dia di air mendidih," komentar Shaka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD