Pengorbanan Yang Terlupakan

2053 Words
Mawar keluar dari ruangan Gama dengan terburu-buru sambil mengendap-endap memperhatikan sekeliling ruangan. Ketika melihat aman dan sepi, ia menoleh kebelakang dan langsung pamit sama suaminya itu untuk pulang. Kebetulan, Raka pun sudah tertidur pulas setelah menghabiskan waktu bersama Ayahnya walaupun hanya beberapa jam saja. Gama mempersilahkan dan menginginkan untuk hati-hati jangan sampai ketahuan keluarga Gama. "Hati-hati, Mawar! Tutupi wajahmu dengan selendang Raka!" "Iya, Mas!" jawab Mawar berlalu pergi meninggalkan ruangan Gama. Ia melangkah dengan sedikit terburu-buru, kepalanya terus menoleh ke kanan dan kiri. Posisinya saat ini, benar-benar merasa seperti buronan. Jelas, buronan istri sah, yang dimana ia akan babak belur jika sampai ketahuan dengan Melati berani menampakkan diri di hadapannya. Dengan tetap menepuk-nepuk b****g Raka, agar tak terbangun dari tidur nyenyaknya. Mawar menghentikan langkah kakinya saat melihat sosok Lea dari kejauhan. Mawar hafal betul wajah keluarga madunya itu, sebab pernah melihat semua fotonya di ponsel Gama. Memang, keturunan yang tak diragukan kecantikan dan kelembutannya. Ini pertama kalinya, Mawar melihat wajah Lea langsung dan langsung menyandari karena kecantikannya yang memang khas. Mawar menggelengkan kepalanya, bodoh sekali bisa-bisanya di waktu yang genting seperti ini, ia justru memikirkan kecantikan dan kelembutan dari keluarga madunya itu. Tatapannya kembali mengarah pada Lea yang semakin dekat saja ke arahnya. Ia mulai bingung harus ke arah mana, tapi jalan itu hanya satu arah, mau tidak mau harus melewati arah yang sama. Menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari tempat persembunyian tapi tak ada. Ingin kabur, tapi kemana? Terbang? Haha, makin ngelantur saja pikiran Mawar ini. Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Pasrah dan mau tidak mau harus berpapasan dengan Lea dan entah siapa lelaki tampan yang disampingnya itu. Mawar memberanikan diri untuk berpapasan karena yakin jika Lea tak mungkin mengenalinya. Dengan perasaan yang tak menentu dan detak jantung yang berdegup lebih kencang dari biasanya, Mawar mencoba untuk biasa saja tapi rasanya sulit sekali. Ia merasa seperti ketahuan sedang maling, ya benar! Maling Papinya Lea, ya 'kan? Haha! Mawar … Mawar … kamu itu memang maling! Ah, begitu saja tak sadar, bodoh! Mawar menahan nafas saat berpapasan sambil memejamkan matanya sesaat lalu melangkah lebih cepat. Ekor matanya melihat jika gadis kecil itu menghentikan langkah kakinya, tak ingin ketahuan maka Mawar semakin mempercepat langkahnya. "Tante itu wajahnya seperti yang ada di ponsel kakak. Kata kakak, tante itu yang pergi sama Papi ke mall sama anak bayi," ucap Lea menunjuk ke arah Mawar namun sayang wanita itu sudah berlalu pergi dan tak terlihat oleh Firman. Mawar berhasil berlari pelan dan bersembunyi di balik tembok yang cukup besar. Ia mengintip sedikit ke arah Lea dan Firman yang sepertinya mencari keberadaan Mawar. Wanita itu langsung kembali bersembunyi. Karena tak menemukan keberadaan Mawar, akhirnya Firman kembali mengajak Lea menuju ke ruangan Gama dengan segala macam rasa penasaran. Mawar menarik nafas panjang dan menekan dadanya yang terasa sesak karena terkejut yang luar biasa. Nafasnya terdengar memburu, Raka kembali mengulet. Khawatir jika anaknya itu terbangun kembali, akhirnya Mawar bergegas pergi meninggalkan rumah sakit. Kakinya terasa sakit efek berlari cepat tadi. "Hampir saja aku ketahuan!" "Sial! Gadis itu cerdas juga! Rupanya ia tahu wajahku! Tapi, tahu darimana, ya?" "Ah bodo amat! Yang penting aku berhasil kabur dari anak kecil itu! Bahaya juga kalau sampao ketahuan! Benar kata Mas Gama, banyak sekali keluarganya yang berada disini!" "Sialan!" Mawar kembali melangkah dengan terburu-buru untuk mencari taksi, tapi langkahnya kembali terhenti saat ia bertabrakan dengan seseorang. Brukkk. "Aw!" pekik Mawar yang terjatuh, untung saja Raka tak ikut tersungkur, tapi ia menangis histeris. "Ya Allah, Mbak! Maaf," ucap seseorang itu yang ternyata Fitri. "Iya, Mbak gak pa-pa." "Bun, bantu bangun! Kasihan itu anak bayinya," ucap Fuad yang kasihan melihat Raka menangis histerisnya. Fitri membantu Mawar bangkit, dan wanita itu ikut menangkan Raka. Namun, ia terheran-heran saat melihat wajah Raka yang mirip dengan adik iparnya. Entah itu hanya perasaannya saja atau bukan. "Mbak, maaf, ya," ucap Fitri lagi. "Iya gak pa-pa. Mari," jawab Mawar berlalu pergi meninggalkan pasangan suami istri itu. Fitri terus menatap Mawar yang sudah berlalu dari hadapannya itu. "Bun, kenapa?" tanya Fuad heran. "Yah, kok anak bayi itu terlihat mirip dengan Gama, ya!" "Ah, masa? Itu perasaanmu saja, mungkin! "Mungkin ya?" "Lagian, anak bayi 'kan wajahnya masih berubah-ubah jadi ya begitu." "Hm … ya sudahlah. Ayo, Mas!" "Ayo. Mbak Salma dan Mas Firman juga pasti sudah menunggu kita." *** Firman dan Lea membuka pintu kamar Gama, membuat lelaki itu kembali terlonjak kaget. Hari ini, sudah tiga kali dikejutkan oleh orang-orang terdekatnya. Pertama, Salma, lalu Mawar dan sekarang Lea dan Firman. Mata Gama terbelalak saat melihat Firman masuk, dalam hatinya ia merutuki diri sendiri. Hari ini benar-benar habis karena makian pastinya. Posisinya sedang tak berdaya tapi semakin tidak berdaya karena kedatangan orang-orang sekitarnya yang mampu membuatnya tak berkutik. "Papi!" seru Lea menyadarkan Papinya dari lamunannya itu. "Adik! Apaan sih! Gak usah teriak-teriak begitu!" bentak Gama membuat anak gadisnya itu seketika diam dan langsung bersembunyi di belakang Firman. "Gama! Sejak kapan kau berani membentak anak!" tukas Firman dengan suara yang mengerikan. "M-Mas … ma-maaf!" "Aku tak menyangka, ternyata semudah itu kamu membentak! Kok aku merasa tak lagi mengenal dirimu sebagai Gama, ya? Ada apa?" tanya Firman sedikit menyelidik. "Maksud Mas itu apa? Gak ada apa-apa, kok! Aku hanya refleks saja membentak Lea!" "Dusta! Kau berdusta!" bentak Firman keras. Suaranya itu terdengar lantang sampai membuat Gama terlonjak. Firman berbalik arah dan berjongkok, menatap Lea. "Sayang, duduk di sofa sana dan tutup telingamu pakai ini! Jangan dibuka sebelum Pakde suruh! Paham?" "Baik, Pakde," jawab Lea menerima earphone yang diberikan oleh Firman dan langsung duduk manis di sofa tersebut. Firman memastikan dulu jika Lea aman dan tak mendengar perdebatan antara dirinya dan Gama. Firman sengaja melakukan itu, agar Lea tak mendengar semuanya. Ia khawatir jika mental Lea akan terguncang seperti Manda dan Firman tak ingin hal itu terjadi. Sudah cukup Manda saja yang menjadi korban, jangan sampai Lea pun ikut menjadi korban dari keegoisan Gama. Lea memberikan tanda ok pada Firman sebagai tanda bahwa ia sudah mendengar musik yang dimainkan. Firman beralih kembali menatap Gama dengan tatapan mematikan. Sorot matanya menunjukkan amarah yang sangat luar biasa. Ya, Firman saat ini sedang sangat amat marah pada Gama mengingat lelaki itu membentak Lea dan membuat Manda sampai mengalami depresi. "Aku pikir, kamu suhu ternyata cupu!" ejek Firman. "Berani selingkuh tapi tak sadar bahwa kau itu hidup sampai sekarang karena siapa!" "Maksud Mas apa?" "Apa kau lupa? Beberapa tahun yang lalu, saat kau kecelakaan? Siapa yang menyumbangkan darahnya padamu kalau bukan Mela? Siapa yang berada di sampingmu sampai lupa makan dan mandi, ia bahkan tak sempat mengurus diri sendiri, lupa? Hah? Lupa!" teriak Firman menaikkan nada suaranya lalu menoleh ke arah Lea, memastikan bahwa gadis itu aman tak mendengar teriakannya. "Kau, koma karena kecelakaan hebat selama satu bulan! Siapa yang membiayai? Mela! Siapa yang mengurus? Mela! Siapa yang selalu mendoakan setiap malam dalam sujud dan doanya? Mela! Wanita itu, ibu dari anak-anakmu yang saat ini sedang kau buat sakit hatinya, mental dan pikirannya itu sudah berkorban banyak untukmu Gama Gemilang!" "Memang dasar kau tidak tahu diri! b******k!" tunjuk Firman dengan penuh emosi. Gama menganga, ia benar-benar lupa dengan semua pengorbanan yang dilakukan oleh Mela untuknya selama ini. Ia tak ingat semua pengorbanan itu karena dalam hatinya hanya ada ambisi untuk memiliki anak laki-laki. "Jika wanita itu mau, bisa saja saat itu meninggalkan kamu! Tapi, apa? Dia tetap berada disampingmu! Dan merawatmu dengan baik, penuu cinta bahkan kasih sayang!" sentak Firman semakin kesal melihat wajah Gama yang terlihat bodoh. Entah pura-pura bodoh atau memang bodoh beneran. "Kenapa kamu diam saja? Hah? Lalu kenapa memasang wajah bodoh seperti itu? Kamu itu pura-pura bodoh atau memang benar-benar bodoh, Gama?" ejek Firman. "Mas, kamu itu hanya kakak ipar! Tak ada hak untuk ikut campur masalahku!" jawab Gama angkuh. "Oh aku hanya kakak ipar? Iya? Baik, lalu siapa yang menggendong tubuh besarmu itu saat kau kecelakaan dan posisi jalanan macet? Siapa yang mandi darah untuk menyelamatkan kamu agar tepat waktu sampai di rumah sakit? Menyesal rasanya aku dulu harus menolong kamu." "Mungkin, lebih baik dulu aku tidak menolong kamu, ya 'kan? Jadi, kamu belum tentu masih hidup sampai sekarang! Dikasih kesempatan hidup, tapi kok bukannya berubah menjadi lebih baik, ini malah makin bebal, heran! Harusnya, dulu aku biarkan saja kamu, mati!" tegasnya. Hati Gama tersentak ketika Firman mengatakan hal itu. Ia kembali dilanda rasa bersalah namun enggan untuk mengakui bahwa dirinya itu salah. Dasar, memang lelaki bodoh. "Sudahlah, Mas! Untuk apa juga membahas masa lalu?" "Untuk menyadarkan kamu bahwa sikap yang kamu ambil itu salah! Kamu itu harus belajar dari Fuad dan Fitri, mereka tetap tenang dan akur tanpa pernah berpikir untuk berpaling walaupun belum memiliki seorang anak. Lah, kamu? Sudah memiliki dua anak gadis, masih saja merasa kurang! Kamu pikir, wanita itu pabrik anak? Bodoh!" makinya lagi. "Ya jangan samakan hidupku dengan Mas Fuad dong! Mungkin saja memang diantara mereka itu ada yang mandul," tukas Gama santai. Lagi, Firman menoleh kebelakang untuk memastikan Lea, ternyata anak itu tiba-tiba terlelap tidur. Merasa tak tahan lagi untuk menahan emosinya, akhirnya Firman kembali menoleh pada Gama dan melayangkan tonjokan tepat di wajahnya. Bugh. "Jaga mulutmu, Gama! Jangan lancang!" sentak Firman. Darah segar keluar dari ujung bibir Gama, ia menatap nyalang ke arah Firman. Gama pun tersulut emosi karena perbuatan Firman yang tiba-tiba itu. "Jangan mentang-mentang aku lagi sakit, kalian bisa bersikap seenaknya, ya!" gertak Gama. Firman memandang sinis lelaki tak berdaya itu. "Memangnya, jika kau sehat, bisa apa? Hah? Dihadapan Salma yang jelas-jelas wanita saja kamu hanya diam dan menunduk! Jangan kamu kira aku gak tahu kalau kamu itu takut sama Salma!" "Aku bisa membunuhmu, Mas!" "Sebelum kamu membunuhku, maka aku yang akan lebih dulu membunuhmu, Gama!" "Sayang sekali, kenapa harus anak gadisku itu yang bunuh diri? Kenapa, dia gak membunuh kamu saja? Toh dia tak akan pernah mungkin dipenjara karena masih di bawah umur." "Manda ternyata masih memikirkan hal baik untuk Papinya hidup, mungkin ia berharap Papinya yang b******k ini berubah! Tapi aku rasa, tak akan mungkin berubah." "Satu hal yang perlu kamu ingat ya, Gama. Jika, keadaan Manda semakin parah. Aku dapat pastikan, hidupmu dan selingkuhanmu itu sengsara!" "Mas Firman!" Firman menoleh dan tersenyum hangat saat melihat Fuad datang menghampirinya. Mereka berdua berpelukan, membuat Gama merasa iri. Sebab, kedua Mas-nya itu tak pernah memeluk dan menguatkannya ketika ia sakit. Padahal dulu, mereka sangat bahagia sekali dan selalu memberikan kehangatan satu sama lainnya dalam sebuah keluarga utuh. Tapi, semuanya berubah begitu saja. "Fuad, aku akan menggendong Lea ke kamar Manda. Kamu disini ya, jaga si pengecut ini!" "Ogah, Mas! Mendingan aku ikut kalian daripada emosi menghadapi pengkhianatan." "Kalian keterlaluan!" sentak Gama. "Nikmati semua penderitaan awalmu ini, Gama! Aku yakin, akan banyak penderitaan yang hadir lagi nantinya!" ucap Firman memandang remeh ke arah Gama. "Ingat, apa yang kamu tanam! Itu yang kamu tuai, Gama!" timpal Fuad. "Kalian memang sama saja! Sama-sama kurang ajar! b******k!" Bugh. Bugh. Firman kembali emosi dan menjotos Gama dua kali membuat Fuad terbelalak. Ia menarik tubuh Firman yang akan menghajar lagi Gama. Kakak ipar mereka berdua itu benar-benar terlihat sangat emosi sekali. "Mas, sudah cukup!" ucap Fuad menghentikan. "Manusia seperti Gama ini tak akan sadar jika diberitahu dengan bahasa yang baik! Harus diberi perlakuan kasar!" "Cukup, Mas! Cukup! Tak perlu mengotori tangan kita untuk menghadapi lelaki pengecut ini! Tanpa kita menghajarnya hingga mati pun, hatinya akan merasa mati karena kehilangan keceriaan dari kedua anak gadisnya!" jawab Fuad. "Yang penting, kita fokus pada Manda dan juga Lea." "Lea?" cicit Gama dan Firman bersamaan. "Ya, Lea! Kemungkinan, ia pun merasakan trauma karena dibentak oleh kamu, Gama!" "A-apa? Ini gak mungkin, Mas! Kalian itu bohong!" "Gama, buat aku bohong mengenai kesehatan mental anak-anak? Aku saja ikut merasakan sakit setelah mengetahui semuanya! Kamu, jangan harap bisa mengembalikan mental mereka menjadi baik lagi, karena kamu adalah faktor utama mereka menjadi seperti ini!" tukas Fuad. "Halah! Kalian pasti ingin memisahkan aku dan anak-anak, 'kan?" "Sudah salah! Bukannya sadar, malah menyalahkan! t***l kamu, Gama!" maki Firman emosi. Nafasnya terdengar sangat memburu dan ingin menghajar kembali. "Silahkan coba sendiri! Aku tak akan menyalakan kamu lagi karena poligami, jika kamu berhasil berdiri di hadapan Manda tanpa ia berteriak histeris!" "Lepaskan aku, Fuad! Manusia durjana ini memang harus dihajar habis-habisan!" "Cukup, Mas! Sudah! Ayo kita pergi!" Fuad menarik paksa Firman agar mau meninggalkan ruangan Gama. Tak lupa, Fuad juga menggendong tubuh Lea lalu berlalu pergi, namun sebelumnya Firman sempat menoleh kembali. "Kamu akan menyesal, Gama!" ucap Firman penuh penekanan. Brakkk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD