PoV Gama (Bimbang)

2210 Words
Apa mungkin aku salah? Tapi salahku dimana? Aku menjalankan semuanya sesuai dengan aturan agama, lalu salahnya dimana? Karena tidak izin pada Melati? Untuk apa? Bukankah lelaki tak perlu izin dari istri pertama untuk menikah? Tapi kenapa semua orang begitu sangat marah ketika tahu aku menikah lagi? Seharusnya, mereka bangga padaku karena bisa memiliki istri lebih dari satu, bahkan aku bisa mempunyai anak lelaki seperti apa yang aku inginkan sebelumnya. Padahal, aku hanya menginginkan anak laki-laki tapi Mela tak bisa memberikannya. Wajar dong kalau aku mencari wanita lain untuk mewujudkan apa yang aku inginkan? Iya 'kan? Aneh sekali, mereka semua bukannya membelaku, ini justru sebaliknya! Mereka membela Mela mati-matian yang jelas-jelas tak bisa memberikan anak laki-laki dan membenciku yang masih sedarah dengan mereka. Hebat sekali rupanya Mela, semua yang ada di dalam dirinya berhasil membuat semua keluargaku mendukung, melindungi dan menjaganya melebih mendukung, melindungi dan menjagaku. Apa mungkin karena anak-anak? Kedua kakak kandung bahkan ipar mendukung mereka karena kedua anak gadisku? Apa karena hanya aku yang memiliki anak gadis? Maka dari itu mereka menjaganya dengan baik? Tapi, menurutku itu sangat berlebihan. Aku sendiri saja tak sampai seperti itu pada kedua anak gadisku, biasa saja tak berlebihan! Sebab, segala sesuatu yang berlebihan itu pasti tidak akan baik! Jika mereka memanjakan Manda dan Lea secara berlebihan maka kedua anak gadisku itu akan bersikap manja terus, lalu kapan mereka bisa mandiri? Ah masalah ini membuatku pusing sekali! Padahal hanya sebuah perkara poligami tapi semua masalah seakan satu sama lainnya saling berkaitan dan membuat masalah yang tadinya kecil menjadi melebar. Ini tak bisa dibiarkan begitu saja, tapi aku pun bingung harus memutuskan dengan cara yang seperti apa dan bagaimana. Satu sisi, aku harus bisa mendamaikan Melati dan Mawar, sisi lain aku harus memikirkan juga keadaan mental Manda dan Lea yang katanya sedang tidak baik-baik saja. Namun, aku sendiri tak paham, keadaan mentak yang tidak baik-baik saja itu seperti apa? Mereka semua mengatakan aku adalah faktor utama dari rusaknya mental Manda dan Lea, tapi aku tak merasa begitu. Sebab, aku tak melakukan hal buruk pada mereka, justru Manda yang membuatku menjadi terkapar tak berdaya seperti ini. Aku lupa bahwa anak sulungku itu luar biasa sekali tenaga dalamnya. Ia bisa melumpuhkan seseorang yang jauh lebih kuat di atasnya dengan teknik. Aku sendiri mengakui bahwa kalah dengannya, sebab jika aku menang pasti tidak akan berada disini. Aku harus membuktikan sendiri apakah Manda benar-benar tidak baik-baik saja, setelah semua rasa sakit dan linu ini berkurang maka aku akan segera menemuinya. Aku pun harus menyiapkan mental setelahnya, sebab banyak keluarga yang nantinya akan menjadi dua kubu dan mereka lebih memilih membela Mela. Huft, aku jadi bingung sekarang, untuk memilih antara Mela dan Mawar pun tak mungkin. Ya, memang aku akui jika Melati itu cantik, cerdas, mandiri dan luar biasa tapi ada kekurangan yaitu tak bisa memberikan aku anak laki-laki. Sedangkan Mawar, ia memang tak lebih cantik dari Melati, tapi istri keduaku itu manis dan enak dipandang. Tubuhnya pun indah dan seksi, ia sangat tahu harus melakukan apa disaat aku mulai bosan dan service yang diberikan olehnya di atas ranjang menurutku jauh luar biasa dibandingkan dengan Melati dan yang lebih sangat luar biasanya adalah ia mampu memberiku anak laki-laki. Padahal, jika mereka berdua bisa berdamai dengan keadaan, aku yakin kita bertiga bisa hidup bersama dengan baik dan penuh cinta. Sayangnya, Mela belum membuka suara untuk menyikapi semuanya ini seperti apa, aku pun enggan jika harus melepaskan atau berpisah dengannya. Walau bagaimanapun, aku dan Melati sudah cukup lama berumah tangga dan perjalanan kita itu tak mudah. Terlalu banyak memori dan kenangan di dalamnya, aku tak mungkin menguburkan semuanya. Sisi lainnya, aku tak ingin kehilangan apa yang telah aku miliki. Perkataan Mbak Salma memang membuat hatiku merasa gentar dengan ancaman-ancamannya itu! Jujur, aku benar-benar merasa takut jika Melati lebih memilih untuk melepaskan dan aku hidup menjadi gembel! Itu tak boleh! Dan tak akan pernah terjadi. Sedangkan Mawar, ia selalu saja menuntut hal yang tak bisa untuk ia dapatkan yaitu menjadi istri satu-satunya. Mana mungkin aku menjadikannya istri pertama dan satu selamanya! Aku tak benar-benar mencintainya, aku menikah dengannya hanya untuk mendapatkan anak laki-laki. Dan, bertahan sampai saat ini hanya karena sebuah rasa tanggung jawab saja! Tak lebih dari itu. Seharusnya, Mawar tidak terlalu banyak menuntut. Selama hidup keluarga dan dirinya terjamin olehku, maka jalani dan nikmati saja yang ada, bukan? Ini malah semakin banyak menuntut membuatku jengah. Gila saja, melepaskan Melati itu sama saja aku membuang tambang emas! Memangnya, Mawar itu mau hidup menderita, miskin dan serba kekurangan lagi seperti dulu? Mungkin, apa yang dikatakan oleh Mbak Salma pun ada benarnya juga. Wanita itu mengejarku hanya karena harta. Tapi, tak apalah! Semuanya sebanding, kok! Ia menginginkan harta, aku mendapatkan anak laki-laki dan sebuah kepuasan. Adil bukan? Ah … andai saja mereka mau hidup bersama, mungkin duniaku akan terasa damai. Melati bisa mengurus semua keperluanku, Mawar mengurus urusan ranjangku. Hidup sangat enak dan luar biasa bukan? Maka, nikmat mana lagi yang ingin didustakan? Pusing juga ya memikirkan semua ini, kalau saja aku tidak ceroboh … mungkin hidupku masih terasa damai tanpa ada rasa curiga yang timbul dari Melati. Bodohnya aku, bisa-bisanya lupa meletakkan ponsel entah dimana. Jika hal ini tak terjadi, maka aku masih menikmati hidup damai dengan kedua istriku yang sama-sama punya kelebihan dari diri mereka masing-masing. Sekarang, aku harus memikirkan cara agar Mela tak lagi marah dan murka! Bahaya jika wanita itu marah dan murka, sebab sikap diamnya akan membuatku pusing kepala dan tak tahu harus melakukan apa. Ditambah lagi, dengan sikap anak-anak yang semakin kesini semakin berubah, belum lagi kondisi mereka yang mungkin akan semakin membuat suasana dirumah tak mengenakkan. Ya Allah … aku harus bagaimana sekarang? Aku hanya ingin hidup damai bersama dengan kedua istri dan ketiga anakku. Aku tak bisa memilih diantara mereka semua, sebab mereka sama-sama punya peran penting dalam hidupku. Aku tak mungkin meninggalkan istri pertama dengan kedua anak gadis kami dna aku pun tak mungkin meninggalkan istri kedua dengan anak laki-laki kami. "Argh! Pusing!" *** Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Gama tak tahu ingin melakukan apa, ia merasa kesepian karena tak ada satupun orang yang menemani atau menjaganya. Menyesal juga meminta Mawar pulang dan pergi dari sana, tapi ia pun tak mungkin jika membiarkan istri keduanya itu tetap berada disana sebab akan semakin membuat keadaan menjadi runyam nantinya. Perlahan, Gama turun dari ranjangnya. Ia berjalan menuju jendela kamar, menyibak sedikit gorden dan terlihat taman yang mulai sepi itu. Tiba-tiba terlintas di dalam pikirannya itu untuk melihat keadaan Manda, berharap tak ada yang melarangnya. Akhirnya, Gama memberanikan diir untuk keluar dari kamar dengan tangan yang memegang infusan. Gama berjalan perlahan dengan sedikit tertatih menuju kamar Manda. Beberapa kali melihat ada perawat yang lewat, maka ia akan bersembunyi. Gama khawatir jika ada perawat yang melihat, maka lelaki itu akan kembali dipapah menuju kamar dan pastinya gagal untuk melihat keadaan Manda. Ia sebelumnya pernah mendengar Fuad mengatakan nama ruangan Manda pada Salma saat mereka bertelepon ria. Maka dari itu, langkah Gama pasti menuju kamar anaknya. Ia mengintip dari balik jendela pintu, sepi. Akhirnya ia berani membuka pintu ruangan perlahan. Terlihat Manda sedang memainkan ponselnya dan di sisi kanan para wanita yang sedang shalat isya berjamaah. Gama membuka pintu lebar-lebar membuat Manda tertarik untuk melihat lurus ke depan. Gadis itu terpaku, keringat dingin mulai bercucuran kembali, tubuhnya bergetar sangat hebat saat melihat wajah Papinya. "Tidaaakkk!! Pergi kamu!! Pergi!!" teriak Manda membuat Gama terhenyak. "Ngapain kesini!" teriak Manda lagi. "Pergi!" usirnya dengan menggerakkan jarinya. "Mami! Bude! Nenek! Tolong!" "Stop! Jangan masuk! Jangan! Tidak! Aku benci, Papi! Aku benci!" "Papi jahat! Papi tukang selingkuh!" Melati, Salma dan Ibu sudah menyelesaikan shalat mereka. Mela bergegas untuk menenangkan anak sulungnya itu, Salma dengan sorot mata penuh amarah dan nyalang langsung berjalan terburu-buru menghampiri Gama. Langkahnya diseret karena hampir tersandung karena kakinya terlilit mukenah. Plakkk. Plakkk. Tamparan Salma membuat Gama kembali sadar, ia yang awalnya memandang Manda dengan tatapan heran dan bingung langsung mengalihkan pandangannya pada Salma. Sorot matanya berubah menjadi sendu. "Mbak, salahku apa? Kenapa aku ditampar?" "Salahmu adalah DATANG KEMARI!" "NGAPAIN KAMU KESINI! HAH! INGIN MEMBUAT MANDA KEMBALI HISTERIS? IYA? GILA KAMU, GAMA!" "A-aku ti-tidak ta-tahu ka-kalau--" "TIDAK TAHU KALAU APA? HAH? TIDAK TAHU KALAU KONDISI MANDA TERNYATA PARAH IYA? BODOH!" maki Salma penuh emosi. "Pergi! Pergi! Bude, tolong usir! Jangan biarkan dia masuk!" "Argh! Dia jahat! Tidak! Suka marah-marah! Suka bentak-bentak!" Manda kembali histeris, ia menutup kedua telinganya dengan tangan sangat keras dan tubuh yang terus-menerus bergetar hebat. Ibu menangis melihat keadaan cucunya yang semakin parah itu. "Nak Salma, tolong bawa Gama pergi! Kasihan, Manda!" pinta Ibu dengan suara memohon. Salma mengangguk, ia menarik kasar tangan Gama agar segera keluar dari kamar. Gama hampir saja terjungkal karena tak bisa mengimbangi Salma. "PUAS KAMU SEKARANG, GAMA! PUASKAH? PUAS MELIHAT MANDA SEPERTI ITU!" "INI SEMUA KARENA KAMU! GARA-GARA KEEGOISAN KAMU!" Bentak Salma mendorong kasar tubuh Gama, ia berlalu meninggalkan lelaki yang tak berdaya itu. Pandangan Gama lurus ke depan, lututnya terasa sangat lemas sekali. Tubuhnya langsung luruh ke bawah, ia merasa tamparan Salma tidak ada apa-apanya dibandingkan melihat sebuah kenyataan bahwa Manda kesehatan benar-benar terganggu seperti itu. Ia masih diam tak bergerak layaknya patung di depan ruangan Manda. Salma berlalu untuk masuk ke dalam ruangan perawat dan meminta tolong untuk menenangkan Manda, tak lupa juga meminta bantuan untuk membawa Gama kembali ke ruangannya. Lihatlah, walaupun kakaknya itu sangat marah, emosi dan kesal pada Gama tapi ia masih baik hati. Salah satu perawat membantu Gama untuk berdiri dan mengajaknya kembali ke ruangan tapi Gama menolak. Bukan, bukan menolak sebenarnya tapi ia ingin lihat apa yang para perawat itu lakukan pada anaknya. "Tunggu, Sus. Saya mau lihat keadaan Manda sebentar lagi." "Tapi, Pak. Bapak juga harus banyak istirahat, dan lagi Manda akan semakin histeris jika melihat, Bapak." "Sebentar saja, Sus. Saya mohon. Saya tidak akan mendekat, cukup melihatnya dari jauh. Tolong, Sus." "Baiklah. Mari, saya bantu, Pak." Gama mengangguk, pintu ruangan Manda terbuka lebar. Gama sengaja berdiri agak sedikit ke arah kanan agar tubuhnya terhalang oleh tembok dan hanya matanya yang melihat ke arah dalam. Ia melihat jelas bagaimana Mela, Ibu dan Salma mencoba menenangkan Manda. Gadis itu tetap menangis histeris, Gama tak menyangka jika keadaannya seperti ini. Ia mengingat perkataan Fuad, ternyata ia tak sanggup melihat Manda. Gadis itu langsung histeris dan menangis hebat ketika melihat wajah Gama. Ibu sudah menyingkir karena tak bisa lagi menenangkan Manda. Salma dan Mela memegang kedua tangan Manda, perawat kembali menyuntikkan obat anti-depresan untuk yang sekian kalinya. "Itu apa, Sus?" "Obat anti-depresan. Pasien mengalami depresi hebat, apa Bapak tidak tahu keadaan anaknya?" Gama menggelengkan kepala lemah. "Saya paham, mungkin keluarga tak ingin membuat Bapak semakin sakit. Tapi, Bapak sudah melihat semuanya, sekarang. Begini keadaan pasien, ia akan menangis dan berteriak histeris ketika melihat lelaki." "De-depresi hebat? Apakah parah?" "Masih belum tahu, Pak. Pasien belum bisa diperiksa lebih lanjut untuk keadaan mentalnya. Sebab, masih dalam tahap pemulihan akibat percobaan bunuh diri kemarin." Deg. Hati Gama mendadak sakit dan sesak mendengar perkataan parawat. Berarti semua yang dikatakan oleh Mela dan keluarganya itu, benar! Mereka bukan ingin memisahkan Manda dan Gama tapi memang keadaan saat ini sedang tidak baik-baik saja. Jangankan Gama yang memang orang dekat, melihat perawat lelaki saja Manda langsung berteriak histeris. "Bapak yang sabar ya. Pasien pasti akan sembuh, Bapak juga harus bisa sembuh," ucap perawat menyemangati. "Terima kasih, Sus." Manda sudah perlahan tenang, mereka bisa bernafas lega kembali. Salma mengantarkan perawat hingga pintu depan dan terkejut melihat Gama masih berada disana. Ia mengucapkan terima kasih terlebih dulu atas bantuan perawat tadi dan menatap tajam ke arah Gama. "Kenapa masih ada disini? Kembali sana ke kamar kamu! Keberadaan kamu disini itu tidak diinginkan oleh siapapun! Manda saja langsung histeris melihat kamu, karena memang ini semua karena kamu!" "Kamu kenapa masih nekad kesini, Mas!" bentak Mela mendekati mereka semua. "Apa kamu penasaran dengan keadaan Manda dan ingin membuktikan bahwa yang kami semua katakan itu salah? Iya!" "Gimana sekarang, setelah melihat Manda seperti itu? Apa kabar hatimu? Apa baik-baik saja? Atau justru sakit? Sesak? Menyesal? Atau malah biasa saja?" "Boleh aku tebak? Aku yakin, pasti biasa saja, 'kan? Jelas! Karena kamu membuatnya seperti ini pun tak ada rasa bersalah dan penyesalan dari dalam diri kamu!" "Lebih baik, kamu pergi dari sini! Kembali ke kamar kamu!" "Tolong! Aku mohon!" ucap Melati menangkupkan kedua tangannya. "Tolong pergi dan jangan dulu menunjukkan wajahmu di depan Manda, sampai anak gadisku kembali sehat! Dan mentalnya sembuh!" ucap Melati menekankan kata anak gadisku seakan-akan tak menganggap bahwa Manda pun anak Gama. "Tapi, Manda juga anakku!" "Ya, memang! Amanda adalah anak kamu juga! Anak yang kamu hancurkan hatinya! Kamu patahkan hatinya! Kamu rusak mentalnya! Kamu racun pikirannya! Ya, keadaan Manda sekarang adalah buah dari semua perbuatan kamu!" bentak Mela. "Sus, tolong segera bawa lelaki ini pergi!" "Ba-baik, Bu." "Pastikan pasien ini masuk ke dalam kamarnya ya, Sus!" ucap Salma memberi mandat. "Dan kamu, Gama! Jangan lagi memaksakan diri untuk muncul di hadapan Manda, dulu! Ini semua demi kebaikan bersama! Terlebih, untuk kebaikan, kesehatan mental dan pikiran Manda." "Tapi, Mbak--" "Apalagi sih, Mas! Kamu itu terlalu banyak tapi! Apa tidak bisa untuk menuruti semuanya sementara ini?" "Kembali, Gama! Jangan lagi buat keributan!" "Mbak!" "Pergi, Mas! Pergi!" usir Mela. "Jangan membuat aku khilaf! Aku bisa saja membunuh kamu saat ini juga karena sudah berani menunjukkan wajahmu itu dihadapan Manda, Mas!" "Pergi, Mas!" "Pergi dari sini, Gama Gemilang!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD