Depresi

2055 Words
Perdebatan antara kakak dan adik itu tak menghasilkan solusi. Gama tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan Mawar karena merasa sudah mempunyai anak dari wanita itu. Apalagi, anak yang selama ini benar-benar ia dambakan, anak laki-laki yang menurutnya akan bisa meneruskan semua usahanya. Dia lupa, bahwa usaha yang saat ini ia jalani sebagian besar adalah milik Melati. Tutup telinga dan mata akan hal itu, belum menyadari bahwa Melati nantinya bisa saja mengambil semua aset itu dan Gama, akan jatuh miskin. Fuad meninggalkan Gama begitu saja .karena jengah dengan sikap adiknya yang bodoh itu. Entah sebanyak apa sumpah serapah yang ia lontarkan untuk menyadarkan Gama, tapi tetap saja tidak ada sadarnya manusia durjana itu. Menutup pintu dengan cara membanting membuat Gama terhenyak, tak menyangka kakaknya totalitas dalam membela anak dan istrinya itu. Tapi sama sekali tak ada pikiran untuk melepaskan salah satunya, justru ia ingin memiliki keduanya tanpa harus melepasnya. Luar biasa bukan? Ya! Luar biasa gilanya! Lelaki macam apa tak ingin melepaskan salah satu tapi ingin memiliki dua-duanya, wanita pun tak akan ada yang mau jika seperti itu. Sebab, didunia ini hanya satu dari berapa banyak wanita yang mau, siap dan ikhlas dimadu. Apakah Melati nantinya akan menjadi salah satu dari wanita yang mau, siap dan ikhlas dimadu? Atau justru melepaskan dan tak ingin kembali bertahan? Di ruangan yang berbeda, Manda mulai membuka matanya dan menerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Ia mengedarkan pandangan dan tersadar bahwa sudah berada di rumah sakit. Ia sedikit menyesal karena tetap hidup dan sekarang di rawat. Ia merasa tak sanggup lagi untuk hidup, karena tak sanggup menahan malu dan bully yang akan dihadapi nantinya jika teman-temannya tahu kalau Papinya berselingkuh. "Manda, kamu sudah sadar, Nak?" ucap Fuad yang menyadari pergerakan dari gadis itu. Fuad mendekati Manda dan tangannya terulur untuk mengusap kepalanya. "Tidak! Jangan mendekat!" teriak Manda histeris membuat Fuad terhenyak. Lelaki itu terkejut melihat penolakan dari Manda, sebelumnya gadis mungil itu tak pernah menolak karena menganggap Fuad seperti Papinya sendiri tapi kali ini berbeda. "Sayang, kakak kenapa?" tanya Fitri lembut. "Bude, jangan biarkan dia mendekat ke arahku!" pinta Manda dengan mata yang terlihat gelisah. Pandangan matanya tidak fokus. "Itu Pakde, Nak. Kenapa kakak takut?" "Tidak, Bude! Kakak tidak mau pokoknya! Pergi! Pakde pergi! Kakak benci! Kakak benci lelaki! Kakak benci Papi! Kakak benci Pakde! Kakak benci kalian para lelaki! Benci!" teriaknya histeris. Mela, Ibu dan Lea yang mendengar teriakan Manda langsung berlari masuk ke dalam ruangan dengan terburu-buru. Bingung melihat Manda yang terlihat sangat ketakutan, tubuhnya bergetar hebat, Manda terus berteriak dan meminta Fuad untuk enyah dari hadapannya. "Kakak, tenang, Nak! Tenang!" "Mami … hu hu hu … suruh Pakde pergi, Mi! Kakak tidak mau melihat lelaki mana pun ada disini! Kakak benci lelaki! Mereka adalah makhluk yang jahat! Mereka suka menyakiti hati dan fisik! Kakak tak ingin kalian disakiti oleh para lelaki! Mami, tolong usir Pakde pergi, hu hu hu." Mereka semua saling pandang satu sama lainnya, tak paham juga dengan maksud Manda. Ada apa dengan gadis itu? Kenapa ia seakan trauma jika melihat lelaki? Jangankan disentuh, untuk melihat wujud lelaki saja berteriak histeris seperti itu. Ada rasa khawatir yang sangat meliputi hati Mela, ia khawatir jika anaknya akan semakin berubah kepribadiannya. Ia tak sanggup jika melihat anaknya seperti ini. Fuad yang sudah mulai memahami keadaan ini berlalu pergi dari ruangan untuk menemui dokter yang menangani Manda. Ia pun khawatir dengan keadaan gadis itu, bahaya sekali rasanya jika sampai Manda trauma bahkan depresi karena lelaki yang disebabkan oleh Papinya sendiri. "Kakak, itu Pakde!" "Ya, Kakak tahu! Tapi Kakak membencinya! Mereka semua itu jahat! Suka melukai bahkan menghajar! Mami, sudah cukup disakiti oleh Papi, jangan lagi! Jangan sampai Bude juga di sakiti oleh Pakde." "Hu hu hu, mereka jahat!" teriak Manda hingga wajahnya memerah. Lea memeluk erat tubuh kakaknya, mereka berdua menangis bersama. Mela dan Ibu ikut berpelukan sedangkan Fitri keluar ruangan, ia curiga dengan keadaan Manda yang mendadak aneh itu. Keluar ruangan untuk mencari suaminya yang pasti sudah bergerak lebih dulu untuk kesehatan mental keponakannya itu apalagi Manda dan Lea adalah anak kesayangan mereka. "Sayang, aku mencari kamu." "Bun, Manda sepertinya tidak baik-baik saja," ucap Fuad lesu. "Ayah sudah bertemu dengan dokter?" "Belum, aku merasa tak sanggup untuk bertemu dan menanyakan keadaannya, Bun. Aku terlalu takut mendengar sebuah kenyataan yang menyakitkan." "Ayo, kita temui dokter. Hadapi semuanya sama-sama ya, Manda pun anak kita. Kita punya andil disini untuk kesehatan mentalnya, kasihan Mela kalau harus diterpa lagi badai. Apalagi, suaminya yang bodoh itu tidak bisa diharapkan!" "Aku merasa menyesal, kenapa punya adik sebodoh itu! Bisa-bisanya menyia-nyiakan Mela yang baiknya sudah sangat luar biasa!" "Namanya juga lagi keracunan seorang w************n, Yah. Pasti pikirannya hanya fokus pada wanita itu." "Tapi, wanita itu punya anak juga, Bun. Makanya Gama ngotot tidak akan mau meninggalkannya. Nanti, jika dia sudah kena batunya, semuanya sudah hilang dan tak ada yang bisa diraih lagi." "Biarkan karma bekerja dengan semestinya, Yah. Saat ini, kita hanya perlu menguatkan Mela dan menyelamatkan mental Manda dan Lea. Aku khawatir, gadis kecil kita ikut depresi seperti kakaknya." Fuad dan Fitri akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan dokter. Dokter Rina menyambut baik pasangan suami istri itu, mereka mencurahkan semua yang terjadi beberapa saat yang lalu pada Dokter Rina. Dokter cantik itu mendengar dengan baik dan sabar, ia memahami apa yang ditakutkan oleh pasangan suami istri itu namun tetap diam sampai keduanya selesai bercerita. "Baik, jika dilihat dari semua ciri-ciri yang disebutkan oleh Bapak dan Ibu, memang Manda bisa jadi terindikasi depresi psikologi. Beberapa gejala diantaranya adalah ketika ia merasa tidak lagi berharga atau di sayang oleh kedua orang tuanya, lalu selalu merasa cemas dan khawatir akan segala hal dan salah satunya yang tadi diceritakan bahwa respon gadis ini diluar ekspektasi kalian." "Bahkan ia menjadi lebih pendiam dari biasanya dan punya ide untuk menyakiti diri sendiri dengan cara bunuh diri. Ini sudah masuk ke dalam kategori depresi. Depresi sendiri bisa terjadi karena beberapa hal dan salah satunya ia benar-benar mengalami traumatis yang sangat luar biasa mengguncangkan hati dan pikirannya. Dan bisa jadi juga karena ada tekanan dalam rumahnya, melihat orang tuanya ribut itu juga bisa menjadi faktor." "Apakah ini berbahaya, Dok? Masalahnya, Manda sendiri seakan enggan untuk bersentuhan dengan lelaki yang jelas-jelas masih keluarganya. Jangankan untuk bersentuhan, melihat aku sebagai Pakdenya saja ia sudah berteriak histeris dan tubuhnya bergetar hebat." "Jelas sangat berbahaya jika tidak segera dilakukan pengobatan, Pak. Khawatir nanti mentalnya akan semakin down jika tidak segera dilakukan pengobatan. Memang depresi ini bagi sebagian orang dianggap biasa saja karena pikiran mereka itu menganggap depresi hanya karena hal spele tapi ketika ditelusuri ternyata ada sesuatu hal yang membuatnya depresi dan jika didiamkan saja akan semakin parah." "Langkah awal yang akan diambil apa, Dok?" "Kita akan mencari tahu lebih dulu apa sebab gadis ini depresi. Nanti, aku kasih rekomendasi dokter psikolog yang sudah menangani banyak kasus. Semoga saja, mereka berjodoh untuk penyembuhan. Apalagi Manda masih sangat muda sekali, harus segera diobati jika tak ingin ada sikap baru yang tercipta dari dalam dirinya." "Tapi, untuk sekarang bagaimana, Dok? Khawatir jika nantinya tiba-tiba akan berteriak histeris lagi," ucap Fitri merasa khawatir. "Nanti, aku berikan resep obat anti-depresan dan ini kartu nama psikiaternya. Sampaikan saja bahwa Manda adalah pasien Dokter Rina." "Baik, Dok. Terima kasih atas masukannya." "Sama-sama, Pak. Sudah seharusnya membantu. Semoga Manda bisa sembuh dalam waktu dekat." "Aamiin. Terima kasih." "Oh iya, untuk sementara kalau bisa Manda dijauhkan terlebih dahulu dari laki-laki. Demi kesehatan mentalnya," ucap Dokter Rina mengingatkan. Fitri dan Fuad saling memandang satu sama lain, agak gimana mendengar peringatan dari Dokter Rina tapi ini juga semuanya demi kebaikan Manda. Mereka akan melakukan segala cara untuk kesembuhan Manda, termasuk Fuad yang harus menjauhkan diri dulu dari gadis cantik itu. "Kita harus bicarakan semuanya ini dengan Mela dan Ibu, Mas." "Iya, nanti Bunda minta Mela dan Ibu untuk keluar dulu ya. Ayah gak mungkin bisa masuk ke dalam, khawatir Manda akan histeris kembali." "Iya, Ayah sabar ya. Sebentar lagi pasti Manda akan kembali sembuh dan kita tak harus memberi jarak lagi dengan gadis kita itu." "Aamiin." *** Rencananya ingin membicarakan semua yang terjadi pada Manda dengan Mela, tapi rupanya gadis itu enggan untuk ditinggalkan oleh Maminya. Mela selalu harus terlihat di matanya, selintas saja Manda tak melihat Maminya, sudah berteriak-teriak mencari malaikat tanpa sayapnya itu. Lea sendiri tak bisa punya banyak waktu dengan Maminya sebab saat ini Manda lebih butuh banyak waktu bersama Mela. Nangis hati Fitri melihat keponakan yang sudah dianggap anak sendiri menjadi seperti ini. Dan, yang lebih membuatnya sedih, sakit dan membuat menangis adalah Fuad yang tak bisa menemani Manda. Padahal, jika Gama tak ada waktu untuk Manda, pasti gadis itu akan selalu datang pada Fuad. Tapi, kali ini jangankan untuk datang, Manda siap berteriak-teriak histeris ketika melihat Fuad. Mela benar-benar harus berada disamping Manda. Wanita paruh baya itu ikut berbaring di atas brankar rumah sakit sambil terus memeluk Manda agar anak gadisnya itu tenang. Fitri memandang sendu ke arah Mami dan anak itu, tak menyadari wajahnya sudah basah oleh air mata. Ibu menggenggam tangan Fitri dan mengusap lembut punggungnya. Fitri menoleh ke arah Ibu, tatapan mereka bertemu dan saling beradu. Sorot mata Fitri menunjukkan banyak kesedihan dan tak sanggup melihat gadis kecil seperti Manda sudah mengalami depresi. Ibu memeluk erat Fitri, wanita itu menangis di dalam dekapan sang ibu dari adik iparnya. Ibu ini benar-benar wanita yang hebat dan melahirkan wanita hebat juga yaitu Mela. Mela sama sekali menangis mengahadapi semua ini, hatinya terlalu kuat dan tetap tenang agar anaknya juga tenang. Luar biasa sekali bukan? Padahal, kita semua tahu hati Mela itu pasti tidak baik-baik saja. Suaminya selingkuh, anaknya depresi dan melakukan percobaan bunuh diri bahkan sebentar lagi akan ditangani oleh seorang psikiater. Bahunya terlalu kuat padahal bebannya sungguh luar biasa. Tapi, ia masih bisa tersenyum hangat di depan mereka semua. "Tenang, kamu harus menguatkan Mela. Saat ini, Mela sedang berusaha untuk kuat, jangan tunjukkan tangisanmu ini di depan wajahnya. Ia bisa menangis histeris jika orang-orang disekitarnya bukan mendukung malah menangis." "Kita tahu betul apa yang dialami olehnya saat ini sangat luar biasa. Ujian dan cobaan datang bersama, entah apa kabar hatinya itu. Kita harus tetap tenang ya, masa Mela saja tenang dan kuat tapi kita rapuh? Bukankah kita harus lebih kuat darinya karena bertugas untuk membuatnya kuat?" "Ma-maaf, Bu. Ini semua terlalu menyakitkan. Jika aku yang berada di posisi Mela, pasti sudah menangis meraung-raung di dalam sebuah kamar yang gelap. Tapi, Mela? Ia justru tetap berdiri tegak di kaki sendiri dengan senyum hangat yang selalu terpancar dari wajahnya. Dia, bukanlah wanita lemah dan Fitri mengakui hal itu!" "Iya dan kita juga pasti akan lebih bisa kuat seperti Mela." "Ini semua gara-gara Gama! Lelaki durjana itu yang sudah membuat kekacauan ini menjadi panjang! Andai saja ia tak pernah berpikir untuk selingkuh bahkan menikah dengan w************n itu. Mungkin, ini semua tidak akan pernah terjadi, Bu!" "Sudahlah, jangan saling menyalahkan satu sama lainnya. Saat ini, bukan lagi mencari siapa yang salah dan siapa yang benar! Ini semua sudah takdir dari Gusti Allah, semuanya sesuai dengan apa yang sudah digariskan. Kita hanya bisa menjalankan dan mencari jalan keluarnya." "Tapi tetap saja, Bu. Awal mula masalah ini muncul karena ambisi dan keegoisan, Gama. Andai saja, dia tidak berambisi untuk memiliki anak lelaki dari wanita lain, ini tak akan terjadi. Mela akan baik-baik saja, Manda pun akan tetap tenang dan menjadi gadis yang ceria. Jika, terjadi sesuatu pada mereka, aku dan Mbak Salma tidak akan pernah diam, Bu!" "Kita pikirkan nanti jalan keluarnya bersama-sama, ya! Kalau masalah dicari jalan keluarnya bersama-sama pasti akan lebih cepat terselesaikan. Kita lakukan semua ini demi Mela, Manda dan Lea." "Iya, Bu. Tenang saja! Aku akan selalu mendukung Mela, Mbak Salma pun pasti akan melakukan hal yang sama. Tak sabar rasanya menunggu Mbak Salma datang dan memberi pelajaran pada Gama!" "Jangan menyimpan dendam, Nak. Kalian itu satu keluarga. Jika ada yang salah maka diarahkan jalan yang benarnya seperti apa dan bagaimana." "Tapi, Gama itu tidak bisa dinasehati dengan baik-baik, Bu! Dasar saja lelaki durjana itu sudah teracuni oleh wanita durjana." Fitri dan Ibu masih terus ngobrol dan Mela sudah turun dari ranjang pasien. Rupanya, Manda sudah tertidur pulas makanya Mela bisa meninggalkan gadis itu agar lebih leluasa istirahatnya di atas ranjang pasien yang sempit itu. "Mbak, ada apa? Apa kata Dokter Rina, Mbak? Apa yang terjadi pada Manda? Manda baik-baik saja 'kan, Mbak? Tidak ada hal serius yang terjadi padanya, bukan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD