Hancur Hati Seorang Ibu

2010 Words
Ibu dan Fitri saling tatap, bingung harus menjelaskan pada Mela dari bagian yang mana dulu. Tapi, Mela berhak tahu semuanya, Fitri menghela nafas berat lalu kembali menatap Mela dengan tatapan sendu. "Kita keluar, ya. Ngobrol sama Mas Fuad." "Kenapa gak disini saja, Mbak? Aku takut nanti Manda bangun dan kembali histeris." "Tidak bisa disini! Kita harus membicarakan semuanya bersama! Agar tak ada kesalahpahaman nantinya. Aku belum tentu kuat menceritakan semuanya dengan baik, maka dari itu kita perlu Mas Fuad untuk membantu menjelaskan juga." "Apakah parah, Mbak?" tanya Mela mulai khawatir. "Segala sesuatu pasti ada obatnya bukan, Mel? Kalaupun memang saat ini yang sedang dihadapi oleh Manda itu parah, kita bisa mengobatinya! Pokoknya, aku, Mas Fuad dan Mbak Salma tidak akan tinggal diam!" "Kenapa kata-kata Mbak justru membuatku khawatir?" "Wajar, Nak! Kami itu seorang, Ibu. Jadi, wajar saja jika merasa khawatir jika ini sudah mengenai anak. Siapapun orangnya ketika kesehatan anak menurun pasti akan khawatir. Tapi, segala sesuatu pasti akan ada jalan keluarnya. Bismillah, Manda baik-baik saja." "Ibu benar, Mel! Ayo, kita keluar sebentar. Manda dan Lea dititipkan dulu sama Ibu, sebentar. Gak pa-pa 'kan, Bu?" "Gak pa-pa, Nak." "Ayo," ajak Fitri. Mela menatap ibunya terlebih dahulu meminta izin, Ibu mengangguk lalu tatapannya beralih pada Manda. Ia berdoa dalam hati agar Manda tetap tertidur pulas saat dirinya kembali. Lalu berjalan menuju depan ruangan bersama dengan Fitri. Hatinya mulai merasa tidak tenang, takut terjadi sesuatu pada anak sulungnya namun ia harus tetap tenang kalau sampai ada sesuatu yang terjadi pada Manda. Fuad sudah menunggu mereka di kantin, akhirnya Mela dan Fitri pun melangkah menuju kantin. Sengaja memilih kantin agar lebih leluasa berceritanya dan pastinya Mela bisa sedikit tenang. Walaupun pasangan suami istri itu gak yakin sih kalau Mela akan tenang setelah mendengar semuanya. Fuad sudah memesankan minuman dingin untuk mereka bertiga, agar obrolan lebih santai. "Jadi, apa yang terjadi pada Manda? Katakan saja, Mbak, Mas. Aku sudah siap!" "Aku tahu, kamu adalah seorang ibu dan istri yang hebat! Tetap kuat walaupun badai menghantam dengan sangat keras. Kamu memang siap! Tapi, harus lebih siap dari semua rasa siap yang sekarang menyelimuti hati." "Ya, Mbak. Insya Allah aku lebih siap!" "Kemungkinan, Manda ada gejala depresi," ucap Fuad sangat hati-hati. "Allah … de-depresi? Apakah aku sedang bermimpi?" "Tidak. Ini semua bukan, mimpi. Manda benar-benar bergejala depresi ringan!" "Tapi, bagaimana bi-bisa, Mbak?" "Mas," panggil Fitri agar suaminya yang menjelaskan. "Akan Mas ceritakan semuanya, tapi kamu harus kuatkan hati!" "Iya, Mas." "Jadi …." Fuad mulai menceritakan kecurigaannya pada kondisi Manda yang tiba-tiba menjadi aneh. Tak ingin berpikiran yang macam-macam memang, tapi semua yang dikhawatirkan justru mengarah pada kecurigaan Fuad. Tak ingin jika hanya menduga-duga tanpa mendapatkan kepastian, akhirnya memberanikan diri bertanya langsung pada dokter walaupun rasa khawatir menerima kenyataan buruk lebih besar dari rasa keingintahuannya itu. Fuad menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan, ia menatap lekat Mela dan Fitri secara bergantian lalu tatapannya berhenti pada sang istri. Fitri mengangguk pasti sebagai tanda bahwa mengizinkan Fuad untuk menceritakan semuanya. "Ceritakan saja semuanya, Mas! Mela berhak tahu mengenai hal ini," ucap Fitri membuat Fuad mengangguk cepat. Ia kembali membuka suara dan menceritakan semuanya. Fuad menceritakan semua tanda-tanda yang terjadi pada Manda dan Dokter Rina mendengar secara seksama. Hingga pada akhir cerita, Dokter Rina mengatakan bahwa semua gejala merujuk pada depresi psikologi. Deg. Bagaikan disambar petir saat tengah hari bolong. Mendengar semua ucapan Fuad membuat Mela menjadi limbung dan semakin gelisah. Keringat dingin sudah mulai bercucuran, ia khawatir pada keadaan anak sulungnya itu. Depresi? Bayangan di dalam otak Mela lebih dari itu. Makanya ia merasa khawatir yang berlebihan. Tangannya gemetar membuat Fitri menggenggam tangan adik iparnya itu sangat erat sekali. Mereka memahami sekali kondisi Mela saat ini. Walaupun ia mengatakan bahwa siap, kuat dan bisa menerima semuanya tapi tetap saja di dalam lubuk hatinya yang terdalam pasti tak sekuat yang diucapkan. Terkadang, ucapan dan hati itu tidak selalu sejalan sebab banyak ucapan yang dilandasi kebohongan tapi hati tak bisa. Namun, demi kebaikan banyak pihak pasti akan selalu ada kebohongan untuk hal yang menurutnya baik. Hati Mela bergemuruh, dunianya runtuh. Ia merasa tak kuat dan sanggup lagi mendengar kelanjutan cerita Fuad. Ternyata hati tidak sekuat yang dibayangkan olehnya, hatinya tak setegar apa yang diucapkannya dan hatinya tak setenang dengan apa yang terlihat. Tatapan Mela berubah menjadi sendu, ia menatap pasangan suami istri itu bergantian. Mencari kebohongan atas semua ucapan yang terlontar barusan, tapi tak ada sedikitpun ia menemukan kebohongan itu. Mela hanya menemukan kesedihan di dalam manik mata kedua iparnya itu. Mereka seakan-akan merasakan juga apa yang dirasakan oleh Mela. Sorot mata Mela berubah menjadi penuh permohonan. Ia memohon pada kedua iparnya itu untuk mengatakan bahwa ini hanya mimpi! Ya, mimpi buruk yang membuatnya harus segera bangun! Agar tak ada lagi kesakitan yang dirasakan olehnya karena tak sanggup beban itu terus-menerus menghantam bahunya. "Percayalah, kami tidak berbohong untuk hal ini. Mana mungkin juga berbohong mengenai kesehatan mental, Manda. Saat ini, mental gadis kesayangan kita semua sedang tidak baik-baik saja. Kesehatan mentalnya sedang terganggu," ucap Fuad masih dengan hati-hati. Ia takut melukai hati Mela karena salah paham dengan apa yang diucapkan olehnya. Bahu kokoh itu tiba-tiba terguncang, tubuhnya bergetar hebat. Mela menutup wajah dengan kedua tangannya, ia menangis dalam diam. Sakit! Sungguh terasa sangat sakit sekali. Anak gadis yang selama ini dijaga, disayang dan dicintai sepenuh hati bisa mengalami depresi. Mela tak tahu apa sebab dari semua ini, tapi ia merasa sangat gagal untuk menjadi Mami bagi anak-anaknya. Tangisnya memang tak terdengar tapi guncangannya terlihat sangat jelas. Ia memilih untuk menangis dalam diam agar tak ada satupun orang yang merasa iba. Ia tak suka dikasihani! Ia ingin semua orang hanya bisa melihat senyumannya bukan tangisan. Fitri tak sanggup melihat adik iparnya yang seperti itu, tak terasa ia pun ikut menangis tapi tak menunjukkannya. Fitri tak ingin adik iparnya semakin rapuh. Diantara mereka berdua, tak ada yang berniat untuk menghentikan tangisnya! Bukan karena tak sayang dan tak peduli, bukan! Tapi, mereka berdua memberikan waktu untuk Mela mencurahkan semua sakit yang dirasakan olehnya. Kalian tahu bukan, nangis dalam diam itu sungguh sangat menyakitian dan menyesakkan d**a! Dan sekarang sedang dirasakan oleh Mela. Bahu yang sebelumnya terguncang hebat itu perlahan tapi pasti mulai tenang dan sangat benar-benar tenang. Gemuruh dihati yang tadinya seperti alunan gemuruh petir perlahan mulai tenang. Mela mulai berpikir dalam diamnya itu, ia tak bisa bersikap seperti ini. Karena ada Manda yang membutuhkannya. Kedua tangan itu kembali membuka wajah Mela yang sudah basah. Mela menarik nafas panjang yang terasa sangat sakit dan sesak, lalu menghembuskannya perlahan. Menatap kedua iparnya sambil mengusap lembut sisa-sisa air mata yang masih meluncur bebas di wajahnya karena air mata itu selalu terjun bebas dari pelupuk matanya. "Are you, okay?" "Aku baik-baik saja, Mbak!" jawabnya tenang. "Aku sudah merasa baik-baik saja!" Mela tersenyum. Senyum getir yang ia tunjukkan, menyedihkan! Ia merasa sakit tapi masih bisa tersenyum walaupun rasanya … ah tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Kedua iparnya memang sangat yakin bahwa Mela itu kuat dan terbukti sekarang. Ia tetap bersikap tenang walaupun sebelumnya terlihat sangat rapuh dan kacau. Luar biasa bukan? Satu sisi ia merasakan sangat amat rapuh, tapi sisi lain ia harus tetap kuat karena ia adalah tumpuan anak-anaknya. Sisi lainnya lagi ia harus tenang dan terlihat baik-baik saja di depan Manda agar anak gadisnya itu percaya bahwa semua memang baik-baik saja dan tak perlu ada yang dikhawatirkan. Dan, sisi yang lainnya lagi adalah ia harus tetap kuat dan berdiri di kaki sendiri untuk menghadapi masalah yang saat ini sedang menimpanya, sebuah masalah perselingkuhan. Fitri berpindah tempat duduk, ia tahu adik iparnya itu memang kuat. Tapi ia ingin memberikan kekuatan yang lebih dengan pelukan erat sebagai dukungan bahwa mereka akan selalu berada di samping, Mela! Mela tidak sendirian karena mereka akan menghadapi semua ini bersama-sama. Semuanya demi, Manda. "Aku baik-baik saja, Mbak," ucap Mela menahan tangisnya saat pelukan hangat itu berhasil menyentuh hatinya. Suaranya terdengar sangat bergetar hebat di sela-sela nafas yang terasa sangat sulit. "Aku tahu, kamu kuat dan baik-baik saja! Tapi, izinkan aku untuk lebih memberikan kekuatan padamu dengan cara memeluk seperti ini! Untuk sekarang, hanya ini yang bisa aku berikan padamu! Pelukan sebagai dukungan bahwa aku tidak akan kemana-mana dan selalu bersama denganmu." "Ma-makasih, Mbak," jawabnya bergetar. "Mbak Fitri benar, Mela! Kita akan selalu ada untuk kamu," timpal Fuad. "Makasih, Mas." Pandangan Mela lurus ke depan, tatapannya kosong dan penuh luka. Tubuhnya terasa seperti sedang terombang-ambing tapi tetap masih bisa merasakan pelukan hangat yang diberikan oleh Fitri. Hatinya selalu berdzikir agar tetap tenang dan baik-baik saja. Ia menanamkan dalam dirinya bahwa Allah bersama dengannya dan akan selalu menemani disetiap masalah apapun yang datang. Dzikir adalah obat dari segala macam rasa galau, gundah dan gelisah yang Mela rasakan. "Mas, Mbak," panggil Mela saat hatinya sudah mulai tenang. "Langkah apa yang harus kita lakukan untuk Manda?" "Untuk sementara ini, menyembuhkan terlebih dahulu luka yang terlihat setelah itu baru mentalnya," jawab Fuad. "Mas, Manda bisa sembuh, 'kan?" tanya Mela parau. "Insya Allah sembuh, Mela! Jangan berpikir seperti itu! Tanamkan dalam diri dan pikiran kamu hal-hal yang baik! Manda pasti akan sembuh seperti sediakala lagi! Yakin akan hal itu!" "Aku pun berharap seperti itu, Mbak! Tapi, aku takut jika mentalnya kembali kacau dan kembali depresi." "Untuk sementara waktu, ia tak boleh bertemu dengan lelaki," ucap Fitri mengingatkan. "Kenapa, Mbak?" "Karena awal mulanya depresi itu karena lelaki!" jawab Fitri tegas. "Maksudnya, Mbak?" "Kamu siap mendengarkan sampai selesai tidak?" Mela tampak berpikir sejenak, ia ingin mendengar semuanya tapi merasa takut. Namun, jika tak mendengar semuanya maka tak tahu langkah apa yang harus pertama diambil. "Baik, Mbak! Mela mau mendengarkan semuanya." "Manda bisa seperti ini karena ulah Papinya! Ia melihat bagaimana cara Gama memperlakukan kamu! Semakin kesini, sikap Gama semakin berubah semenjak berhubungan dengan w************n itu, bukan?" tanya Fitri. Mela mengangguk cepat. "Nah, itu awal mulanya! Selama ini, Manda merasa percaya pada Papi dan Pakdenya, ia ingin sekali mempunyai pasangan kelak yang seperti Papi dan Pakdenya itu. Tapi, semua kepercayaan yang dia miliki dipatahkan oleh Gama hingga hancur berkeping-keping!" "Manda mulai takut terhadap lelaki. Ia mulai menjaga jarak, aku memang tidak tahu bagaimana kondisinya belakangan ini tapi semua yang aku ceritakan ini berdasarkan diagnosa Dokter Rina. Manda semakin menutup diri dan merasa tak berharga lagi bagi orang tuanya terutama Gama! Manda merasa, dia dan adiknya tersisihkan karena kehadiran orang lain sehingga membuatnya merasa semakin takut kehilangan dan mulai muncul ide-ide untuk bunuh diri. Semuanya terjadi secara spontan tanpa ada rencana!" "Allah … Allah … Allah … apakah anak gadisku sebegitu kecewanya terhadap Mas Gama, Mbak?" "Ya, mungkin bisa jadi seperti itu! Karena ia benar-benar sangat mengidolakan Papi dan Para Pakdenya, bukan? Tapi, Gama menghancurkan hati anak gadisnya dalam sekejap sehingga membuat Manda menjadi seperti ini." "Astaghfirullah, Mbak," jawab Mela dengan suara yang tercekat. Ia merasa tenggorokannya itu sangat sakit dan tak bisa berkata-kata lagi. "Tenang, minum dulu, Mel," ucap Fuad. Fitri membantu Mela untuk minum dan wanita hebat itu kembali tenang. Rasa sesak semakin menyelimuti hatinya, ia benar-benar tak tahu harus berkata apa lagi. Sakit sekali rasanya mengetahui kondisi anaknya menjadi seperti ini karena rasa kecewa yang terlalu berlebihan pada seorang lelaki yang tak lain adalah Papinya sendiri. "Lalu setelah itu langkah apa lagi yang diambil, Mas, Mbak?" "Aku akan menghubungi psikiater terbaik yang ditunjuk oleh Dokter Rina. Menurut penuturan Dokter Rina, temannya itu adalah psikiater terhandal sampai saat ini. Kita ikhtiar untuk memberikan yang terbaik bagi Manda, ya." "Terima kasih, Mas, Mbak. Aku gak tahu lagi, jika tidak ada kalian harus bagaimana. Jujur, saat ini aku benar-benar merasa sangat buntu, sekali." "Sudah aku katakan, bukan? Kamu tidak sendirian, Mela! Kami akan selalu ada untukmu dan membantu! Kita ini keluarga, sudah seharusnya saling membantu. Jadi, jangan merasa tidak enak atau sungkan, ya!" "Makasih ya, Mbak. Tapi, bagaimana dengan masalah Mas Gama?" "Kalau kita kesampingkan lebih dulu masalah Gama bagaimana? Kita fokus dulu pada kesehatan mental Manda?" tanya Fuad hati-hati memberikan penawaran. "Aku ikut yang terbaik saja, Mas. Dibantu kalian saja sudah syukur Alhamdulillah karena beban pikiranku ada yang membantu untuk berpikir." "Bismillah ya, kita berikan yang terbaik untuk Manda sampai gadis kecil kita semua benar-benar lepas dari depresi ini." "Iya, Mbak," jawab Mela mencoba tersenyum. "Tapi, Lea bagaimana, Mas, Mbak?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD