Diam Tak Berkutik

2021 Words
Mela dan Fitri saling berpelukan lagi untuk menguatkan satu sama lainnya. Fuad memaksa Mela untuk makan terlebih dahulu, karena sejak siang belum makan. Sedangkan Ibu dan Lea sudah makan siang bersama. Tapi, Mela selalu menolak akhirnya mau tidak mau Fitri menyuapi agar wanita kuat itu tetap kuat dan tidak tumbang, karena untuk saat ini dan beberapa waktu ke depan Fitri harus tetap kuat baik hati, pikiran, mental dan juga tubuhnya. "Kamu harus makan, kalau gak makan nanti sakit! Siapa yang mengurus Manda dan Gama?" omel Fitri. "Iya, Mbak. Tapi aku gak mood banget untuk makan, gak ada selera banget, Mbak." "Paham, tapi kamu gak bisa begini, Mela. Mumpung Manda bisa ditinggal jadi manfaatkan waktu untuk makan. Jadi kamu untuk saat ini pasti akan sangat lelah sekali! Semuanya bertumpu pada kamu! Kamu harus kuat." "Mbak-mu benar, Mela! Ujung tombak itu ada di kamu. Kalau kamu sakit maka semua akan semakin sakit, tapi jika kamu kuat maka mereka akan semakin kuat." "Begitu ya, Mas?" "Iya, Sayang. Kamu pasti kuat," ucap Fitri lembut. "Mas, sudah hubungi Mbak Salma?" "Sudah, tapi tadi gak ada jawaban. Sepertinya sedang sibuk." "Telepon lagi, Mas! Agar bisa segera kemari!" pinta sang istri. "Iya, Bun." Fuad merogoh sakunya mengambil ponsel lalu mencoba menghubungi Mbak Salma. Sekali dua kali tak ada jawaban membuatnya sedikit putus asa. Tapi, telepon yang ketiga kalinya ternyata diangkat, senyum merekah terpancar dari bibir Fuad. "Assalammualaikum, Fuad! Maaf Mbak baru bisa jawab telepon dari kamu. Mbak lagi sibuk banget tadi, ada apa?" "Waalaikumsalam, Mbak. Maaf ya kalau Fuad ganggu, Mbak." "Gak pa-pa. Kenapa? Ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" "Apa Mbak sudah senggang?" "Iya, sudah." "Gama dan Manda masuk rumah sakit, Mbak." "Apa? Astaghfirullah, kok bisa? Bagaimana ceritanya?" "Panjang, Mbak! Kapan punya waktu untuk datang kesini, Mbak? Kami butuh peran Mbak disini!" "Coba jelaskan dulu, bagaimana bisa mereka masuk rumah sakit? Lalu Mela dan Lea bagaimana? Apa mereka baik-baik saja? Dimana mereka sekarang? Ibunya Mela gimana?" "Manda hampir membunuh Gama dan Manda sendiri mencoba bunuh diri." "Astaghfirullah … hei gimana ini maksudnya? Ada apa?" tanyanya khawatir. "Sudah, Mbak! Segera kesini saja secepatnya! Tapi tolong, jangan beritahu Mama dulu masalah ini!" "Begitu? Baik, nanti aku atur waktu dan cari waktu senggang." "Tapi, Mbak--" "Assalammualaikum, Mbak. Ini Fitri," ucap Fitri mengambil alih obrolan mereka. Gemas juga dia melihat suaminya itu seperti bingung akan bicara apa. "Waalaikumsalam, Fit. Ada apa, sebenarnya?" "Gama selingkuh!" "A-apa? Astaghfirullah …. Kurang ajar! Berani sekali dia berselingkuh dibelakang Mela! Apa alasannya?" "Ingin punya anak laki-laki. Mbak, sebaiknya secepatnya kesini, ya. Ini benar-benar keadaannya kacau banget. Manda itu gak terima Maminya diselingkuhi karena dia melihat sendiri Papinya selingkuh--" "Ya Allah, kamu serius?" "Iya, Mbak! Memang ya, Gama itu kurang ajar, Mbak! Bisa-bisanya selingkuh tapi ditempat umum. Dia jalan bareng selingkuhannya itu di mall! Bodoh bukan?" "Mbak siap-siap sekarang dan langsung otewe ke rumah sakit." "Baik, Mbak. Ditunggu. Hati-hati. Mbak, ingat ya jangan sampai Mama tahu dulu!" "Iya, Fit. Titip Mela, Lea dan Ibu." "Siap, Mbak!" "Wassalamualaikum." "Waalaikumsalam." Fitri memandang jengah ke arah suaminya yang diam saja tak berkutik itu. "Kamu itu lama kalau bicara! Gak langsung ke intinya! Mbak Salma gak akan datang cepat kalau kamu gak bilang apa yang menjadi permasalahan utamanya!" sergah Fitri membuat suaminya tersenyum kaku menampilkan deretan giginya yang putih. "Maaf, Bun. Habis bingung kalau ngobrol sama Mbak Salma, salah ngomong bisa muncul perkara baru!" "Ya makanya gak usah berbelit! Langsung pada intinya saja agar tidak ada kesalahpahaman!" "Iya maaf, Bun." "Bicara sama kakak sendiri saja bingung begitu! Heran!" "Mbak Salma 'kan galak!" "Aku laporkan loh nanti kalau Mbak Salma datang, Mas!" "Eh, jangan, Bun!" Mela menggelengkan kepala saja melihat tingkah kedua iparnya itu. Ada rasa iri yang mendera hatinya, ia mulai kembali pada masa lalu dimana masih sama-sama saling menyayangi dan mencintai satu sama lainnya. Dimana tak pernah ada masalah, pertikaian, keributan, pertengkaran bahkan pengkhianatan. Tapi, sekarang semuanya berubah total! Gama sudah tidak seperti suami yang ia sangat idolakan dulu. Semuanya berubah semenjak pabrik kolaps, ia mulai mencoba-coba sesuatu yang dilarang oleh agama hingga masuk ke dalam jurang kehancuran yang membuat keluarga kecilnya mulai hancur berkeping-keping. Sekarang, Gama bukan hanya menyakiti hati Mela saja tapi juga hati, harapan dan cinta yang dimiliki Manda untuk dirinya. Apa lagi hal yang paling menyakitkan selain melihat buah hati sakit? Tidak ada! Sebab, anak adalah darah daging, maka ketika mereka merasakan sakit, kita sebagai orang tua pasti akan lebih merasakan sakitnya. Betul, 'kan? "Mel!" "Mela!" "Melati!" sergah Fitri membuat Mela gelagapan karena terkejut. "Astaghfirullah, Mbak. Kaget loh, aku!" "Kamu kenapa? Mikirin apa lagi, sih? Sudah jangan banyak melamun! Kita hadapi semuanya bersama-sama!" "Terima kasih ya, Mbak, Mas! Kalian sangat baik padaku dan anak-anak." "Hei, kita itu keluarga, jadi ya memang sudah seharusnya saling bantu." "Iya Mbak." "Tapi, Lea bagaimana, Mas, Mbak?" ucap Mela bingung tiba-tiba teringat pada anak bungsunya itu. Mela khawatir jika keadaan Lea tidak beda jauh dari Manda. Jika sampai Lea pun keadaannya tidak beda jauh dari Manda, hidup Mela benar-benar terasa semakin hancur. Ia tak ingin nasib anak bungsunya sama seperti kakaknya. Ia tak sanggup jika harus semakin membagi pikirannya untuk tiga orang. "Lea?" tanya Fuda dan Fitri bersamaan. "Iya, Lea!" "Kenapa dengan anak cantik itu?" tanya Fuad. "Apakah Lea baik-baik saja? Apakah keadaan lebih baik dari Manda? Atau keadaannya sama dan tidak beda jauh dari kakaknya?" ucap Mela memburu banyak pertanyaan. Fuad dan Fitri saling memandang, mereka lupa dengan gadis kecil yang cantik jelita itu. Bukan lupa sebenarnya, tapi Lea tidak menunjukkan gejala apapun jadi tak ada pikiran mereka bahwa semua ini terjadi juga pada Lea. Mereka semua hanya fokus pada Manda sampai mengesampingkan Lea. "Apakah Lea menunjukkan gejala yang sama?" tanya Fuad serius. "Sampai detik ini, aku tidak melihat gejala yang serius, Mas. Dalam artian masih dalam hal yang normal dan wajar. Tapi, sikapnya menjadi berubah sama seperti kakaknya. Ia lebih banyak diam sekarang, bahkan takut jika berhadapan dengan Mas Gama. Pokoknya kakak dan adik kalau bertemu dengan Mas Gama, mereka lebih memilih untuk menghindari daripada harus berpapasan dan berujung keributan." "Pantas saja, saat aku tadi keruangan Gama meminta Lea dan Ibu untuk keluar dulu gadis itu langsung menurut saja. Aku tak berpikir macam-macam juga saat ini. Biasanya, Lea itu paling tak bisa jauh dengan Papinya, bukan? Bahkan dulu saat Papinya sakit, ia ingin selalu berada di dekat Papinya dan marah jika tidur lalu terbangun tak ada di tempat sang Papi," jawab Fuad menduga-duga. "Iya Mas, benar. Sekarang, mereka berdua jadi menghindar karena waktu shalat subuh, Mas Gama menolak berjamaah dengan alasan mengantuk dan membentak mereka berdua. Mungkin dari sejak saat itu mereka berubah," ucap Mela mencoba mengingat-ingat. "Mas, apa mungkin Lea juga?" tanya Fitri khawatir. "Aku rasa sepertinya sih, tidak. Mungkin kalau untuk depresi tidak! Tapi, untuk trauma, aku tidak tahu! Takutnya, dia trauma dibentak atau dimarahi sehingga membuat sikapnya berubah menjadi lebih pendiam." "Mas, Mbak, apa tidak lebih baik Lea ikut juga diperiksakan? Aku takut sekarang belum terlihat dan kita gak menyadari akan hal itu, lalu lama-kelamaan dari trauma menjadi depresi, aku gak mau itu terjadi. Mas dan Mbak, paham bukan maksudku?" "Aku paham. Ya sudah, nanti sekali diperiksakan saja, Mas. Gimana?" "Iya, boleh, Bun. Itu ide yang sangat bagus. Jadi kita bisa meminimalisir hal seperti itu agar tidak terjadi." "Ya Allah … Alhamdulillah aku diberikan keluarga yang peduli dan penuh cinta seperti ini. Terima kasih ya, Mas, Mbak." "Kamu ini trus saja terima kasih kayak sama siapa saja, Mela," kekeh Fitri membuat wanita kuat itu tersenyum. "Sebagai tanda bahwa aku bahagia memiliki keluarga seperti kalian, Mas, Mbak." "Terima kasih juga sudah menjadi wanita yang sangat kuat dan tetap bertahan walaupun sakit juga terluka. Maaf, jika adik kami selalu merepotkanmu dan membuatmu sakit hati. Beruntungnya Gama memiliki istri seperti kamu, tapi ia tak pandai untuk bersyukur," ucap Fitri menggenggam tangan Mela. "Ngomong-ngomong soal Mas Gama, aku hampir saja melupakan keadaannya. Maaf, Mas, bagaimana keadaan Mas Gama tadi?" "Sudah siuman kok, dia. Tapi ya tetap saja, dikasih tahu dan dinasehati yang benar tak terima. Tetap pada pendiriannya dan menganggap apa yang ia pahami itu benar! Susah sih ya kalau manusia macam dia dikasih pengetahuan mengenai poligami tapi tak dipahami lebih dalam dasar dan gunanya seperti apa dan bagaimana. Jadi, ya beginilah, dimanfaatkan dengan alibi bahwa suami boleh memiliki istri lebih dari satu." "Susah memang jika memberi pengertian pada seseorang yang sedang di kelilingi oleh tipu daya setan, Mas! Mau Mas bicara seperti apapun, ia tak akan pernah terima. Biarkan saja lah, Mas. Itu mungkin keinginan dia, kita tidak akan bisa melakukan apapun." "Tapi yang dilakukan oleh Gama itu salah loh, Mel," protes Fitri. "Paham, Mbak! Tapi kita mau menasehati bagaimana lagi? Dia gak akan pernah terima! Ia selalu merasa bahwa dirinya yang benar dan kita yang salah. Semakin kita memojokkannya maka semakin ia merasa benar. Apalagi, sekarang pikiran kita semua sedang terbagi juga pada Manda dan Lea, jadi ya sudahlah kita serahkan saja sama Mbak Salma." "Benar juga sih apa kata Mela. Gama itu tidak akan pernah merasa sadar setiap kali melakukan kesalahan karena ia merasa apa yang dilakukan olehnya itu benar. Semoga nanti Mbak Salma bisa menasehatinya," jawab Fuad. "Mbak, aku titip Manda sebentar ya. Aku mau melihat keadaan Mas Gama." "Aku lapor pada perawat saja kali ya agar ruang perawatan Manda dan Gama tidak jauh, minta jadi satu gitu." "Mas, mana mungkin! Lihat kamu saja dia histeris apalagi lihat Papinya." "Astaghfirullah … aku lupa, Bun. Jadi gimana ya?" "Gak pa-pa ruangan dekat tapi jangan dijadikan satu, gimana?" usul Fitri. "Nah boleh juga tuh, gimana Mel?" "Aku ngikut saja apa kata Mas dan Mbak bagaimana baiknya." "Ya sudah, berarti kita berpisah disini." Mereka semua saling mengangguk, Mela melangkah menuju kamar Gama, Fitri melangkah menuju kamar Manda sedangkan Fuad melangkah menuju ruangan perawat untuk minta pindah ruangan. Dalam langkah kakinya, Mela merasakan detak jantungnya itu berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia berusaha untuk tetap tenang dengan terus berdzikir. Langkah kakinya semakin mendekat ruangan Gama semakin terasa lemas. Hatinya mulai gelisah, matanya liar mengedarkan pandangan ke segala sudut rumah sakit. Ia menghentikan langkah tepat di depan ruangan Gama. Menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan, memejamkan mata sejenak untuk menenangkan hatinya sejenak. Setelah itu, tangannya terulur untuk membuka handle pintu. "Bismillah. Assalammualaikum," salamnya membuka pintu. Gama langsung menoleh ke arah pintu dan matanya melebar saat melihat Mela masuk. "Bagaimana keadaan Manda?" tanya Gama langsung tanpa basa-basi. "Bagaimana keadaanmu, Mas? Apa sudah membaik?" "Aku tanya, bagaimana keadaan Manda? Seharusnya kamu jawab! Bukan malah balik memberikan pertanyaan!" "Aku menanyakan terlebih dahulu keadaanmu agar tidak shock mendengar keadaan Manda." "Aku jelas baik-baik saja! Kamu sendiri pun bisa melihat keadaanku ini, bukan?" "Ya dan aku harap, kau selalu baik-baik saja setelah mendengar keadaan Manda." "Aku akan tetap baik-baik saja. Aku rasa keadaan Manda tidak terlalu buruk." "Kata siapa? Bagaimana bisa kamu berpendapat seperti itu? Apakah kamu yakin anak gadis itu baik-baik saja? Apa kamu sudah melihatnya sampai-sampai sangat yakin bahwa Manda keadaannya tidak buruk?" tanya Mela memberondong. "Jelas aku tahu! Secara aku ini Papinya! Lelaki yang sangat disayang dan dicintai olehnya." "Itu dulu!" teriak Mela tak tertahankan. "Kamu memang lelaki yang sangat diidolakan, disayang dan dicintai olehnya tapi itu, dulu! Dulu, sebelum semua masalah ini datang dan terjadi! Dulu, sebelum kamu menghancurkan hatinya! Dulu, sebelum kamu merusak segalanya!" "Dan sekarang, ia menjadi pribadi yang baru! Menjadi pribadi yang lebih banyak diam dan menyendiri itu semua gara-gara kamu, Mas! Gara-gara kamu, Manda menjadi sosok yang lain! Gara-gara kamu, Manda jadi depresi dan gara-gara kamu juga Manda mencoba untuk bunuh diri!" teriaknya semakin lantang membuat Gama terhenyak. Tes. Tes. Tes. Tes. Bulir kristal jatuh membasahi pipi mulut Mela, ia tak ingin menangis tapi hatinya tak kuasa menahan sesak di dalam d**a mengingat keadaan anak gadisnya yang tidak baik-baik saja. Manda menjadi berbeda semua karena Gama. Karena seorang Papi yang menghancurkan dunianya dan hatinya. Mela mengusap kasar bulir kristal yang terus jatuh itu, menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Mela menatap nyalang ke arah Gama, melangkah maju dengan langkah yang gontai, terdengar suara gigi gemeretuk menandakan bahwa dirinya benar-benar sangat marah tapi berusaha untuk tetap tenang. "Manda depresi karena kamu! Kesehatan mentalnya rusak gara-gara, kamu! Jika terjadi sesuatu hal yang lebih parah terhadapnya, maka aku tidak akan pernah tinggal diam! Akan aku pastikan, kamu menyesal, Mas Gama!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD