Chapter 12

2767 Words
            Kami tiba di rumahku. Seperti biasa, rumahku selalu sepi saat aku pulang sekolah. Biasanya jam segini mama di ruang kerjanya. Kalau papa tidak usah di tanya deh, udah pasti di kantor dan pulang larut.             “Oh, kamu udah pulang Teh?”Sapa nenek di ruang tamu. Beliau asyik menonton tayangan sinetron di televise. Ah iya, aku lupa nenek masih di sini sampai nyepian mahkota selesai.             “Eh iya, aku pulang nek.” Aku menyalim tangan nenek. Sheila di belakangku menyusul salim nenek.             “Oh ada nak Sheila juga ternyata. Lagi main kemari toh?”Tanya nenek.             “Kami mau kerjain tugas bareng nek,”jawabku.             “Oh, bagus bagus. Ya sudah kalau gitu, kalian ganti dulu aja deh baju kalian terus makan. Nenek udah masakin kalian makan siang, langsung ke dapur aja ya nanti,”perintah nenek. “Nak Sheila jangan segan- segan ya, anggap aja rumah sendiri,”ujar nenek.             “Hehehe iya nek, Sheila ke kamar Teh dulu ya nek,”pamit Sheila. Nenek mangut- mangut.             “Oh iya iya, habis itu turun terus ya.”             Kami tiba di kamar dan langsung mencampakkan tas ke tempat tidur. Sheila juga mencampakkan dirinya ke kasur dan menggeliat.             “Kayak kamar sendiri ya lu,”gumamku. Sheila nyengir. Aku membuka lemari pakaian dan mengeluarkan dua pasang kaos dan dua pasang celana pendek. “Eh kamu bawa baju ganti gak?”Tanyaku. Sheila mengeleng.             “Bawa pakaian dalam aja sama handuk, oh sama skincare aja sih gak lupa,”jawab Sheila. Ia bangkit dan melihat kaos yang ada di atas kasur. “Eh, ini kan bajuku! Kok bisa ada di kamu?”Tanya Sheila sambil mengambil salah satu kaos abu- abu dengan gambar buah ceri di tengahnya. Aku nyengir lebar.             “Agaknya kebawa sih waktu aku nginap di rumahmu waktu itu,”jawabku. Sheila mendengus. Sebulan lalu, aku nginap di rumah Sheila. Random aja, lagi pengen nginap ya udah sih jadinya nginap. Kalau nginap, biasanya aku dan Sheila saling memakai baju yang ada. Makanya sih gak heran semisal ada baju Sheila yang menyempil di lemariku, ataupun sebaliknya. Bahkan tak jarang kami memiliki baju kembar, entah sengaja beli bareng atau karena orangtua kami belikan. Sebagai anak tunggal, Sheila sudah seperti saudara kandung bagiku. Seperti seorang kakak, mungkin karena pembawaan Sheila sebagai anak sulung dengan 2 adik laki- lakinya yang masih kecil. Padahal Sheila sendiri beberapa bulan lebih muda dariku.             Kami selesai mengganti baju dengan baju kaos rumah dan kami pergi ke dapur. Nenek sudah menunggu kami di sana. Nenek tampak sedang memanaskan sesuatu di panci.             “Eh, ayok ayok kalian makan,”ajak nenek. Nenek mengangkat panci dari kompor dan menaruhnya di meja. “Ini nenek ada masak soto ayam, itu ada perkedel juga. Ini kalau mau pake bihun, mau pakai nasi juga boleh. Ambil aja bebas.” Nenek menunjukkan apa saja yang ada di meja.             “Soto lagi nek?”gerutuku. Sheila menyikutku. Nenek memang begitu. Sekali tahu makanan kesukaan cucunya, pasti bakal di bikin lagi terus menerus hingga aku sendiri yang meminta untuk ganti menu.             “Kamu kan suka soto Teh, makanya nenek masak soto.” Nenek mengambil mangkuk dan menuangkan soto ke dalamnya. “Yuk makan nak Sheila.” Nenek menyodorkan semangkuk soto di depan Sheila. “Teh mau nenek tuangin juga sotonya?” Nenek menawarkan. Aku mengangguk.             “Kayak biasa nek, bihunnya sikit aja. Suwiran ayamnya banyak,”ujarku. Nenek mengacungkan jempolnya dan menuangkan soto sesuatu permintaanku. Semangkuk soto dengan sedikit bihun dan melimpah suwiran ayam tiba di depanku. Aku mengambil sambel ijo alus dan menuangkannya ke dalam mangkuk. Tak banyak, hanya 3 sendok teh saja. Oh tak lupa dengan perasan jeruk nipis dan sepiring nasi putih hangat. Juga sate usus dan sate telur puyuh. Oke sempurna.             Aku melirik Sheila yang sedang menuangkan kecap ke dalam mangkuk sotonya, lalu Sheila mengaduknya hingga warna sotonya berubah menjadi coklat sedikit gelap. Aku geleng- geleng kepala melihatnya.             “Psikopat, masa makan soto pakai kecap seabrek gitu,”gumamku.             “Dih, ini enak tau!”ujar Sheila. Ia memeras potongan jeruk nipis, lalu pergi untuk mencuci tangannya. Iseng, aku menuangkan sesendok sambal ke dalam mangkuk soto Sheila, lalu mengaduknya hingga rata.             “Eh cuci tangan dulu sana!”Perintah Sheila. Aku mengangguk dan bangkit dari duduk. Sambil cuci tangan, aku melirik ke arah Sheila. Sheila menyeruput kuah soto dan berdesis kepedasan. Aku tertawa melihat kupingnya yang sudah memerah.             “ALTHEA!!” ***             Kami telah selesai makan siang. Sheila bolak- balik ke toilet sehabis memakan soto yang kutambah sambal tadi. Sheila memang tidak toleran dengan pedas, sungguh berbanding terbalik denganku yang kurang afdhol kalau tidak ada sambal. Akhirnya penderitaan Sheila berakhir setelah meminum obat diare yang kuberikan. Ia meminum obat itu sambil mengumpatku.             Bukannya kami mulai mengerjakan tugas, kami malah termenung berdua di kamar sambil membuka materi di tablet. Ya, hanya di buka saja. Tapi tidak di pahami dengan baik. Hanya membacanya sambil lalu.             “Males banget deh aku kerjainnya,”gumamku. Sheila mengangguk setuju. Kami rebahan di tempat tidur, menatap langit- langit kamar. Diam termenung entah memikirkan apa. Terdengar suara pintu kamar di ketuk. Pintu terbuka dan tampaklah nenek di muka pintu membawa nampan berisikan roti bakar bandung dan dua gelas s**u coklat hangat.             “Lah kok kalian belum kerjain tugas?”Tanya nenek. Kami bangkit dan duduk di pinggir tempat tidur.             “Ah iya nek, ini mau kerjain.” Aku mengambil tablet dan secarik kertas. Sheila mengambil secarik kertas dan pulpen.             “Kerjain terus ya itu. Ini nenek bawain cemilan.” Nenek menaruh nampan di atas meja yang berada di tengah ruangan. “Jadi kalian lagi kerjain tugas apa nih?”Tanya nenek. “Mungkin nenek bisa bantu,”lanjut beliau.             “Oh, biologi nek. Tentang fotosintesis,”jawab Sheila.             “Gak apa nek, kami bisa kerjain sendiri kok. Cuma meringkas materi aja,”tolakku halus. Aku bukannya tak percaya pada nenek. Hei, jangan salah. Nenek itu pinter loh. Nenek sering mengajariku. Nenek hampir mengajari semua mata pelajaran. Pokoknya nenek jago banget deh. Sepertinya nenek tidak kenal dengan kata pikun, karena semua pelajaran yang pernah beliau pelajari masih teringat sampai sekarang.             “Ya sudah, kalian kerjakan ya. Itu tugasnya di kasih dari kapan? Kapan pula kumpulnya?”Tanya nenek bertubi- tubi.             “Kemarin sih di kasihnya nek,”jawab Sheila.             “Kumpulnya katanya lusa.” Aku menimpali.             “Loh? Jadi di kumpulnya besok dong?”Tanya nenek. Kami terdiam sesaat.             “AH IYA!” Ya ampun, kami bahkan lupa kalau besok itu sudah lusa. Nenek geleng- geleng kepala. Kami menatap kertas di atas meja. Bahkan belum ada satupun kata tertulis di sana.             “Ya udah, kerjain terus. Nenek keluar dulu ya.” Nenek berdiri dan pergi keluar kamar. Aku langsung mengambil alat tulis dan beberapa kertas.             “Ayo ayo kita kerjain! Nanti gak keburu!” ****             Akhirnya kami selesai mengerjakan tugasnya malam hari. Itu pun dengan sepenuh usaha, karena berkali- kali nulis ulang karena ada yang salah. Entah sudah berapa banyak kertas yang terbuang. Tidak efisien sama sekali. Belum lagi bingung harus melihat kemana, ke tablet atau ke kertas. Saking fokusnya kami mengerjakan tugas, sampai hampir melewatkan makan malam. Kalau saja nenek tidak memanggil kami untuk makan, mungkin kami akan tidur malam dengan perut lapar. Tadinya, kami ingin makan di kamar saja. Tapi nenek melarangnya, nanti kamar bakal bau makanan katanya. Mending makan di bawah, bisa nambah sesuka hati. Padahal kami sendiri tidak berpikir untuk nambah, hanya terpikir untuk menyelesaikan tugas secepatnya biar bisa leha- leha sepuasnya.             Mungkin ini juga kesalahan kami. Selesai mengerjakan tugas, bukannya langsung tidur, kami malah memilih untuk refreshing dengan movie time. Aku menyalakan xenxory proyektor biar berasa nonton di bioskop. Kami baru tidur tengah malam, membiarkan film terus berputar dengan sendirinya. Yah untung saja, pagi ini kami tidak bangun terlambat. Terima kasih pada Sheila yang memang selalu bangun cepat.             “Teh, mandi sana. Udah jam segini.” Sheila mengguncangkan badanku, mencoba membangunkan. Aku sedikit menggeliat dan mengucek mataku.             “Mmm.. emang jam berapa sih?”Tanyaku melas.             “Ih, ini tuh udah jam setengah 6 tau Teh!”jawab Sheila sebal.             “Ah, masih lama itu Shei … 5 menit lagi ..”gumamku. Aku kembali memeluk guling. Sheila menarik selimutku. Aku meringkuk kedinginan.             “Bangun hei! Nanti terlambat!” Sheila kembali membangunkanku.             “Shei.. ini masih terlalu pagi loh …”Gumamku. Sheila menepuk pantatku.             “Gak! Ini gak terlalu pagi! Bangun cepetan, mandi!” Sheila menarik tanganku paksa. Aku yang masih mengantuk akhirnya kembali menubrukkan badanku ke kasur. Sheila geleng- geleng kepala melihatku.             “Althea ayok bangun iih …” Sheila kembali mengguncang- guncangkan badanku. Karena merasa sangat terganggu, akhirnya aku memilih untuk duduk di kasur dengan mata yang masih setengah terpejam.             “Bangun bangun, buruan mandi …” Sheila menarik tanganku.             “Masih ngantuk Shei …”gumamku pelan.             “Nanti kalo kena air seger lagi kok ..”ujar Sheila. Dia masih getol menarik tanganku. “Atau gak cuci muka dulu deh Teh ..”pinta Sheila.             “Ngantuk Shei, entar lagi aja ya,”balasku melas.             “Yaudah aku siramin aja tuh ya air ke kamu. Seember!” Sheila mengancamku. Aku menepis tangan Sheila. Aku menguap lebar dan dengan malas aku turun dari tempat tidur.                       “Iya iya, rese banget deh ..”gumamku. Aku menggaruk- garuk kepalaku yang tak gatal. Aku jalan ke kamar mandi dengan malasnya.             “Nah gitu dong, daritadi kek!”Ujar Sheila. Aku menguap lebar begitu tiba di kamar mandi. Kuambil sikat gigi dan menuangkan odol ke atasnya. Aku menyikat gigiku dengan mata yang masih setengah terpejam. Setelah merasa bersih, aku berkumur dengan obat kumur dan mencuci mukaku. Aku menatap wajahku di cermin. Hem, lumayan segar juga. Kantuk juga sudah hilang. Aku keluar dari kamar mandi sambil mengelap wajahku dengan handuk. Aku melirik Sheila yang tengah duduk di depan meja rias dan mengeluarkan pouch dari tasnya. Ia mengeluarkan satu persatu isi dalam pouch.             “Ngapain Shei?”Tanyaku penasaran. Banyak amat printilan yang di bawah Sheila.             “Oh, aku mau pakai skincare,”jawab Sheila. Aku mengambil salah satu botol yang Sheila keluarkan. Botol micellar water. Apa itu micellar water? Aku tidak tahu. Aku tidak pernah pakai skincare yang sebegitunya. Palingan hanya sabun muka, sunscreen, dan body lotion.             “Banyak amat Shei,”gumamku. Aku mengambil satu persatu botol yang ada. Toner, micellar water, serum … banyak deh. Sheila memakai bando kain dan mengambil kapas. Ia menuangkan botol pertama ke atas kapas, lalu mengusap kapas itu ke wajahnya. Ia mengulangi hal itu berkali- kali dengan botol yang berbeda. Aku yang melihatnya hanya bisa mangut- mangut.             “Kamu mau aku coba pakein skincare?”Ajak Sheila.             “Emang boleh?”Tanyaku ragu.             “Ih, ya bolehlah. Sini sini ..” Sheila menepuk kursi di depannya. “Duduk sini, biar aku ajarin pakenya gimana,”ujar Sheila. Aku duduk di sana. Sheila memakaikanku bando dan mengambil kapas baru dari pouch.             “Kamu tadi cuci muka kan? Pakai sabun cuci muka gak?”Tanya Sheila. Aku mengangguk.             “Oke. Itu udah bagus. Sekarang kita pakai toner.” Sheila menuangkan isi dalam sebuah botol ke kapas, lalu memberikannya padaku. “Ini kamu usap usap aja, tapi pelan- pelan ya. Itu di tarik dari pipi terus muter ke seluruh muka deh,” Sheila mencontohkannya. Aku mengangguk dan melakukan sesuai dengan contoh.             “Nah, bagus. Sekarang pakai essence.” Sheila mengambil sebuah botol dengan pipet tetes sebagai penutupnya. Ia meneteskan beberapa tetes ke pipiku. “Tuh usap- usap lagi kayak tadi,”perintah Sheila. Aku mengusapnya seperti tadi.             “Kulitmu itu harus di rawat loh Teh. Apalagi kamu kan sering pakai make up ya, harus di rawat bener biar ga rusak karena make up,”ujar Sheila. “Tunggu kering dulu deh, baru pake step selanjutnya,”lanjut Sheila. “Kamu kipas aja deh pakek tangan, biar agak cepet menyerapnya.”             Aku mengibas-ibaskan tanganku ke arah wajah. Wajahku merasa aneh, seperti ada yang lengket begitu deh rasanya.             “Agak repot juga ya prosesnya Shei,”gumamku.             “Ya begitulah. Tapi gimana ya, namanya juga perawatan. Biar nanti sampai tua tetep mulus,”jawab Sheila.             “Jadi ini rahasia kulit mulus Sheila Anderia,”gumamku.             “Iya, rahasia kulit mulus biar nanti suamiku gak kabur nyari bini baru,”tutur Sheila. Aku tertawa kecil.             “Siapa yang bilang gitu?”Tanyaku. Haduh, statement macam apa itu?             “Bunda,”jawab Sheila. “Katanya gitu, makanya bunda udah suruh aku pakek skincare dari sekarang. Biar betah nanti pasangan aku katanya,”lanjut Sheila.             “Bunda kamu mah, ada aja. Lulus sekolah aja belum kita, udah pikirin suami aja!”celotehku.             “Entah tuh si bunda.” Sheila memakai lip blam. “Takut bener anak gadisnya gak laku kali ya,”gumam Sheila.             “Ada aja ih bunda, padahal mah jodoh itu ada aja gak sih?”Tanyaku. Kata orang sih begitu, jodoh mah ada. Setiap orang ada jodohnya masing- masing. Tinggal tunggu waktu saja mempertemukan.             “Menurutku sih begitu,”jawab Sheila. “Semoga jodohku ganteng, tinggi, dan mapan! Jadi bisa hidup foya- foya,”celetuk Sheila.             “Dih dasar! Tapi aku juga mau sih yang kayak begitu, kalau memang ada. Dan ya … kalau mau juga sih …”Ujarku.             “Apa itu bahas jodoh- jodoh?”Tanya seseorang di belakangku. Kami menoleh dan tersentak kaget saat melihat mama ada di kamarku.             “Ih mama! Bikin kaget aja!”Gumamku.             “Teh kalau ada Sheila jadi cepet ya bangunnya,”ujar mama. “Sering- sering aja nginap di sini Shei. Kan jadinya Teh gak bakal telat,”lanjut mama melirik Shei.             “Ih mama ini apa sih! Mama ngapain ke kamarku?”Tanyaku agak ketus.             “Ih kok kamu gitu sih sama mama? Kan ini bagus toh maksudnya! Ini mama ke kamarmu mau bangunin kalian tadinya, eh ternyata udah bangun,”jawab mama. Mama membuka pintu kamar. “Udah ya, kalau udah siap kalian turun terus ya. Mama udah siapin sarapan,”pinta mama. Mama pun pergi keluar kamar.             “Yuklah, cepet kita siap- siap. Udah jam 6 juga nih,”pinta Sheila. ***             Ini rekor paling cepat aku tiba di sekolah, sepertinya sepanjang aku menjadi siswa di sekolah ini. Ini masih jam setengah 8, tapi aku sudah tiba di sekolah. Fyi, sekolahku baru mulai belajar di jam 8 pagi.             “Duh kan, kita jadi telat nih!”Gerutu Sheila. Aku mengernyitkan alis bingung melihat Sheila. Apa katanya? Telat?             “Ini telat? Are u serious Shei? Kita tuh sampek setengah jam lebih cepat!”Tanyaku.             “Ya bagiku ini telat Shei. Biasanya aku sampai tuh sejam lebih cepat!”Jawab Sheila. Aku melongo dan geleng- geleng kepala. Memang agak ajaib sahabatnya yang satu ini.             “Kamu datang jam segitu, sekolah udah buka? Kamu ngapain aja jadinya? Sepi banget gilak jam segitu, gak takut apa,”Tanyaku bertubi- tubi. Jam segini aja sekolah masih tampak sepi, konon lagi jam 7 pagi?             “Udah, baru aja buka sih. Biasanya aku kalau ga buka tablet, ya tidur lagi sih,”jawab Sheila. “Ya karena aku biasanya pergi di antar bunda kali ya. Bunda kan pergi kantor pagi banget,”lanjut Sheila. Oke ini masuk akal.               Kami tiba di kelas. Kelas tampak sepi, hanya ada beberapa anak di dalam kelas. Kami pergi ke bangku yang ada di belakang. Kara sudah tiba lebih dulu. Ia menundukkan wajahnya ke meja. Tampaknya dia sedang tidur. Aku menggebrak meja Kara. Kara tersentak kaget dan langsung terbangun dari tidurnya.             “Hah? Eh? Apa nih? Ada gempa?!”Tanya Kara linglung. Aku tertawa kecil. Kara akhirnya sadar dan menatapku kesal.             “Ulahmu ternyata,”gumamnya. “Masih pagi udah rese aja sih lu,”lanjutnya. Kara kembali menundukkan kepalanya di atas meja. Aku hendak menggebrak lagi mejanya, tapi Kara keburu mengangkat wajahnya.             “Ah iya, ayahmu pak Dion kan ya?”Tanya Kara.             “Ada apa kamu nanya ayahku?”Tanyaku balik dengan ketus. “Mau bahas orang dalam lagi?”             “Kerja di perusahaan Hello Tech?”Tanyanya lagi. Aku mengangguk.             “Kenapa sih?”Tanyaku risih. Ada apa sih dia nanya soal papa? Kara mangut- mangut.             “Hem .. agaknya benar ..”gumam Kara. Aku mengernyitkan alis.             “Benar apanya?”Tanyaku penasaran.             “Hei, kamu berapa bersaudara?”Tanya Kara. Hah? Pertanyaan apa itu?             “Anak tunggal,”jawabku acuh. Kara kembali mangut- mangut.             “Hem, begitu rupanya. Ternyata ayahmu begitu ya …”Gumam Kara.             “Apa sih? Memangnya papaku kenapa? Papaku jelek banget ya di matamu?!”Tanyaku ketus. Ini anak kenapa sih bahas papa daritadi? Gak jelas banget!             “Ah, aku cuma mau kasih tau sesuatu, kalau ada yang papamu sembunyikan. Darimu, ah mungkin dari keluargamu juga,”jawab Kara.             Hah? Apa? ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD