Bagian 6

1618 Words
Seperti yang sudah ditentukan oleh Aaron sebelumnya. Gabriella mendatangi restoran Marieta demi agar ia bisa makan siang bersama pria dingin tersebut. Meski sebenarnya Gabriella lebih suka jika Aaron datang ke kafenya sekaligus supaya mereka bisa lebih leluasa bercengkerama di dalam ruangan Gabriella, tapi di kesempatan ini mau tak mau wanita itu harus menuruti apa yang ingin Aaron lakukan. Sekalipun Gabriella harus datang seorang diri ke restoran yang lokasinya lumayan jauh dari kafenya, tapi demi Aaron, hal itu pun ia lakukan asalkan siang ini dirinya bisa bertemu Aaron dan melepas rasa rindunya yang sudah sejak dua hari lalu tidak bisa ia luapkan. Dan kini, Gabriela sedang sibuk mengamati gerak-gerik Aaron yang tengah fokus menyantap menu makan siangnya. "Kau tidak makan?" tegur Aaron meski tak melihat secara langsung pada Gabriella. Dalam sekejap, pertanyaan yang Aaron lontarkan pun seketika membuat Gabriella terkesiap kaget dan sedikit merasa salah tingkah. Ia yang semula hanya duduk menopang dagu sambil memandangi wajah serius Aaron ketika sedang menguyah makanan pun secepat kilat langsung menyambar sedotan putih yang mencelup ke dalam minumannya seraya lekas ia seruput. "Eng, sebenarnya aku tidak begitu lapar, Aaron...." cicit wanita itu menggigit bibir bawahnya. Sementara itu, Aaron yang sudah mendengar jawaban Gabriella atas pertanyaan yang sebelumnya ia lontarkan pun tiba-tiba menghentikan kegiatannya sejenak hanya untuk mengarahkan tatapan datarnya pada si wanita. Gabriella bahkan terlihat meringis saat ia ditatap seperti itu oleh si pria. Akan tetapi, saat Gabriella berpikir bahwa Aaron akan sedikit mengomelinya atau bahkan setidaknya membujuk ia untuk makan walau hanya menghabiskan setengah dari makanan yang sudah Gabriella pesan, justru yang terjadi malah berbanding jauh dari prediksinya. Alih-alih melakukan salah satu dari yang Gabriella pikir, Aaron malah hanya menanggapi hal itu dengan gedikan bahu tak acuhnya dan ujung-ujungnya ia kembali melanjutkan kegiatan menyantap makanannya tanpa sedikit pun ia melontarkan perkataannya. Menyadari akan ketidakacuhan yang Aaron tunjukkan, tentu saja membuat Gabriella kembali kesal. Tapi apa yang bisa ia perbuat? Bahkan jika seandainya dia merajuk atau memperlihatkan sikap yang ingin dibujuk Aaron sekalipun, rasa-rasanya Gabriella tidak akan mendapatkannya. Dia tahu betul tipe pria seperti apa Aaron. Tidak mudah bagi Aaron untuk melunturkan sikap kaku dan dingin yang sudah melekat di dalam dirinya. Alhasil, dibanding mengeluarkan sebuah protes lagi yang bahkan tidak akan Aaron gubris sama sekali, pada akhirnya Gabriella pun meraih garpu yang sedari tadi belum sempat ia sentuh dan menggunakannya untuk melilitkan benda itu pada lasagna yang dipesannya. Sementara itu, Aaron tetap setia dengan sikap dinginnya. Hanya saja, kali ini dirinya tampak tersenyum puas di dalam hati ketika melihat teman wanitanya itu yang ujung-ujungnya menyantap pesanannya juga meski tanpa adanya bujukan atau sejenis kalimat sindiran lagi yang diutarakan oleh Aaron seperti yang diinginkan wanita itu. Lagipula, Aaron bukan tipikal manusia yang suka membujuk siapa saja yang memang enggan untuk melakukan apapun yang ia tidak mau. Bagi Aaron, jika orang itu sudah memutuskan untuk tidak melakukan sesuatu maka mungkin itu sudah menjadi keputusannya sendiri. Maka, tidak ada gunanya lagi untuk dirayu apalagi didesak oleh dirinya. Kecuali jika orang itu memang sengaja ingin memancing bujukan Aaron, maka mungkin seharusnya dia sudah bisa menangkap perlakuan Aaron sejak pertama kali ia mengenalnya. Aaron adalah jenis manusia simpel. Jika iya katakan iya, dan jika tidak maka Aaron tidak akan pernah mengubah keputusannya lagi walau sudah dipaksa ribuan kali sekalipun. *** Setelah menghabiskan waktu sebanyak kurang lebih satu jam lamanya, kini Aaron pun sudah bersiap untuk meninggalkan restoran Marieta dan bertekad kembali ke kantornya guna melanjutkan lagi pekerjaannya yang sempat tertunda. Hanya saja, ia harus menunggu dulu Gabriella kembali ke meja demi untuk berpamitan pulang pada teman wanitanya tersebut. Meskipun sebenarnya Aaron bisa saja langsung pergi meninggalkan Gabriella yang entah sedang apa di toilet sana, tapi Aaron bukan manusia yang menjunjung tinggi sikap tak sopan layaknya itu. Sedingin-dinginnya sikap Aaron, ia tetap harus mengutamakan sopan santunnya dan menerapkannya di kehidupannya sehari-hari. Dengan begitu, Aaron bisa menjudge dirinya sendiri seandainya ada sikap dan perilaku tak sopan yang ia dapat dari pihak lainnya. Mungkin, bisa jadi ia akan merasa tidak enak seperti itu ketika misalkan ia berlaku tak sopan pada orang lain. "Aaron, maafkan aku jika sudah membuatmu menunggu lama. Tadi, aku sempat menerima telepon terlebih dahulu ketika sedang di dalam toilet. Maka, aku pun sedikit lebih lama berada di dalam toilet hanya untuk merespon panggilan yang masuk ke ponselku," tutur Gabriella yang akhirnya muncul juga setelah sedari tadi Aaron menantikan kedatangannya. Pria itu mengangguk. Lalu segera bangkit berdiri tak lama kemudian. "Tidak apa. Berhubung sekarang kau sudah kembali, maka sudah saatnya untuk aku pamit kepadamu. Aku harus segera kembali ke kantor, jika tidak ... Maka nanti malam aku akan melembur. Dan itu adalah sesuatu yang harus aku hindari. Jadi, Gabe ... Sudah waktunya untuk kita berpisah di sini," tukas Aaron mengemukakan niatannya. Secara tidak langsung, hal itu pun membuat Gabriella merasa sedih sekaligus kecewa karena ternyata, Aaron sama sekali tidak ingin repot mampir terlebih dahulu ke kafenya. "Aaron, tidak bisakah kau mampir dulu ke kafe?" tanya Gabriella mencetuskan kalimat yang semula hanya bercokol di kepalanya. Menatap datar, Aaron pun menyahut, "Tidak untuk saat ini, Gabe. Aku sedang banyak pekerjaan. Kuharap, kau mengerti dengan penolakanku ini!" Otomatis, Gabriella pun melenguh kecewa dan lagi-lagi merasa kesal karena Aaron sama sekali tidak bisa mengutamakan dirinya yang sudah berinisiatif mengundangnya untuk mampir. Seandainya Gabriella memiliki wewenang untuk sekali ini saja memaksa Aaron, maka mungkin dia akan melakukannya tanpa pikir panjang. Sangat disayangkan, Gabriella bahkan tidak memiliki hak untuk sekadar memprotes pada pria itu. Yang ada, Aaron pasti akan tetap mengabaikannya jika Gabriella nekat ingin memprotes padanya. Seakan sudah tidak ada lagi kepentingan bagi Aaron, dengan sigap pria itu pun bergegas melangkahkan kaki meninggalkan restoran. Bahkan, ia tidak sedikit pun mengajak Gabriella untuk turut mampir saja ke kantornya. Membuat wanita itu semakin sebal dan rasanya ingin sekali ia berteriak bahwa Aaron adalah pria dingin yang sangat tidak peka. Tapi Gabriella bisa apa? Jikapun ia bersikeras melakukan hal itu, paling yang ada Aaron merasa jijik pada sikap kekanakannya. Ujung-ujungnya nanti, mungkin Aaron akan memilih untuk memutuskan ikatan pertemanannya dan menyuruh Gabriella untuk menjauhinya dalam jangka waktu yang tak dapat ditentukan. Lalu, di tengah Aaron yang sedang berjalan menuju ke arah mobilnya setelah meninggalkan Gabriella yang justru baru saja ke luar melewati pintu restoran, tahu-tahu sebuah motor Benelli Tornado berikut pengemudi yang tak asing di penglihatan Aaron kala tak sengaja mendapatinya melintas tepat ke hadapannya. Sejenak, membuat dahi Aaron mengernyit apalagi saat menemukan sosok yang dikenalinya itu tengah bersama seorang perempuan yang kini duduk sedikit condong di jok belakang motor tersebut. *** Pricilla melompat turun dari jok motor yang sedari tadi ditempatinya. Selagi menunggu Maxime melepas helmnya, gadis itu pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Untuk sesaat, ia pun merasa sungkan ketika tahu bahwa lelaki itu mengajaknya ke sebuah restoran mewah yang baru kali ini didatanginya. "Ayo!" ajak Maxime setelah ia sudah selesai memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal di sekitar motor kesayangannya itu. "Sebentar, Max!" seru Pricilla menyentuh pergelangan tangan si lelaki guna menghentikan langkahnya yang sudah siap mengayun. Sontak, Maxime pun menoleh dan menatap gadis itu dengan pandangan anehnya. "Ada apa?" tanya lelaki itu menaikkan sebelah alis. "Kenapa kau membawaku ke sini?" lontar Pricilla mengusap tengkuk. Seketika, Maxime pun menepuk dahinya selepas mendengar pertanyaan yang baru saja gadis itu lontarkan padanya. "Astaga! Tentu saja untuk makan, Pricilla. Kau tahu betul ini areal restoran bukan? Memangnya, untuk apa lagi aku mengajakmu kemari jika bukan untuk makan?" jawab Maxime terkekeh geli di tengah salah satu tangannya yang menyentuh sisi pinggangnya sendiri. Pricilla menelan ludah. "Ma-maksudku, aku tahu ini restoran. Maka untuk itu aku bertanya. Tapi, aku bahkan tidak mempunyai cukup uang untuk membayar satu jenis pun makanan yang dijual di restoran mewah ini. Lantas, bagaimana mungkin aku bisa ikut masuk? Sebaiknya, aku menunggu di sini saja ya, Max. Tidak masalah jika kau ingin makan di sana. Tapi kumohon, jangan libatkan aku untuk ikut makan di sana!" cerocos Pricilla dengan raut wajah yang sedikit pucat. Sementara itu, Maxime malah tertawa terpingkal-pingkal kala mendengar pernyataan lugu nan polos yang kembali ia dengar dari bibir mungil sang gadis yang teramat menggemaskan itu. Sontak, Pricilla pun hanya mampu mengerjap aneh di sela bibir bawahnya yang sedang ia gigiti saat ini. "Ya ampun, Pricilla. Kau ini memang sangat menggemaskan! Kenapa kau begitu lugu sekali? Apakah kau berpikir bahwa aku akan membiarkan gadis secantik dan sepolos dirimu untuk membayar makanan yang kau pesan nanti?" tukas Maxime setelah tawanya mereda. Pricilla tidak menjawab. Tapi tentu saja hal itulah yang sedang Pricilla takutkan. Tidak lucu bukan seandainya Pricilla ditagih untuk membayar makanan yang ia pesan nanti. Jangankan punya uang untuk membayar makanan mahal tersebut, bahkan saat ini pun Pricilla tidak mengantongi uang sepeser pun setelah ayahnya sempat merampas seluruh uang simpanannya di malam yang lalu. Maxime tampak menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. Lalu tanpa diduga, ia pun mengulurkan tangannya ke bagian puncak kepala sang gadis yang kemudian ditepuk-tepuknya pelan. Seketika, Pricilla tampak tercenung mendapati perlakuan semanis itu. Sungguh, selama di sepanjang riwayat kehidupannya, Pricilla tidak pernah sama sekali mendapat perlakuan manis dari lawan jenisnya. Mengingat ia pun tidak pernah mengalami fase pacaran seperti perempuan seusianya pada umumnya, maka tidak heran seandainya sekarang jantungnya berdebar begitu kencang pasca Maxime menepuk-nepuk kepalanya penuh kelembutan seperti yang sudah dilakukannya sesaat lalu. "Jangan khawatir. Aku bukan tipikal lelaki kurang ajar yang akan membiarkanmu membayar makananmu sendiri. Sudahlah, ayo kita segera masuk! Sepertinya, para cacing di dalam perutku sudah meminta jatahnya yang sedikit terlewati dari waktu biasanya aku makan siang!" tutur Maxime nyengir lebar. Kemudian, ia pun meraih tangan gadis itu demi mengajaknya untuk segera bergegas menuju ke pintu masuk restoran sana. Akan tetapi, belum sempat Maxime dan Pricilla benar-benar meninggalkan areal parkir, tiba-tiba saja, sebuah suara berat berseru lantang menyebutkan nama si lelaki yang seketika menghentikan pergerakannya sekaligus mengarahkan perhatiannya ke sumber suara yang saat ini tengah mendekat ke arahnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD