Bagian 2

1662 Words
Pria itu menatap jalanan raya yang sedang cukup dipadati oleh kendaran yang berlalu lalang dari balik kaca jendela besar yang menampilkan dengan sangat jelas bagaimana keadaan di bawah sana. Patut diakui bahwa teman wanitanya itu sangat pandai memilih lokasi strategis untuk mengelola usaha kulinernya di pusat kota yang begitu ramai dilalui banyak kendaraan. Buktinya, sejak kafe ini didirikan sekitar 3 tahun lalu bahkan hingga sekarang, pengunjung yang berdatangan selalu saja banyak dan seolah mereka tidak pernah bosan untuk mengeluarkan sebagian uangnya demi agar bisa mendapatkan sajian makanan yang dihidangkan oleh sejumlah koki ternama yang dipekerjakan khusus oleh Gabriella. Menyadari akan kepiawaian si wanita dalam mengurus bisnis kuliner di usianya yang masih terbilang muda, pria ini pun memuji kerja keras sang wanita walau tak secara langsung ia sampaikan. "Kau sedang melihat apa, hem?" Tiba-tiba pria itu mendengar suara sang wanita melontarkan tanyanya bersamaan dengan kedua tangan wanita itu yang kini melingkar di perut kotak-kotaknya. Spontan, si pria pun terkesiap kaget. Namun meski begitu, ia masih tetap berdiri pada posisinya seolah dirinya tidak merasa keberatan ketika wanita yang kini sedang memeluknya dari belakang pun tengah menempelkan sisi wajahnya ke punggung sang pria. "Aku merindukan hal seperti ini, Aaron...." ucap wanita itu yang tak lain adalah Gabriella. Teman wanita yang semula si pria bicarakan dari dalam benak dan pikirannya. "Apa kau merindukan hal ini juga?" lanjut Gabriella semakin mengeratkan pelukannya. Sontak, tanpa diduga pria bernama Aaron itu pun menarik lengan sang wanita hingga kini tubuhnya terempas secara spontan ke permukaan kaca jendela. "Aw," pekik wanita itu terkejut. Tapi, dia malah menyunggingkan senyumnya dibanding mengomeli pria yang kini sedang menatapnya intens tersebut. "Rupanya kau masih sama seperti terakhir kali kita bertemu, Tuan Benedict. Kau masih suka bermain kasar, hem?" cetus Gabriella memasang senyuman sensualnya. "Kau ingin mencobanya?" lontar pria itu dengan aksen datar yang sudah menjadi ciri khasnya tatkala berbicara. Sebelah tangannya ia tumpukan ke jendela tepat di sisi kepala kiri Gabriella. Lantas, Gabriella pun tertawa untuk sesaat. Namun sejurus kemudian, wanita bergincu merah menyala itu pun lantas mengalungkan kedua tangannya di leher sang pria. "Jika kau mau, maka bagaimana bisa aku menolakmu...." tukas Gabriella mendengkus pelan. Selanjutnya, wanita itu pun menyerang Aaron lebih dulu dengan mencium rakus bibir seksi nan menggoda tersebut. Dalam sekejap, Aaron pun merasa bahwa Gabriella telah mengundangnya untuk melakukan hal yang lebih. Maka, seperti seekor kucing yang disuguhi ikan segar, Aaron pun dengan gesit menelusupkan kedua tangannya ke dalam blouse belakang Gabriella. Tanpa banyak berpikir, dia pun melepas kaitan bra wanita itu di tengah bibirnya yang kian gencar saling memagut penuh gairah. "Ahh." Gabriella mendesah ketika sebelah tangan Aaron merayap ke bagian dadanya dan meremas salah satu gundukan kenyal yang menggelantung di sana. Sungguh, Gabriella sangat menantikan momen seperti ini. Setelah sekian lama ia tak berjumpa dengan teman prianya karena Aaron memiliki kesibukan di luar kota selama bertahun-tahun lamanya, maka sekarang adalah momen yang pas bagi Gabriella untuk melampiaskan kerinduannya pada pria tersebut. Menyudahi pagutannya di bibir sang wanita, kini bibir Aaron pun turun merambat ke batang leher Gabriella yang spontan menengadah seolah ia memberikan akses bebas agar pria itu bisa dengan leluasa mencumbu bagian lehernya. Selain itu, Aaron pun mulai memindahkan permainan tangannya yang semula di d**a wanita kini ikut turun juga merayapi paha mulusnya. Sejurus kemudian, tangan itu pun menelusup masuk ke balik rok sang wanita guna menyentuh bagian terintim yang rupanya sudah sedikit basah meski belum disentuh secara intens oleh Aaron pribadi. "Aaroon...." lenguh Gabriella menyebut nama sang pria. Tungkai kakinya mendadak lemas ketika tangan ahli itu mengocok lubang senggama miliknya yang sudah begitu siap untuk dimasuki. Sampai ketika, Aaron sudah puas dengan pemanasannya, kini Gabriella pun kembali diempaskan ke arah jendela dengan posisi memunggunginya. Lalu, seusai roknya disingkapkan ke atas berikut celana dalamnya yang sudah diturunkan, dalam satu sentakkan Aaron pun memasukkan batang perkasanya ke dalam lubang sang wanita melalui jalan belakang. "Och," pekik Gabriella memejamkan mata. Kemudian, Aaron pun mulai memompa milik wanita itu sembari memainkan daging kecil di belahan kewanitaan Gabriella hingga membuat wanita itu meracau tak keruan di tengah aksi Aaron yang terus menggenjotnya. Hingga tak lama dari itu, Aaron pun sudah nyaris mencapai klimaks. Namun tampaknya Gabriella belum ada tanda-tanda untuk melelehkan cairan miliknya sendiri. Lantas, seakan tidak peduli apakah Gabriella sudah siap menuju pelepasannya atau bahkan masih begitu jauh, Aaron tidak ingin memikirkan hal itu. Terpenting, Aaron bisa menyemburkan cairan putih kentalnya di dalam sang wanita sesuai keinginannya sendiri. "Aaron, kau curang!" pekik Gabriella terengah-engah. Dengan raut wajah yang tetap datar, pria itu pun mencabut kejantanannya tanpa sedikit pun menggubris pekikkan teman wanitanya yang kini sudah membalikkan tubuhnya serta menatapnya kesal. "Aku belum mencapai klimaks dan kau justru sudah mengakhirinya tanpa berkonfirmasi terlebih dahulu kepadaku?" celetuk Gabriella tak percaya. "Benahi pakaianmu! Aku tidak bertanggung jawab jika tiba-tiba saja ada yang masuk dan kau masih dalam keadaan seperti itu...." tukas Aaron mengingatkan. Lalu dengan santainya, pria itu pun telah melenggang menuju kamar kecil yang tersedia khusus di ruangan pribadi Gabriella. Tak diacuhkan seperti itu oleh Aaron yang kini sudah memasuki kamar kecil yang terletak di sudut ruangan, Gabriella pun hanya mampu menganga tak menyangka kala Aaron masih memiliki sikap serupa seperti dahulu kala. "Kupikir dia sudah banyak berubah, tapi rupanya masih sama saja perilakunya. Selalu seenaknya, dan tidak pernah mau memedulikan perasaan orang lain yang bahkan selalu mengharapkannya untuk bersikap baik setidaknya walau hanya secuil. Pria tak bernurani. Aku benci pada pria tampan yang berhati dingin itu!" desis Gabriella penuh emosi. Lantas, dengan sigap ia pun segera membenahi pakaiannya meskipun hati masih terasa dongkol. *** Seusai jam makan siang berakhir, Aaron pun berniat untuk kembali ke kantornya setelah sebelumnya melangsungkan makan siang bersama dengan Gabriella pasca persenggamaan kilat yang mereka lakukan di ruangan pribadi sang wanita. Beruntung wanita itu tidak terus membahas perihal pelepasan yang sepihak. Mungkin, dia pun tahu bagaimana sifat Aaron setelah saling mengenal hampir kurang lebih sejak 7 tahun lalu. Bagi Aaron, Gabriella hanyalah wanita yang cocok ia jadikan sebagai temannya saja. Walaupun mereka sudah beberapa kali melakukan hubungan layaknya pasangan kekasih yang begitu intim, tapi hal itu tidak membuat Aaron menumbuhkan tekad untuk menjadikannya sebagai kekasih. Entahlah, tidak ada rasa tertarik di hati pria itu untuk seorang Gabriella. Secara tidak langsung, Aaron menganggap bahwa Gabriella bukanlah wanita yang pantas untuk ia jadikan sebagai pendamping hidupnya. Kemudian, kini pria itu pun tampak berjalan santai menuruni tangga guna menapaki lantai dasar yang tak lama lagi akan dihampirinya. Gabriella sedang mendapat telepon penting, jadi wanita itu tidak bisa mengantarkan Aaron hingga ke lobi kafe. Namun, tidak masalah bagi Aaron. Toh dia pun sudah tahu jalannya sendiri. Akan tetapi, di tengah ia yang sedang mengayunkan langkah menjejaki setiap undakan tangga yang tersedia, tiba-tiba dari arah bawah pun seorang gadis bersetelan khas pelayan kafe tampak berjalan naik dengan pandangannya yang hanya tertuju fokus pada beberapa lembar kertas yang sedang dipegangnya. Alhasil, gara-gara itu juga, ia pun kini kembali menabrak tubuh tinggi nan tegap milik Aaron yang kebetulan hendak turun. Sedikit saja Aaron terlambat menarik lengan gadis itu, mungkin sudah bisa dipastikan jika kini tubuh gadis itu akan menggelinding terjatuh ke lantai dasar sana. Namun berkat kegesitan sang pria, kini tubuh gadis itu pun telah merapat dengan sempurna ke bagian tubuh depan si pria yang sekarang sedang menatapnya tanpa ekspresi. Selang beberapa detik, gadis yang tak lain adalah Pricilla pun kini tampak mendongak sekaligus beradu pandang dengan sepasang iris kelabu yang dimiliki oleh pria bernama lengkap Aaron Benedict tersebut. "Tu-Tuan, bukankah kau pria yang tadi--" "Ya. Dan lagi-lagi kau menabrakku seperti kejadian di ruang utama kafe tadi," sela Aaron di tengah tatapan tajamnya. Bersamaan dengan itu, Aaron pun melepaskan pegangan tangannya di lengan sang gadis yang kini sedang tertunduk malu sembari menggaruk-garuk belakang telinganya. "Ma-maaf, Tuan. Sa-saya--" "Lain kali, fokuskan pandanganmu ke depan ketika berjalan!" titah pria itu mendengkus. Lantas, seakan tidak ingin repot-repot untuk memberikan kesempatan pada sang gadis membalas perkataannya barusan, secepat kilat Aaron pun segera melenggang seusai sempat mengibaskan terlebih dahulu jas abu-abu yang dikenakannya saat ini. Tanpa sedikit pun berniat untuk kembali melirikkan pandangannya ke belakang, Aaron terus berjalan lurus menuju ke arah pintu ke luar sembari merogoh kunci mobil yang ia simpan di dalam saku celana khaki berwarna hitamnya. *** Tidak perlu membutuhkan waktu lama untuk Aaron tiba di basemen gedung perusahaan milik keluarganya. Setelah memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal, kini pria itu pun mulai beranjak turun dari dalam Chevrolet Camaro Prices-nya. Kemudian, ia pun mengayunkan langkahnya setelah menekan tombol kunci otomatis yang tersedia di kunci mobilnya. Seusai meyakinkan diri bahwa tidak ada yang perlu ia lakukan lagi di dalam mobilnya, Aaron pun sigap melenggang menuju lift khusus yang tersedia di basemen guna mengantarkannya langsung ke lantai di mana kantor pribadinya berada. Namun di tengah ia yang baru memasuki lift, tiba-tiba saja ponselnya pun berdering. Sontak, si pemilik benda berbunyi tersebut pun segera merogoh lagi ponselnya yang semula sudah ia semayamkan di dalam saku celananya. Saat ponsel sudah berada di genggaman, Aaron pun menemukan nama Frankie yang tak lain adalah asisten pribadinya di kantor. "Ya." Aaron segera menyahut setelah ia menekan tanda hijau di layar dan menempelkannya ke telinga. "Tuan, kau di mana?" tanya Frankie langsung pada inti. "Aku sedang di dalam lift. Sebentar lagi aku sampai di lantai 30. Ada apa?" balas pria itu refleks menaikkan sebelah alisnya. "Sudah dari 5 menit yang lalu, Tuan Osvaldo menunggu Tuan Aaron di dalam ruangan. Apakah saya perlu memberitahukannya bahwa tak lama lagi Tuan Aaron tiba?" ujar Frankie menginformasikan. Bersamaan dengan itu, pintu lift khusus para petinggi yang dihuni oleh Aaron pun terbuka. "Tidak usah. Aku akan segera sampai sekarang...." sahut Aaron kemudian. Lantas, setelah Frankie memahami perkataan atasannya itu, tak lama kemudian percakapan pun telah Aaron akhiri secara sepihak. Hingga tak lama dari itu, kini Aaron pun telah tiba di dekat meja Frankie yang terlihat sedang sedikit sibuk mengetikkan sesuatu di komputernya. "Ada kepentingan apa ayahku datang mencariku?" tegur Aaron seketika yang sukses membuat Frankie terkesiap kala mendapati bosnya sudah berada di dekatnya saja. "Eh, Tuan." Frankie bergumam, "Saya pun tidak tahu, Tuan. Tadi Tuan Osvaldo hanya berkata ingin bertemu saja dengan Tuan Aaron. Maka, saya sarankan saja agar menunggu di dalam ruangan...." ujar asistennya itu menjelaskan. Sejenak, Aaron pun mengangguk. "Baiklah. Aku akan temui dia sekarang," ucap pria itu. Lantas, kini Aaron pun benar-benar melangkah menuju ruangannya yang berpintu kaca tebal nan sedikit buram tersebut. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD