Bagian 1

1635 Words
Pricilla berjalan terburu-buru. Hari ini, dia mempunyai jadwal masuk kerja shift pagi. Tapi justru, gadis itu malah baru berangkat saat seharusnya ia sudah berada di tempat kerja dan memulai aktivitasnya. Pricilla terlambat bangun. Sialnya, tidak ada yang membangunkannya juga hingga akhirnya sekarang ia harus berlari tergopoh-gopoh demi mengejar waktu. Sungguh, rasanya Pricilla seperti sedang dikejar oleh raksasa yang siap menerkam. Dia bahkan seolah tidak merasa lelah dalam pelariannya. "Ya Tuhan, tolong aku. Setidaknya, lindungi aku dari amukan atasanku di tempat kerja ketika ia tahu aku terlambat datang. Kumohon ... aku bahkan tidak sanggup jika seandainya aku dipecat gara-gara hal ini. Aku belum menemukan pekerjaan lain sebagai penggantinya. Jadi, aku meminta dengan sangat agar engkau selalu memberiku kekuatan dan perlindungan di setiap jalan yang kulalui." Gadis itu merapalkan doa di tengah langkahnya. Pricilla terlambat bangun karena sepanjang malam ia disuruh membersihkan rumah kosong yang hendak dihuni oleh penyewa baru di dekat rumahnya. Hal itu diperintahkan oleh ayahnya sendiri. Padahal, ayahnya itu mendapat perintah langsung dari si pemilik rumah agar dirinyalah yang bertugas membersihkan seisi rumah tersebut. Tapi seperti biasa, ayahnya melimpahkan seluruh tugas itu pada Pricilla tanpa mengenal bantahan. Alhasil, sekarang ia pun menjadi terlambat pergi ke tempat kerja. Dalam helaan napas panjangnya, semoga pagi ini Pricilla tidak ditimpa nasib sial yang bisa saja menyulitkan kehidupannya. "Pricilla, kau bercanda?" pekik Paula tatkala mendapati teman kerjanya itu baru datang memasuki pintu utama restoran. "Paula, aku terlambat bangun. Apakah Nona Gabriella sudah datang?" tanya Pricilla di tengah deru napasnya yang tak teratur. Meski jarak tempuh restoran dari rumahnya tidak terlalu jauh bahkan bisa ia lalui dengan cara berjalan kaki, tapi jika sedang terburu-buru seperti itu, Pricilla pun bisa saja merasa kelelahan seusai berlarian di sepanjang jalan yang dilintasinya tadi. Melihat keringat yang menghiasi kening dan didukung oleh penampilan Pricilla yang cukup berantakan, Paula menebak, pasti temannya itu sudah berlari maraton demi agar ia bisa sampai di tempat kerja di waktu yang tepat. Tapi sayang, sekeras apapun usahanya dalam meminimalisir waktu, tetap saja Pricilla mengalami keterlambatan. Menyadari itu, Paula pun hanya bisa mendesah pasrah. "Paula, kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" lontar Pricilla lagi. Sejenak, ia pun menyeka peluh yang menempel setia di dahinya. "Bersyukurlah, Pricilla. Pagi ini, Nona Gabriela tidak datang. Tadi, dia sempat menghubungi Samuel. Dia bilang, dia akan datang menjelang makan siang nanti mengingat ia ada urusan penting yang mendadak. Maka, berterima kasihlah pada Tuhan ... setidaknya, hari ini kau selamat dari amukan bos kita yang arogan," tukas Paula menepuk lengan atas Pricilla dua kali. Spontan, menumbuhkan perasaan lega di hati sang gadis yang kini telah mengucap syukur karena Tuhan sudah mengabulkan permintaan yang ia utarakan selama di perjalanan tadi. "Ya sudah, cepat kau ganti pakaianmu, atau aku akan kerepotan dalam mengawali hari ini jika kau tidak gesit dalam pekerjaanmu!" komando Paula pada temannya itu. Seketika, menerbitkan senyuman lebar di bibir Pricilla yang tanpa diduga beringsut mendekat guna memeluk Paula dengan erat. "Terima kasih, Paula. Kau memang teman kerjaku yang sangat bisa diandalkan," tukas Pricilla sebelum akhirnya bergegas melangkah menuju tempat ganti pakaian khusus para karyawan kecil yang bekerja sebagai pramusaji di restoran tersebut. *** Seperti hari-hari biasanya, restoran akan ramai ketika waktu sudah mendekati jam makan siang. Banyak para pekerja kantoran yang akan datang berkunjung untuk mendapatkan sejumlah makanan sesuai selera masing-masing. Mengingat restoran itu lokasinya lumayan berdekatan dengan sebuah gedung perusahaan tersohor di seantero Newburgh, maka tidak aneh jika restoran tersebut selalu ramai pengunjung di setiap jam makan siang tiba. Seperti halnya yang terjadi saat ini. Pricilla tampak sibuk sekali melayani beberapa pengunjung yang ia datangi. Seolah sudah lihai dalam melakukan pekerjaannya sebagai seorang pelayan, ia pun begitu menikmati aktivitasnya meski terkadang ia dilanda rasa lelah sehabis melayani berbagai pendatang dengan jenis karakter yang berbeda-beda. "Maaf, Nona. Tapi itu bukan pesananku...." ujar seorang pemuda yang duduk di meja nomor 10 menampik. Seketika, Pricilla yang sedang membawa nampan berisi sepiring sandwich berisi ham berikut segelas lemon tea pun mengerjap bingung. Pasalnya, ia yakin sekali kalau penghuni meja nomor 10 tadi sempat memesan satu paket menu tersebut kepada Pricilla. "Loh, tapi tadi--" "Nona, itu pesananku!" seru sebuah suara cukup lantang. Sontak, membuat Pricilla menoleh pada sumber suara yang kini ia lihat sedang melambaikan sebelah tangannya guna mengomando sang pelayan datang mendekat. "Oh, maaf. Sepertinya, saya memang salah orang...." ujar Pricilla setengah membungkukkan badan di hadapan si penghuni meja nomor 10 tersebut. Lantas, setelah ia menemukan pemesan asli yang ternyata pindah ke meja lain, Pricilla pun bergegas guna mendatangi si pemesan yang kini duduk di meja nomor 13. "Jadi, ini pesananmu, Tuan...." ujar gadis itu seraya menghidangkan menu yang dibawanya tepat ke atas meja. "Maaf karena sudah membingungkanmu, Nona. Tadi, aku sempat ke toilet ... lalu sekembalinya dari sana, kulihat mejaku malah sudah diisi orang lain. Ingin menegur pun rasanya tidak enak, maka ... lebih baik aku memilih meja lain saja untuk kutempati," tukas lelaki berkumis tipis itu menerangkan. Pricilla tersenyum ramah. Sebenarnya tidak masalah seandainya lelaki itu pindah tempat. Lagipula, bukan salah dirinya juga sampai harus berpindah-pindah tempat layaknya begitu. "Baiklah. Selamat menikmati sajian kami...." ucap Pricilla pada akhirnya. Mengangguk, lelaki itu pun menjawab, "Terima kasih, Nona. Aku senang dengan pelayananmu yang ramah," tukasnya balas tersenyum. Kemudian, seolah tidak ada lagi urusan yang perlu dikerjakan di sana, Pricilla pun undur diri. Tampaknya masih ada beberapa pelanggan yang harus dilayaninya selagi pramusaji lainnya sedang sibuk mengurus pekerjaannya masing-masing. Tatkala Pricilla hendak berbalik badan, tanpa diduga, seseorang dari arah berlawanan muncul secara tiba-tiba. Mengakibatkan dirinya bertabrakan dengan orang tersebut yang seketika membuat Pricilla terkejut hingga nyaris terjengkang. Akan tetapi, dengan sigap si penabrak pun segera melingkarkan sebelah tangannya di pinggang sang gadis. Menyebabkan Pricilla tak jadi terjatuh karena kini pinggangnya sudah disangga secara sempurna oleh tangan kekar milik si penabrak tersebut. Untuk sesaat, Pricilla tercenung dalam keterkejutannya. Pandangannya memusat lurus ke arah wajah si penyangga pinggang yang parasnya begitu memukau mata. Tanpa berkedip, Pricilla pun terpana. Bahkan, mulutnya sampai terbuka setengahnya saking ia merasa terpukaunya pada si pria yang kini masih menyangga pinggangnya. "Apa yang sedang kau lakukan?" Tak lama kemudian, sebuah suara melengking pun menyeru lantang. Sontak, membuat Pricilla dan si pria tersebut menoleh secara serempak ke pusat suara yang berseru barusan. "Nona Gabriela," gumam Pricilla spontan. Menyadari atasannya yang sudah datang untuk mengawasi restoran seperti biasa, Pricilla pun sigap menegakkan kembali posisi tubuhnya sekaligus melepaskan diri dari lingkaran tangan pria asing di hadapannya. *** Pricilla sedang kebagian giliran beristirahat. Setelah bekerja dengan keras dan gesit selama jam kerjanya berlangsung, akhirnya ia pun bisa mengistirahatkan tubuh lelahnya beberapa saat sebelum waktu jedanya berakhir. Sembari menadahi air yang mengucur dari dalam dispenser ke dalam gelas khusus para karyawan yang tersedia, Pricilla pun tampak mengurut tengkuknya yang terasa sedikit kaku. Kemudian, setelah gelasnya terpenuhi oleh air yang hendak diminumnya, gadis itu pun segera beranjak guna mendudukkan diri di sofa sederhana yang disediakan di ruangan istirahat para karyawan. Ceklek. Bersamaan dengan Pricilla yang baru saja mengempaskan bokongnya ke atas sofa, seseorang pun muncul masuk setelah mendorong pintu hingga terbuka lebar. Sembari meneguk air mineral di gelasnya, Pricilla pun mendapati teman kerjanya yang juga telah memasuki waktu istirahatnya setelah partnernya kembali bekerja. "Hai, Pricilla! Bolehkah aku bergabung?" sapa temannya itu yang bergender pria. Mengangguk, Pricilla pun menyahut. "Tentu saja, Sam. Kemarilah! Setidaknya, mari kita bersama-sama melepas rasa lelah sebelum waktu istirahat kita selesai," ujar gadis itu terkekeh. Lantas, temannya yang bernama Samuel itu pun bergegas melangkah menghampiri Pricilla yang sudah selesai meneguk minumannya. "Kau tidak makan?" tegur Samuel sesampainya ia di dekat sang gadis. Untuk sesaat, Pricilla mendesah pelan. Kemudian, ia pun menyandarkan punggungnya ke kepala sofa sembari mengembuskan napasnya panjang. "Aku tidak sempat membuat bekal untuk makan siang, Sam. Bukankah kau tahu kalau tadi aku terlambat datang. Jangankan ingat untuk membuat bekal, menyisir rambut saja aku lupa...." tukas Pricilla terkikik. Sontak, menyebabkan Samuel ikut terkekeh setelah mendengar celotehan gadis di sebelahnya. Sejurus kemudian, Samuel meraih ranselnya yang berada tak jauh dari sofa. Lalu, ia pun membuka risletingnya guna mengambil sesuatu dari dalam sana. Tak lama kemudian, Samuel menarik sebuah kotak makanan berisi bekal makan siang yang selalu ia bawa dari rumah. Untuk seukuran mereka yang bekerja mencari nafkah demi membantu keuangan keluarganya di rumah, membawa bekal yang dibuat oleh sendiri atau orang rumah yang mendukungnya, merupakan suatu hal lumrah guna mengirit pengeluaran. Pasalnya, seandainya mereka tidak bekal apalagi harus membeli makanan di luar, hal itu tentu saja akan merogoh kocek dari saku pemasukan mereka. Alhasil, alih-alih terkumpul, yang ada uangnya malah berkurang karena sempat dibelikan untuk makan siang guna mengganjal perut mereka sendiri. Lalu kini, Samuel pun membuka penutup kotak makanannya sekaligus menampilkan tiga potong pancake dengan berbagai varian rasa yang sengaja dibuat oleh ibunya tadi pagi. "Ambillah!" titah Samuel sembari menyodorkan kotak makanan tersebut ke arah sang gadis. Melirik, Pricilla pun lantas mengerjap bingung sebab merasa tak mengerti dengan maksud dan tujuan Samuel melakukan hal tersebut. "Maksudmu?" tanya Pricilla mengernyit. Spontan, Samuel pun memutar bola matanya sembari meraih satu pancake rasa blueberry yang kemudian ia serahkan tepat ke tangan Pricilla yang sebelumnya ia raih lebih dulu. "Aku tidak akan membiarkanmu kembali bekerja dengan rasa lapar yang mengganggu. Jadi, makanlah ini! Setidaknya, perutmu tidak akan terlalu kosong setelah kau memakan pancake yang kuberikan itu," ujar Samuel begitu perhatian. Menatap haru, Pricilla pun terenyuh dengan sikap dan rasa peduli yang senantiasa Samuel berikan terhadapnya. Bukan baru sekali ini, melainkan pria itu sudah cukup begitu sering mencurahkan perhatiannya pada sang gadis. Entah itu mengantarnya pulang kala sedang sama-sama kebagian shift malam, membantu mengangkat apa saja yang sekiranya terasa berat untuk seukuran perempuan semungil Pricilla, dan berbagai kepedulian lainnya yang Samuel tunjukkan hingga membuat Pricilla merasa sangat bangga memiliki teman sebaik dan seloyal Samuel. Seperti di kesempatan ini, Samuel rela berbagi bekal makannya hanya demi agar Pricilla tak terlalu merasa lapar ketika kembali bekerja nanti. Meski perhatian Samuel sesederhana itu, tapi tentu saja sangat berarti di mata Pricilla yang selama ini selalu merasa kurang diperhatikan oleh ayahnya yang cenderung sering menyiksa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD