Bagian 3

2022 Words
Sudah menjadi kebiasaan sepertinya, saat langit telah menggelap gadis itu pun baru bisa sampai di rumah sederhananya. Sekilas, ia menyeka sedikit peluh yang menghiasi kening. Sampai akhirnya, sang gadis pun mulai memasukkan sebelah tangannya ke dalam tas selendangnya guna mengambil kunci cadangan yang selalu ia bekal ke mana pun dirinya pergi. Mengingat ayahnya tidak pernah menentu perihal waktu pulangnya, maka sudah menjadi suatu keharusan bagi gadis itu untuk selalu membekal kunci cadangan sekalipun ia pergi ke lokasi yang tak begitu jauh dari rumahnya. Kini, setelah kunci yang ia cari sudah ada dalam genggamannya, gadis itu pun mulai memasukkan si anak kunci ke dalam lubang kunci yang tersedia di pintu. Namun sebelum itu terjadi, tiba-tiba saja seseorang datang sekaligus menjambak rambut belakang milik si gadis yang sekarang sedang memekik kesakitan di tengah kepalanya yang setengah mendongak. "Dari mana saja kau, ha?" lontar suara berat yang sudah gadis itu amat kenali. Siapa lagi kalau bukan ayahnya? Benson Adalson. Pria paruh baya yang tak segan menyiksa dan mengumpat anak gadisnya di setiap kesempatan yang ia inginkan. Melirik takut, gadis yang tak lain adalah Pricilla pun lantas menjawab, "Aku baru pulang dari tempat kerjaku, Ayah. Tolong, lepaskan jambakanmu ini. Aku merasa kesakitan jika kau terus menjambakku seperti ini...." Gadis itu meringis. Akan tetapi, dibanding melepaskan jambakannya, ayahnya itu justru malah semakin menguatkan genggaman tangannya di rambut sang gadis. Membuat Pricilla semakin meringis kesakitan di tengah kegiatannya yang berusaha untuk mengenyahkan tangan jahat ayahnya tersebut. "Berikan aku uang!" seru ayah Pricilla menggeram. Seolah sudah menjadi aktivitas rutin, pria itu pun menodong sang anak tak peduli ia sedang punya uang atau pun tidak sepeser pun. "A-aku belum mendapatkan upah bulananku, Ayah. Mungkin, aku bisa memberikanmu uang sekitar satu minggu lagi. Aku--" "Omong kosong!" sentak Benson yang melepaskan jambakannya. Namun setelah itu, Benson pun malah merampas tas selendang anaknya yang seketika membuat Pricilla membelalakkan mata. "Ayah, jangan!" seru gadis itu menjerit. Namun sayang, tasnya sudah berhasil Benson ambil alih. Dan kini, pria kasar itu pun sedang berusaha untuk mengobrak-abrik seluruh isi tas Pricilla demi mendapatkan apa yang dia mau. Melihat perlakuan ayahnya yang selalu seenaknya seperti itu, Pricilla hanya bisa terdiam dengan air mata yang berderai membasahi pipi. Bahkan, untuk merampas balik tas itu saja Pricilla tidak berani. Alhasil, gadis itu pun hanya bisa menghela napas pasrah ketika mendapati ayahnya yang kini sudah meraih dompet hitam yang sedang berusaha untuk digeledahnya. "Aku tidak percaya jika kau tak punya uang," gumam Benson. Setelah mendapatkan dompet di tangan, pria itu pun melemparkan tas selendang yang isinya sudah ia obrak-abrik tepat ke wajah Pricilla. Tanpa peduli anaknya itu sedang merasa sedih akan perlakuannya, Benson justru tengah tertawa membahana kala ia menemukan beberapa lembar uang yang ia ambil dari dalam dompet tersebut. "Kau bilang belum mendapat upah. Lalu ini apa? Kau berusaha untuk mengelabuiku, ha?" semprot Benson menatap garang. Pricilla yang tak bisa berkutik sama sekali hanya terdiam di tengah isak tangisnya. Sementara itu, Benson sudah memasukkan uang yang ia dapat ke dalam saku celananya. Kemudian, ia melempar lagi dompet yang sudah kosong itu tepat ke tubuh sang anak yang masih berdiri di dekat pintu. Sedetik berlalu, Benson pun beringsut mendekati anaknya. "Lain kali, jangan mencoba untuk menipuku. Atau kau akan aku jual pada pria kaya raya yang rela menukarmu dengan sejumlah harta yang kuminta. Paham?" tutur Benson tepat di depan wajah sang anak yang hanya bisa tertunduk. Sesudahnya, Benson pun membuka pintu yang semula sudah akan Pricilla buka sebelum rambutnya dijambak tadi. Lalu, tanpa memedulikan anaknya, Benson melenggang masuk ke dalam rumah diikuti oleh teriakannya yang menggelegar menyuruh sang anak untuk membuatkannya makan malam. Isak tangis itu masih tersisa. Lagi-lagi, Pricilla mendapat perlakuan yang sangat kasar dari ayah kandungnya sendiri. Entah sampai kapan ia akan bertahan di titik ini. Menimbulkan sejumput luka yang semakin hari semakin bertambah volumenya. Mungkin, lama kelamaan luka itu akan terus menganga. Rasa pedih yang Pricilla alami, sepertinya masih akan terus berlanjut selama dirinya memutuskan untuk tetap berada dalam jangkauan sang ayah sekalipun ia tahu betapa kejamnya pria tersebut. *** Pricilla memutar lehernya yang terasa pegal. Saat seharusnya ia bisa istirahat sepulang kerja tadi, tapi justru ia malah harus mengerjakan pekerjaan rumah dulu sebelum ia benar-benar menidurkan dirinya. Walaupun rasa lelah sudah ia rasakan sedari tadi, tapi mau tak mau ia harus tetap menuntaskan dulu pekerjaan rumahnya yang menggunung. Dimulai dari membuatkan makan malam untuk ayahnya yang selalu berteriak ketika sudah tak bisa bersabar, mencuci pakaian yang tadi pagi belum sempat ia garap, menyapu dan mengepel seisi rumah hingga debu dan kotorannya lenyap, sampai saat ini Pricilla bahkan belum menyentuh makanan lagi sejak terakhir kali ia memakan satu pancake yang Samuel berikan atas kebaikan hatinya. Kruukk. Perutnya pun mulai berbunyi. Rasa lapar telah datang melanda. Para cacing seakan sudah menagih jatahnya yang tak bisa ditunda-tunda lagi. Untuk itu, sebelum ia memasuki kamar guna mengistirahatkan tubuhnya, Pricilla pun bertekad untuk memeriksa ke arah meja makan terlebih dahulu. Ia harap, semoga saja ayahnya berbaik hati menyisakan makanan untuk dikonsumsinya. Sampai ketika gadis itu tiba di meja makan, bahunya pun memerosot lunglai kala ia hanya menemukan setengah dari dua porsi pasta yang ia buat sebelumnya. "Hanya tersisa setengahnya lagi?" bisik Pricilla menatap nanar. Seandainya ia tidak benar-benar merasa lapar saat ini, mungkin Pricilla akan memilih untuk membuang sisa pasta tersebut dibanding dimasukkan ke dalam mulutnya. Sayang, gadis itu sedang membutuhkan asupan makanan untuk mengenyahkan bunyi keroncongan yang berasal dari dalam perutnya. Alhasil, suka atau pun tidak, pada akhirnya pasta sisa yang terlihat sedikit berserakan mengenai pinggiran piring itu pun Pricilla makan juga sembari membayangkan bahwa dia sedang makan pasta lezat yang utuh dan bukan sisa seperti kenyataannya. Di sela kegiatan mengunyahnya, tahu-tahu ia pun menguap. Seakan sudah tak bisa ditahan lagi, rasa kantuk pun menyerang tak tahu waktu apalagi tempat. Menyebabkan kedua mata Pricilla tak bisa dibuka lagi, yang pada akhirnya gadis itu pun harus tertidur di atas meja makan dengan posisi sebelah pipinya menempel ke meja yang letaknya begitu berdekatan dengan piring pasta yang kebetulan belum sempat ia habiskan. *** Pricilla berjalan di atas panggung catwalk. Tubuhnya melenggak-lenggok bak model terkenal yang sedang memamerkan gaun indahnya. Dan anehnya, dia memang sedang mengenakan gaun yang sangat cantik serta begitu pas di lekukan tubuhnya. Semua mata seolah terpukau dengan penampilannya saat ini. Membuat Pricilla semakin bersemangat untuk menunjukkan bakat terpendamnya yang selama ini tak diperlihatkannya ke muka umum. Senyuman lebar terukir indah di bibir bergincu merah muda itu, menimbulkan suara riuh dari para penonton yang sedang fokus menatap ke arahnya. Pricilla sadar, sekarang dirinya adalah seorang model kenamaan. Maka, ia pun harus membuktikan pada dunia bahwa dirinya tidak bisa diremehkan apalagi dipandang sebelah mata. Namun tetap saja, walaupun dirinya adalah seorang model terkenal, ia harus tetap bersikap rendah hati. Tidak ada kesombongan yang patut ia tonjolkan. Maka, demi membuat semua pihak bangga terhadapnya, Pricilla pun harus menunjukkan sisi positifnya sebagai seorang model yang diakui seluruh masyarakat. Sorak sorai semakin menggelegar di dalam ruangan tersebut. Membuat Pricilla kian antusias dalam pergerakannya yang melincah. Lenggok sana, lenggok sini. Pricilla pun menciptakan gerakan memutar yang seketika menimbulkan suasana ramai yang berasal dari siulan demi siulan yang saling bersahutan. Sampai tiba di tengah panggung, saat Pricilla hendak menunjukkan penampilan paling memukaunya, tanpa diduga hak sepatu yang ia pakai justru malah patah di tengah jalan. Membuat tubuhnya langsung limbung dan berakhir dengan tersungkurnya ia ke atas panggung. Dalam sekejap, keadaan pun menjadi ramai oleh suara tawa. Di sekelilingnya, semua orang tampak menertawakan dirinya yang sedang kesulitan untuk kembali bangun mengingat gaun yang dipakainya terlalu lebar dan malah membelit tubuhnya. Hal itu lantas menyebabkan seluruh penonton tertawa terbahak-bahak seolah penampilan Pricilla telah berubah menjadi bahan lawakan. Keringat dingin sebesar biji jagung lantas bermunculan di bagian pelipis dan dahinya. Ditertawakan oleh orang banyak apalagi karena kecerobohan yang ia alami seakan membuat dirinya jatuh terperosok ke dimensi memalukan. Rasa malu kini menyelimuti, menuntun kedua tangannya yang kemudian berusaha untuk menutupi masing-masing telinganya. Namun anehnya, seberapa keras usahanya untuk menutup telinga agar ia tidak bisa mendengarkan lagi suara tawa para penonton yang sedang berusaha mencelanya akibat jatuh tersungkur, tapi justru suara tawa itu semakin meledak-ledak di indra pendengarannya. Bahkan meski tangannya sudah ditekan kuat menutupi lubang telinganya, suara tawa itu pun masih saja tidak hilang dari jangkauannya. Sampai tiba-tiba, selain suara tawa yang ia dengar di tengah keterpejaman matanya, kini tubuhnya pun seolah sedang diguncang berkali-kali. Lantas, tak lama kemudian Pricilla pun mencoba untuk membuka matanya secara perlahan. Hingga di detik matanya terbuka secara bersamaan, Pricilla pun menemukan keberadaan dirinya di meja makan yang terakhir kali ia singgahi. Secepat kilat, gadis itu pun menegakkan posisi duduknya. Sekilas, ia pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rupanya, tadi itu ia hanya sedang bermimpi. Buktinya, saat dirinya membuka mata, jelas-jelas ia berada di dalam rumahnya tepat di meja makan. Menghela napas panjang, Pricilla pun mengarahkan perhatiannya ke atas meja. Di sana, ia mendapati sisa pasta yang sempat ia makan sebelum akhirnya ia tertidur dan berujung dengan mimpi memalukan tadi. Spontan, Pricilla pun kembali memerosotkan bahunya lesu dan memutuskan untuk merebahkan kepalanya lagi ke atas meja dengan tujuan ia ingin merenung dalam lamunannya. Namun tanpa disangka, tahu-tahu seseorang menyiram tubuhnya yang seketika membuat Pricilla terperanjat sambil memekik kaget. Brak. Sebuah benda seolah baru saja dilempar secara asal. Kemudian, Pricilla pun segera menoleh ke sumber suara di tengah rasa kagetnya dan juga tubuhnya yang menggigil kedinginan. "Hei, anak bodoh!" seru sebuah sentakan yang lekas menolehkan pandangan Pricilla pada si pemilik suara. Dilihatnya, seorang wanita berpakaian serba mini pun tampak sedang berdiri berkacak pinggang tak jauh dari kursi yang Pricilla tempati saat ini. Sejenak, Pricilla pun mengamati wanita itu dalam sorot kebingungannya. Rasa-rasanya, ia pernah melihat wajah wanita itu. Tapi di mana? Batin Pricilla bertanya. Lalu, dengan wajah garangnya wanita itu pun kembali bersuara. "Siapa yang menyuruhmu tidur di meja makan itu, ha?" bentak wanita itu dengan mata yang menyala-nyala. Mengerjap, Pricilla pun menyahut, "Maaf, Nyonya. Tapi, Nyonya siapa? Kenapa Nyonya ada di rumahku? Apa, Nyonya hendak bertamu ke sini? Atau--" "Tutup mulutmu! Atau aku akan menyumpal mulutmu itu dengan piring pasta yang ada di hadapanmu," potong si wanita mengerikan. Sejenak, membuat Pricilla meringis takut di tengah tubuhnya yang sesekali masih menggigil. Sejurus kemudian, Pricilla pun mendapati ayahnya muncul mendekati wanita galak tersebut. "Ada apa, Sayang? Kenapa kau marah-marah sepagi ini? Aku sedang tidur nyenyak, tapi harus terbangun setelah aku mendengar suara lantangmu tadi," tukas Benson sembari menguap. "Sayang, lihat perlakuan anak gadismu itu. Bukankah seharusnya dia bangun lebih awal dan menyiapkan sarapan untuk kita? Tapi apa yang dia perbuat? Saat aku ke luar kamar, anak bodohmu ini justru malah sedang mendengkur di atas meja yang masih berantakan," urai wanita itu seraya bergelayut manja pada lengan pria di sebelahnya. Melihat pemandangan itu, Pricilla pun seolah bisa langsung menyimpulkan. Apalagi saat ia mendengar kedua orang itu saling memanggil satu sama lain dengan sebutan sayang, apa salah jika Pricilla memiliki pemikiran bahwa kedua manusia itu adalah pasangan yang sedang dimabuk asmara? "Apa yang kau lihat?" bentak Benson ketika Pricilla hanya menatapnya tak menyangka. "A-ayah, apakah Nyonya itu adalah kekasihmu?" lontar Pricilla memberanikan diri. Meski sebenarnya ia takut akan reaksi yang ditunjukkan oleh ayahnya nanti, tapi bagaimana pun juga Pricilla harus tahu tentang kejelasan hubungan yang mereka jalin itu seperti apa bukan? "Astaga, Benson. Jadi, anak bodohmu ini masih belum tahu siapa aku?" sambar si wanita yang terlihat sedang menegakkan kepalanya yang semula ia rebahkan di bahu ayah Pricilla. "Tahu atau pun tidak, kurasa itu bukan haknya. Bukankah sudah jelas bahwa tak lama lagi aku akan menikahimu? Lagipula, anak tak tahu diuntung itu tidak berhak ikut campur juga dalam masalah pribadi kita. Jadi, tidak ada masalah walau dia baru tahu atau tidak tahu sekalipun," tandas Benson menatap ke arah Pricilla sinis. Pricilla kembali terluka ketika mendengar pernyataan yang ayahnya utarakan. Seolah Pricilla memang tidak punya hak untuk sekadar mengenal kekasih baru sang ayah yang artinya adalah pengganti mendiang ibunya. Sungguh, memikirkan hal itu rasanya Pricilla lebih baik pergi saja dari kehidupan ayahnya. Mungkin, ayahnya akan bahagia seandainya Pricilla tidak ada di dalam hidupnya. Dengan begitu, pria itu akan merasa bebas dan tak terbebani lagi. Terlebih, seperti yang ia dengar sesaat lalu. Tak lama lagi, ayahnya akan menikahi wanita sangar itu. Jika Pricilla tidak segera pergi dari hidup sang ayah, maka bisa saja nasib buruk akan terus menggandrunginya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD