Bagian 4

1425 Words
Pria itu menggeliat dari balik selimut satin yang membalut tubuhnya. Padahal, mentari pagi sudah bersinar sejak beberapa menit yang lalu melalui kaca jendela kamarnya. Akan tetapi, sepertinya si penghuni tempat tidur berukuran king size itu malah seakan masih betah saja bergelung di balik selimut tersebut. Sampai tak lama kemudian, sebuah ketukan pintu pun terdengar dari balik pintu ruangan yang saat ini tengah dihuninya. "Aaron!" seru sebuah suara. Disusul kembali dengan bunyi ketukan yang tak ada hentinya. Tok tok tok. "Aaron, kau sudah bangun, Nak?" lanjut si pemilik suara bertanya. Sepintas, membuat Aaron kembali merentangkan kedua tangannya ke atas seiring dengan menurunnya selimut yang semula sempat menghalangi sebagian wajah tampannya. "Aaron! Bangun, Sayang. Ini sudah saatnya kamu pergi ke kantor...." ujar suara yang sama. Seolah-olah, ia tidak lelah jika diharuskan terus mengetuk pintunya sampai si penghuni kamar memutuskan untuk turun dari ranjang dan membukakan pintu untuknya. "Aaron!" panggilnya lagi. Sekaligus, menyebabkan si pemilik nama lantas menarik diri dari pembaringannya dan menguap sekali sembari menggeliat lagi. "Aaron!" "Ya." Pria itu menjawab sangat irit. Namun meski begitu, Aaron tetap beranjak dari tempat tidurnya serta langsung menyeret kedua kakinya malas menghampiri pintu yang masih terkunci rapat. Cklek. Setelah kuncinya diputar dan pintu pun sudah bisa dibuka dari luar, bukannya membukakan pintu itu Aaron justru malah memutar balik langkahnya menuju ke tempat tidurnya lagi. Sementara itu, si pengetuk pintu tadi baru saja mendorong pintunya hingga menciptakan celah yang ia gunakan untuk menyembulkan kepalanya di sana. "Aaron, kenapa kau malah kembali berbaring lagi?" lontar Daisy. Wanita cantik di usianya yang tak lagi muda. Ia adalah wanita yang sudah melahirkan Aaron ke dunia sekitar 30 tahun yang lalu. "Aku mengantuk. Tidak perlu menggangguku di jam seperti ini, Mom!" sahut pria itu sembari kembali meringkuk dan bersiap untuk membalutkan lagi selimutnya di sekujur tubuh. Akan tetapi, Daisy keburu melangkah lebar mendekati ranjang sang anak. Dengan sigap, wanita berambut demimor itu pun menyibakkan selimutnya dan melemparnya ke sisi tempat tidur yang kosong. "Aaron, bukan saatnya kau untuk tidur lagi. Ayo bangun! Kau harus segera pergi ke kantor. Atau aku akan melaporkan kelakuanmu ini pada ayahmu!" ancam Daisy memberikan peringatan. Aaron adalah tipikal anak yang memiliki rasa takut terhadap wibawa sang ayah. Maka, pada saat ibunya menyeret soal ayahnya dalam kasus pagi ini, secepat kilat Aaron pun buru-buru bangun dari posisinya guna bersiap diri untuk memasuki kamar mandi tanpa banyak berpikir lagi. Melihat itu, Daisy pun hanya geleng-geleng kepala saja sembari terkekeh geli dan mulai merapikan tempat tidur sang anak yang ditinggalkan penghuninya begitu saja. *** Selepas mengenakan setelan kantor dan tak lupa merapikan penampilannya, kini Aaron sedang berjalan menuruni tangga. Di tengah-tengah undakan tangga yang ia pijaki, pria itu bisa melihat ibunya sedang sibuk menyiapkan menu sarapan pagi di atas meja makan. Tentunya, dibantu oleh asisten rumah tangga yang tak pernah mengeluh sekalipun ia diminta untuk melakukan tugas berat oleh sang majikan. Lalu tak lama kemudian, Aaron pun tiba juga di lantai dasar. Sejenak, ia menguap seolah dirinya sangatlah malas untuk pergi ke kantor. Jika bukan karena desakan ibunya, mungkin saat ini Aaron pun masih akan berleha-leha di atas ranjangnya yang empuk nan menghangatkan. "Aaron, sedang apa kau di sana?" lontar sang ibu yang langsung menyadarkan si pria dari pikirannya. Sontak, Aaron pun mengerjap lantas menghela napas. Sejurus kemudian, ia pun melenggang santai menghampiri ibunya yang tengah bersedekap di dekat meja makan yang sudah diisi oleh berbagai menu sarapan pagi. "Aku lapar," ucap pria itu begitu datar. Lantas, tanpa basa basi terlebih dahulu pada ibunya, ia pun langsung menarik salah satu kursi yang tersedia guna didudukinya kemudian. Melihat itu, Daisy hanya geleng-geleng kepala saja sembari menyudahi pose bersedekapnya dan mulai memutar tubuhnya guna menghadap meja makan demi ikut sarapan pagi bersama anaknya. "Maxime!" seru Daisy memanggil. "Maxime, ayo sarapan, Nak!" lanjutnya lebih lantang. Tak lama kemudian, seorang pemuda berbadan atletis tampak muncul dari salah satu kamar yang terletak di bawah tangga. Sambil menggeliat, pemuda itu pun lantas melangkahkan kakinya menuju ke meja makan di mana di sana sudah ada ibu beserta kakaknya. "Selamat pagi!" seru pemuda itu menyapa. Menoleh, Daisy pun menatap kaget kala melihat anak bungsunya masih mengenakan pakaian tidur dengan rambut yang teramat berantakan. "Astaga, Maxime. Apa yang kau lakukan?" jerit Daisy memelotot horor. Namun hal itu, sama sekali tak mengusik kegiatan Aaron yang sudah mulai menyantap bacon di piringnya. Sementara itu, Maxime berjalan mendekat tanpa menghiraukan pelototan horor yang Daisy tunjukkan khusus untuknya. "Aku sangat lapar," gumam pemuda itu mengusap perutnya. Lantas, kini ia pun beringsut mendekati meja makan yang sudah terhidang sejumlah menu sarapan pagi yang siap disantapnya. "Wow, banyak sekali menu sarapan pagi ini. Rasanya, aku jadi ingin memakan semuanya!" seru Maxime yang sudah siap duduk tepat di seberang kursi kakaknya. Akan tetapi, sebelum bokongnya benar-benar menempel ke permukaan kursi yang hendak didudukinya, secepat kilat Daisy pun menarik lengan Maxime hingga tubuh pemuda itu seketika menjauh dari kursi tersebut. "Mom, ada apa?" pekik Maxime menatap heran. "Kau tidak sadar, huh? Bukankah sebaiknya kau mandi terlebih dahulu. Kenapa kau malah mau langsung ikut sarapan?" omel Daisy berkacak pinggang. Refleks, Maxime pun berdecak. "Ayolah, Mom. Perutku tidak bisa menunggu sampai aku selesai mandi nanti. Lagipula, tidak ada bedanya seandainya aku sarapan sesudah atau bahkan sebelum mandi. Yang penting, perutku terasa kenyang terlebih dahulu bukan? Perihal mandi, aku bisa melakukannya kapan saja!" tutur Maxime berpendapat. "Itu keinginanmu! Tapi tidak denganku," tandas Daisy menatap tegas. "Mom...." gumam Maxime menatap sayu. Daisy menggeleng. Dia tetap tidak akan mentolelir anak bungsunya itu walau bagaimanapun alasannya. Lagipula, Daisy paling tidak suka jika ada salah satu anggota rumah yang mencoba untuk menyalahi aturan yang sudah ia tetapkan. Maka, apabila Maxime tak mematuhinya, maka siap-siap saja pemuda itu menghadapi raungan berikut omelan yang Daisy semburkan terhadapnya. Merasa jengah dengan pemandangan di hadapannya, Aaron pun mendengkus kasar. Kemudian, ia pun meletakkan sendok beserta garpu bekas makannya dengan cara dientak ke atas piring. Menimbulkan suara yang seketika menarik perhatian Daisy dan Maxime yang saat ini tengah  menoleh ke arah Aaron. Dilihatnya, pria itu pun sudah bangkit berdiri dari posisi duduknya semula. "Aku selesai." Pria itu berkata singkat. Lalu, Aaron segera meninggalkan meja makan tanpa sedikit pun mau balas menoleh pada ibu dan adik menyebalkannya. "Aaron!" panggil Daisy lagi. Sejenak, si pemilik nama pun menghentikan langkahnya meski tak mau repot memutar sebentar posisi tubuhnya atau pun menengok ke belakang. Di sela itu, Daisy pun menghela napas pelan seraya meraih ponsel sang anak yang rupanya tertinggal di atas meja. "Kau melupakan ini, Sayang...." ucap Daisy sembari menghampiri Aaron. Kemudian, ia pun menyodorkan telepon genggam milik Aaron tepat ke hadapan pria itu langsung. Melirik, Aaron pun baru sadar akan ponselnya yang hampir tak terbawa. Tanpa basa basi lagi, Aaron pun hendak meraih ponselnya. Tapi sebelum itu terjadi, Daisy justru malah menarik ponsel itu menjauh seakan-akan tidak semudah itu bisa Aaron ambil dari genggamannya. Sontak, Aaron pun mendecak kesal ketika ibunya terlihat sedang memainkan dirinya. "Mom!" seru Aaron menatap datar. "Kau boleh mengambil ponselmu ini hanya jika kau memberikan satu kecupan di pipi ibumu ini. Jika kau menolak, maka anggap saja ponsel ini hilang !" tukas Daisy mengulum senyumnya. Entah kenapa, wanita itu sangat senang sekali menggoda anak sulungnya. Membuat Aaron merasa muak tapi bagaimana pun juga Aaron tidak mungkin membiarkan ponselnya disekap sang ibu. Mengingat sangat banyak file digital yang tersimpan di memori ponselnya, maka mungkin Aaron harus mengalah di kesempatan ini. Cup. Aaron mengecup pipi Daisy begitu singkat. Mengukir sebuah senyuman di bibir wanita itu ketika ia telah berhasil membuat Aaron mematuhinya. Meski hanya kecupan singkat penuh keterpaksaan, tapi Daisy menghargainya. Lantas, sesuai perjanjiannya, ia pun langsung mengembalikan ponsel sang anak yang seketika diambil Aaron tanpa mau berbasa basi lagi.  Bahkan, pria itu lekas melenggang meninggalkan sang ibu yang kemudian berseru, "Hati-hati di jalan, Sayang!" Aaron hanya mengangkat sebelah tangannya saja seolah mewakili sahutannya untuk seruan sang ibu barusan. Sepeninggal Aaron yang sudah berlalu, Daisy pun bertekad kembali ke kursinya. Akan tetapi, saat ia berbalik dan hendak melangkah ke arah meja makan, lagi-lagi ia pun harus dikejutkan oleh perlakuan Maxime yang ternyata sedang asyik menyantap menu sarapannya tanpa sedikit pun mengindahkan omelan Daisy sebelumnya. Menyadari akan kebengalan sang anak bungsu, dalam sekejap tanduk-tanduk tak kasatmata milik Daisy pun muncul ke permukaan. "MAXIME BENEDICT!!" teriak Daisy menggelegar. Bahkan saking lantangnya teriakan itu, Aaron yang baru saja sampai ke mobilnya yang terparkir di garasi pun masih bisa mendengar betapa memekakkannya suara yang dihasilkan oleh sang ibu. Namun bagi Aaron, hal itu tidak penting untuk ia indahkan. Maka, tanpa mau ikut campur dengan kegaduhan yang tercipta di dalam sana, Aaron pun lekas memasuki Porsche Cayman miliknya dan melajukan kemudinya meninggalkan halaman rumahnya yang begitu luas dengan pemandangan yang asri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD