Dua Puluh Tujuh

1514 Words
Rai pun bergegas berjalan ke depan rumah, ketika mendengar ada suara deru mobil yang berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Dapat dipastikan mobil itu pastilah mobil yang membawa suami berserta ibu mertua juga adik iparnya. Rai berdiri di depan pintu ketika ketiga orang yang sudah ia nanti - nanti kedatanganya itu sedang berjalan memasuki pelarangan rumah. Rai melempar senyum kepada dua wanita yang jalan di depan suaminya itu. Senyuman itu pun dibalas dengan senyuman yang begitu hangat oleh ibu mertuanya itu. Rindu sudah mengisi seluruh relung di jiwa saat itu. Sudah berminggu - minggu mereka semua tidak saling bertemu. Padahal saat masih tinggal satu kota dulu, hampir setiap akhir pekan Pras dan Rai mengunjungi kediaman orang tua mereka. Satu hari di rumah ibu dan satu hari di rumah mama. Rutin, hampir selalu setiap sabtu dan minggu, kecuali jika keduanya berhalangan karena ada pekerjaan di akhir pekan yang tidak bisa ditinggal. Setibanya di rumah, Rai pun langsung mengajak ibu mertua serta adik iparnya itu untuk makan siang. Karena waktu juga sudah melewati jam makan siang. Memang setelah turun dari pesawat ibu dan Laras belum sempat makan siang. Pras yang sudah menjemput membawa mereka menuju taksi untuk langsung menuju ke kediamannya. "Kamu masak sendiri, Rai? Tadi Pras cerita katanya ada si mbah yang membantu kamu di rumah?" Tanya wanita paruh baya itu pada menantu perempuannya. "Iya, bu, aku gak masak sendiri. Aku di bantu sama mbah Darmi." Jawab Rai pada mertuanya itu. "Lalu si mbah-nya mana? Kenapa ga diajak makan bareng sekalian?" Kembali ibu bertanya sambil mencari keberadaan mba Darmi. "Mbah-nya lagi keluar, bu. Tadi sebelum ibu datang si mbah minta izin mau nengok rumahnya dulu. Sekalian aku minta tolong si mbah untuk belanja, ada beberapa barang yang aku ingin beli." Papar Rai. "Jadi sebenarnya, mbah Darmi itu tinggal bareng kalian apa punya rumah? Dan pulang pergi?" Tanya ibu karena tidak mengerti. "Jadi seperti ini, bu. Rumah mbah Darmi itu masih dekat - dekat sini. Masih satu kampung sama kita. Tetapi aku yang minta si mbah untuk tinggal di sini biar menemani Rai di rumah. Jadi setiap beberapa hari sekali, mbah Darmi meminta izin pada kita untuk mengecek keadaan rumahnya." Pras menjelaskan situasinya pada ibunya itu. Siang itu akhirnya mereka hanya makan siang berempat. Padahal awalnya Rai sudah merencanakan untuk makan bersama dengan mbah Darmi juga. Tetapi rupanya Mbah Darmi cukup lama, setelah menunggu cukup lama ia belum juga kembali ke rumah. Setelah makan siang, Pras dan Rai meminta ibu dan Laras untuk beristirahat terlebih dahulu karena keduanya baru saja menyelesaikan perjalan yang cukup jauh. Tetapi ibu berkata jika dia sama sekali tidak merasa lelah dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan berbincang - bincang bersama. Mbah Darmi rupanya telah kembali ke rumah melalui pintu samping tanpa Rai ketahui. Ia datang membawakan minuman dan beberapa makanan kecil untuk ibu dan semua yang sedang berkumpul di ruang depan. Saat itu juga pertemuan ibu yang pertama dengan mbah Darmi. "Mbah, kenalkan! Ini ibu saya dan ini adik perempuan saya, Laras." Ucap Pras memperkenalkan ibu dan adiknya itu kepada mbah Darmi. " Salam kenal, bu. Saya Darmi. Sudah beberapa minggu ini ikut bekerja dengan Mas Pras." Ucap mbah Darmi, walaupun lebih tua mbah Darmi sangat menjaga sopan santun ya ke pada wanita yang telah melahirkan majikannya itu. "Tak usah sungkan, mbah. Terima kasih, mbah Darmi sudah menemani anak menantu saya selama ini." Ucap ibu yang juga bersikap hormat kepada orang yang lebih tua. "Ah, tidak. Justru saya yang berterima kasih, karena mas Pras dan mbak Rai mau menampung wanita tua macam saya ini." Sahut mbah Darmi merendah. Ibu pun tersenyum mendengar perkataan dari mbah Darmi. "Kalau begitu saya permisi kebelakang dulu, bu. Mari." Pamit mbah Darmi setelah meletakan semua minuman dan makanan di atas meja. "Mau kemana, mbah? Sudah disini saja duduk bareng sama kita!" Ajak ibu. "Ah, tidak perlu, bu. Biar saya di belakang saja. Ada pekerjaan yang harus dilakukan." Tolak mbah Darmi dengan halus. Rai yang duduk di tepat di samping posisi mbah Darmo berdiri pun dengan lembut memegang tangan tua itu, meminta mbah Darmi untuk duduk tepat di sampingnya. "Sudah, mbah, duduk disini! Ngobrol bareng kita - kita. Anggap kita ini juga keluarganya si mbah. Pekerjaan di dapur biarkan saja dulu. Ada Laras, nanti Laras yang bantu. Iya kan ras?" Ucap Rai seraya menggoda Laras yang duduk di tepat di hadapannya. Laras yang tiba - tiba ditembak seperti itu pun, kebingungan harus menjawab apa. "Hah, iya iya, pasti." Jawab Laras sekenanya. Melihat Laras yang kikuk, mereka semua pun tertawa. Akhirnya mbah Darmi mau duduk bersama. Keluarga majikannya itu benar - benar orang - orang yang baik. Bahkan sebagai pekerja, mbah Darmo merasa bahwa kedua anak muda itu selalu memperlakukannya dengan penuh hormat. Ditambah sekarang ibu dari Pras pun memperlakukan dia sama seperti anak - anaknya memperlakukan wanita tua itu. Mereka banyak bercerita, terutama membahas kebiasaan lama yang tidak bisa mereka lakukan di kota perantauan. Kalau ibu, setiap ada kumpul - kumpul bersama seperti itu, yang selalu dibicarakan adalah masa - masa saat anak - anak kecil dahulu. Suasana menjadi cukup serius saat mbah Darmi yang gantian bercerita. Sama seperti hal yang pernah dia ceritakan pada Rai pada hari itu, mbah Darmi kali ini pun menceritakan perjalanan hidupnya itu. Perjalanan ia dan almarhum suaminya hingga bisa merantau dan menetap di tempat tinggalnya saat ini. Bagi mereka yang mendengarkan, cerita yang mbah Darmi ceritakan itu cukup menyentuh. Terutama saat mbah Darmi menceritakan hidupnya yang tidak mudah. Sepanjang bercerita, mbah Darmi ternyata tidak dapat melepaskan pandangannya pada Laras. Anak remaja yang masih duduk di bangku sekolah menengah itu, membuat ia teringat akan seseorang yang sangat ia rindukan. Seluruh yang ada pada diri Laras seolah membuat ia terbayang akan masa lalu. Masa - masa penuh pengharapan dan penuh kebahagian. Masa dimana dia memiliki tujuan untuk masa depannya, masa dia merasa bahwa di masa tuanya nanti dia punya sosok yang dapat dijadikan sebagai tempat bersandar. Saat ia menyadari ternyata masa depan dan angan - angan yang selalu dia impikan dan rencanakan tidak pernah terjadi, hatinya pun merasa terluka dan mendadak rapuh. Mbah Darmi menyelesaikan ceritanya meski empat orang di sekelilingnya masih terus ingin mendengarkan perjalanan hidup penuh perjuangan dari sosok wanita tua di hadapan mereka. Tetapi mbah Darmi merasa tidak bisa melanjutkannya lagi. Dia harus menghindar dari orang - orang. Agar kesedihannya itu tidak ada yang mengetahui dan hanya dirinya seorang lah yang tahu berapa rapuhnya wanita tua itu. "Maaf semuanya, si mbah permisi kebelakang dulu. Sepertinya sudah kelamaan si mbah ngobrol di sini. Nanti kerjaan di dapur gak beres - beres. Permisi ya bu, mbak, mas Pras." Pamit Mbah Darmi, undur diri dari kebersamaan mereka setelah bercerita banyak hal tentang hidupnya. "Ya sudah kalau begitu, silahkan, mbah!" Ibu mempersilahkan mbah Darmi undur diri. "Ibu juga baru kerasa capek, ingin rebahan dulu." Ucap Ibu yang menyusul mbah Darmi pamit dari perbincangan mereka. Berbeda dengan ibu yang lebih memilih beristirahat di kamar. Laras lebih memilih merebahkan tubuhnya di sofa tengah depan televisi. Remaja itu berbaring dengan earphone yang masih terselip di kedua telinganya. Ketika ibu dan Laras beristirahat, Pras dan Rai menuju teras untuk mencari pemandangan yang dapat menyejukkan mata. Mereka sedikit meneruskan perbincangan di sana. "Mas, aku kebelakang dulu ya. Mau bantu mbah Darmi dibelakang. Membereskan bekas makan siang tadi." Pamit Rai pada suaminya. Pras pun mengangguk. Seraya Rai meninggalkan Pras sendiri di teras depan rumah. Saat menuju dapur Rai secara otomatis melewati Laras yang sedang beristirahat di ruang tengah. Saat Rai melewatinya ia melihat adik iparnya itu sedang terduduk sambil tertunduk lesu. "Mbak pikir kamu tidur, Ras?" Tanya Rai sambil berlalu menuju dapur. Tanpa Rai sadari dia tidak mendapatkan jawaban dari adik perempuannya itu. Dia tetap berlalu menuju dapur. Cukup lama Rai di dapur membantu mbah Darmi. Hingga tinggal menyisakan sedikit pekerjaan ia pun menyerahkan pada mbah Darmi dan pamit kembali ke depan untuk menemani suaminya. Saat menuju teras, pastinya Rai kembali harus melewati Laras yang berada di ruang tengah. Lagi dan lagi Rai melihat posisi adiknya itu masih terduduk dengan tertunduk lemas. "Dek, kenapa gak tidur aja?" Rai pun menegur Laras untuk yang kedua kali. Dan tetap sama, teguran kedua Rai pun tidak mendapatkan respon dari adiknya itu. Sebenarnya Rai cukup merasa sikap adik iparnya itu sedikit aneh. Tetapi Rai tidak menyimpan kecurigaannya itu terlalu dalam. Dia pun kembali berlalu saat tegurannya kembali tidak mendapat jawaban dari Laras. Rai kembali duduk di samping Pras. Menikmati siang yang hampir berganti dengan senja. "Mas, Laras aku kira tidur. Tapi tadi aku lihat dia duduk saja di sofa gak ngapa -ngapain." Ucap Rai. "Emang di suruh ngapain, dek?" Pras menyahuti perkataan istrinya itu dengan canda. "Ih, maksud aku itu. Laras cuma gini nih. Gak tidur, ga nonton televisi, gak ngapa - ngapain lah pokonya." Ucap Rai sambil memperagakan posisi duduk Laras yang dia lihat tadi pada Pras. "Lagi fokus dengerin musik kali, dek." Sahut Pras. "Bisa jadi sih." Rai pun mengangguk - angguk setuju dengan jawaban suaminya itu. Tiba - tiba saja terdengar suara teriakan dari dalam rumah yang memekikkan telinga. Teriakannya terdengar juga seperti tawa yang menggema. Pras dan Rai yang terkejut, dengan cepat bergerak berlari menghampiri sumber teriakan itu berasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD