Nila tidak bisa berjalan dengan normal. Semua orang menyadarinya. Ia terpincang dan bahkan sesekali hampir jatuh ke lantai. Semua orang menatapnya dengan mencemooh. Yang mana membuat Nila kesal. Namun selama tidak ada yang berani meninggikan suara padanya, ia tidak akan mempermasalahkannya.
"Nila, kamu tidak apa apa?" tanya seseorang yang tak lain adalah Sinta. Dia orang baru yang selalu terlihat segar.
"Tidak apa apa, aku hanya kelelahan. "
Sinta memapah Nila ke mejanya. Lalu menawarkan minuman.
"Minum lah, aku tahu pekerjaan menjadi sekertaris itu melelahkan. Tak heran kamu sampai sempoyongan. Jangan - jangan kamu anemia gara - gara jarang makan?" tanya Sinta yang seolah tidak tahu skandal Nila dan Anggara.
Nila menatap Sinta dengan alis yang terangkat, gerak gerik gadis itu benar benar alami seolah tak memiliki ambisi dan kecurigaan apapun.
Apa benar ada orang yang tidak berpikir macam macam tentang aku? tanya Nila dalam hati. Sungguh ia merasa lega ada orang yang mau bicara denganya dengan normal dan tidak terlalu berhati hati seperti lainnya.
"Tidak, Pak Angga sangat memperhatikan ku. Dia tidak pernah membuatku menderita."
"Syukurlah pak Anggara itu bos yang baik."
Lagi lagi Nila tersenyum karena kepolosan Sinta. Angga memang sangat baik terutama saat ada di atas tubuhnya, atau dibawah kakinya.
Telepon kantor di samping Nila berbunyi mengintrupsi percakapan mereka. Sinta pun mengambil alih tugas mengangkat telepon.
"Halo, di sini Sinta. Ada yang bisa dibantu?"
"Oh Pak Anggara, Nila sedang ke kamar mandi. "
Nila melirik Sinta, lalu mendengus. Huh, apa pria itu mau ronde ke tiga? ini masih siang dan milikku juga masih sakit sialan!? maki Nila dalam hati.
"Baik Pak, akan saya sampaikan."
Sinta menutup teleponnya, lalu menatap Nila, "Kurasa kamu tidak bisa istirahat. Pak Anggara memanggil mu."
"Pak Anggara memang suka seenaknya seperti ini, " keluh Nila dan kembali ke ruangan Angga. Dengan berat ia menyeret kakinya yang tertatih. Meninggalkan Sinta yang menatapnya dengan sorot mata penuh makna.
Grep.
Tiba - tiba Nila merasakan tubuhnya terpelanting ke sofa lalu sesuatu yang keras dan berotot menghimpitnya. Nila secara refleks menjerit sampai menyadari apa yang terjadi.
Anggara menghimpit tubuh Nila ke sofa saksi kegiatan panas mereka tiga jam yang lalu. Pria itu menyeringai dan nampak kepanasan.
"Ah! Pak Anggara, jangan begini. Itu masih sakit," rengek Nila.
Sayangnya Angga tidak perduli. Terkutuklah miliknya yang mengeras hanya karena memikirkan Nila.
"Aku juga sakit. Kau bisa merasakan ini kan...?" desis Anggara dan menempelkan tubuhnya yang menonjol pada Nila. Nafas pria itu sangat berat dan panas.
Nila terhenyak karena merasakan betapa keras milik Angga saat menekannnya. Padahal mereka baru saja selesai. Jika dia mereka melakukannya lagi, ia tidak yakin akan bisa berjalan.
"Tidak, aku tidak bisa lagi, " tolak Nila yang mencoba keluar dari kungkungan Anggara. "Lepaskan aku. Aku benar benar tidak sanggup. Kakiku sudah gemetar ketika berjalan."
"Diamlah, kau hanya perlu berbaring. Biarkan aku yan mengurus mu."
Anggara mengangkat kaki Nila, ia menjilat bibirnya dengan sensu.al. Pria ini sama sekali tidak terlihat membencinya atau balas dendam padanya. Bagaimana mungkin pria ini dikatakan balas dendam jika Nila juga menikmatinya.
"Ah Pak Angga, geli..." Tubuh Nila mengeliat ketika jari berada di dalam tubuhnya. Nila bahkan bingung menghadapi rangsang4an itu.
Sementara itu Sinta mendadak menerima tamu yang tak lain adalah Jennifer. Sinta terhenyak sesaat ketika melihat wajah seperti barbie datang.
"Aku mau bertemu dengan Anggara," ucap Jennifer.
"Silakan, dia sedang bersama Nila." Sinta menjawab dengan polos tanpa curiga apapun.
Jennifer pun menuju ke ruangan Angga yang berada di sudut lorong. Hanya ada tanaman hias dan lukisan yang terpasang sepanjang lorong sehingga tidak memungkinkan untuk siapapun mendengar suara teriakan dari ruangan Angga. Akan tetapi jika sudah berada di depan pintu, tentunya akan terdengar suara samar samar.
"Angga, oh pelan pelan."
Langkah kaki Jennifer terhenti. Gadis itu tahu apa yang terjadi di dalam tapi tidak menghentikannya untuk mengintip dari luar.
Di sana ia melihat Nila terguncang hebat di bawah tubuh Angga. Gadis itu bahkan memohon Angga untuk pelan pelan tapi Angga seolah tidak perduli.
"Lebarkan kakimu," perintah Angga yang langsung di turuti oleh Nila. Gadis itu bahkan menyodorkan dad4nya agar dinikmati Anggara.
Karena tidak tahan, Jennifer akhirnya melangkah menjauh. Ia menahan air matanya agar tidak menetes. Bagaimana pun ia sebenarnya mencintai Angga dan terjebak dalam friendzone. Jennifer bersikap seolah menjadi bestie dan patner yang baik, bahkan berpura pura punya kekasih. Padahal semua bohong. Ia sebenarnya yang menyuruh Marquist mengikat pertunangan dengan Angga. Berharap jika Anggara akan melihatnya sama seperti diri nya yang menyadari jika jatuh hati pada Anggara.
"Apa anda sudah bertemu dengan mereka?" tanya Sinta.
"Sudah, aku hanya ingin tas kelly baru. Oh saranku jangan biarkan ada tamu lain yang datang. Mereka sibuk menyusun file," ucap Jennifer sambil tersenyum pedih.
"Baik." Tanpa bicara apapun Sinta mengiyakan ucapan Jennifer.
Sebenarnya Nila tahu kedatangan Jennifer tadi. Awalnya ia mengira jika itu hanya salah lihat, ternyata Jennifer malah mengintip mereka.
Maafkan aku Jennifer, aku mencintai Angga. Meski dia tunangan mu tapi aku yang memuaskan nya. Tubuhku yang ia puja puja.
Jadi Nila sengaja menyodorkan tubuhnya pada Angga agar Jennifer melihat betapa ganas Anggara melahapnya. Ia yakin Jennifer belum pernah merasakan hal itu, karena Anggara bersama dengannya hampir dua puluh empat jam. Di kantor dan di rumah.
Tolong berikan dia padaku Jenni.
"Aku sampai!"
Anggara mengerang hebat ketika mendapatkan pucak. Sungguh sangat nikmat tapi juga berbahaya. Dalam nafas yang masih terengah engah setelah getaran kenikmatan puncak itu, Anggara mulai bingung dengan perasaannya sendiri. Ia tahu jika kecand.an Nila. Namun ia masih tidak bisa memaafkan semua pengkhianat yang gadis ini lakukan di masa lalu.
"Ah sakit," keluh Nila agar ia terlihat menyedihkan. Ia tahu jika ingin mendapatkan hati Anggara, dirinya harus terlihat menyedihkan.
"Anda jahat," ucap Nila sambil berkaca - kaca.
"Hei siapa yang tadi memancingku dengan apelnya. Aku jadi kehilangan kendali."
"Tapi jangan sekasar itu. Rasanya perih."
Nila sengaja melebarkan kakinya sehingga pintu kenikmatannya terlihat. Warnanya merah dan Angga menyeringai melihat godaan halus Nila.
"Apa kamu mau mulai ronde lainnya?"
"Ah tidak, ampun, aku tidak kuat..."
Anggara hanya menyeringai. Ada rasa bangga yang tak terucap ketika Nila seolah menyerah. Ia merasa sangat perkasa dan hebat.
"Sudahlah, kita pulang. "
Nila tentu tidak menyia - nyiakan kesempatan untuk membuat semua orang yang menghinanya tidak berani jahat lagi. Gadis itu menunduk seolah akan menangis.
"Tapi aku tidak bisa berjalan."
Angga hanya mendengus geli. "Kalau begitu di sini dulu sampai kau bisa berdiri. "
Anggara pun pergi meninggalkan Nila. Ia tidak akan memberi keistimewaan pada gadis yang pernah mengkhianati nya dulu.
Nila panik dan memanggil Anggara. Hanya saja pria itu berjalan sangat cepat.
"Sial, aku gagal, " dengus Nila. Ia pun memutar otak nya agar apa yang ia lakukan saat ini tidak sia - sia. Nila ingin agar semua orang tahu jika ia adalah kesayangan Anggara. Bukan Jennifer.
"Sinta, ah benar juga. Aku harus manfaatkan gadis itu," guman Nila.
Ia pun menghubungi Sinta. Nila ingin gadis itu membantunya berjalan.
"Sinta, bisakah kamu ke sini?" tanya Nila dari telepon.
"Baik."
Sinta melihat keadaan Nila pun terkejut. Ia nampak lemas meski rapi.
"Ada apa, Nila?"
"Bisakah kamu bantu aku ke lobi. Kakiku lemas," ucap Nila.
Sinta hanya mengangguk. Ia membantu Nila dengan menopang badannya. Mereka berjalan pelan dan itupun dilihat oleh semua pegawai. Bahkan manager dan direktur pun terhenyak melihat Nila. Mereka sadar jika Nila benar benar kesayangan Anggara, bukan hanya simpanan semata. Semua itu karena mereka semua melihat Jennifer keluar dari ruangan Anggara padahal baru tiba.
Lihatlah, aku adalah kesayangan bos kalian, jadi jangan macam macam dengan ku.
tbc.