Minggu Kelabu

1002 Words
Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah. Rasanya memang ada yang hilang saat lagi-lagi aku harus melepas kepergian Hendra saat kami baru saja beberapa menit bersama. Ini memang bukan pertama kalinya kejadian ini terjadi, tapi berulang kali. Hendra yang bekerja sebagai seorang Polisi di bagian Reskrim membuat kami sering kali kehilangan waktu kebersamaan kami. Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya di kirimi bunga oleh Hendra setiap hari. Jangankan di kirimi bunga setiap hari, setiap bertemupun dia sudah tak membawa bunga lagi. Sangat jauh berbeda ketika kami baru saja berpacaran. Apa aku protes pada Hendra? Tentu saja aku tak memprotesnya karena aku tak akan mendapatkan apa-apa dari protesku itu. Ah tidak aku salah, aku akan mendapatkan beberapa tangkai bunga Mawar berbagai warna. Tapi bunga itu bukan berasal dari toko bunga, melainkan dari taman yang ada di halaman rumahku. Hendra, pria yang telah membuat hariku jauh lebih indah walau kami sangat jarang bersama. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dengan para penjahat. Hhhmmm ... apa aku jadi penjahat saja agar dapat terus bersamanya setiap waktu? Tapi apa kata dunia jika sampai calon Ibu Bhayangkari dari salah satu Polisi terbaik adalah seorang penjahat? Satu pemikiran konyol itu sering kali mengusik otakku ketika aku rindu dan ingin bersama dengannya. Satu pemikiran gila yang sanggup membuatku tertawa saat Hendra tidak ada di sampingku. "Hendra mana Di?" tanya Mama yang tiba-tiba saja membuyarkan semua lamunanku dan tentu saja dari pemikiran gilaku juga. "Pergi," jawabku singkat tanpa beban. "Pergi, maksud kamu?" tanya Mama yang sedikit kaget dengan jawabanku. "Ya Ma, dia ada kerjaan lagi," jawabku  masih dengan suara yang masih tetap enteng dan santai. "Kamu sabar ya," kata Mama sambil mengelus punggungku sayang. Sabar, sepertinya menjadi satu kata yang sangat ampuh bagiku dalam menjalani semua ini. Kesabaran menjadi kekuatanku saat aku harus menjalani hubungan jarak jauh dengan pria yang begitu aku sayangi dan cintai. "Ya Ma," kataku sambil menarik napaa dan membuangnya dengan perlahan, "Diona ke resto dulu Ma." "Ini kan minggu Di?" tanya Mama yang kaget karena aku memutuskan pergi ke restoran di hari minggu yang cerah ini. "Tak apa Ma, dari pada aku di rumah mikirin Hendra terus," kataku sambil tersenyum dan mulai melangkahkan kakiku menuju kamar. Ya dari pada aku di rumah dan terus memikirkan Hendra karena aku kangen dia, lebih baik aku pergi ke restoran. Ini memang hari liburku, tapi apa salahnya aku ke sana dan mengecek beberapa pekerjaan atau hanya sekedar melihat respon pelanggan atas pelayanan yang di berikan para pelayan. Kuambil tas tangan berwarna hitam yang tersimpan rapi dalam lemari kecil khusus tas. Tas kecil ini selalu aku gunakan saat aku hanya ingin sekedar jalan-jalan dan sesekali aku gunakan saat ke restoran. Aku mengambil kunci motorku dari atas meja yang ada di ruang keluarga. Sebenarnya Hendra sering kali melarangku membawa motor, dia lebih rela menyuruh supir dari restoran untuk antar jemputku. Hhhmmm ... seneng juga punya calon suami yang begitu perhatian, serasa aku menjadi orang yang paling penting dalam hidupnya. Padahal yang selalu nomor satu baginya adalah tugasnya. "Kemana Kak?" tanya adikku yang sedang nonton televisi sambil main game di ponselnya. "Resto." "Lah, kan ini hari minggu." "Iya ini minggu, besok senin." "Ya terus ngapaian ke resto, makan sama Kak Hendra ya?" "Hendra udah balik, ada tugas dia." "Pantas ke resto, di tinggal lagi rupanya." Adikku memang sudah tahu kalau aku sering kali di tinggal Hendra karena tugasnya. Dan setiap kali aku di tinggal tugas, adikku pasti akan menggodaku habis-habisan hingga membuatku kesal dan mersa semakin kangen pada sosok pria yang merajai hatiku. Aku baru saja melangkahkan kakiku keluar dari rumah saat tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku langsung melihat siapa yang menelponku, ternyata dari Hendra. Ada apa dia menelponku, bukankah dia sedanf menyetir dan biasanya dia tak pernah menelponku saat mengendari kendaraan? "Jangan ke resto, kamu di rumah saja!" kata Hendra tanpa basa-basi. Dari mana dia tahu kalau aku akan pergi ke restoran? Bukankah aku belum mengabari dia kalau aku mau ke restoran? Tunggu, aku sepertinya tahu siapa yang membuat ulang melapor pada Hendra mengenai semuanya. Aku melangkahkan kakiku menuju ruang keluarga. Aku melihat adikku masih anteng dengan ponselnya. Tanpa banyak kata aku langsung mengambil ponselnya. "Kamu ya yang bilang sama Hendra kalau aku mau ke resto?" tanyaku kesal. Selama ini dia memang seolah menjadi mata kedua Hendra. Adikku akan melapor oada Hendra semua kegiatanku di rumah dan kemana saja aku pergi ketika dia tak datang. Apa Hendra tak percaya padaku? Aku menilainya bukan karena dia tak percaya, tapi karena dia takut aku kenapa-napa saat jauh darinya. Ya maklum saja, selama menjani hubungan jarak jauh dia tak dapat menjagaku 1x24 jam. "Gak kok, kata siapa aku mengadu sama Kaka Hendra? Aku lagi main game," kata adikku yang keukeuh dengan pembelaannya. "Aku tahu bukan dari Yoga, Di," terdengar suara Hendra di seberang sana. "Terus dari siapa kalau bukan dari dia?" tanyaku kebingungan dan merasa bersalah karena telah menuduh tanpa bukti. "Aku tahu dari pegawai resto," jawab Hendra. "Lah, aku lho belum sampai resto Hen, bagaimana kamu bisa tahu?" tanyaku sambil membanting tubuhku ke atas sofa empuk yang ada di ruang keluarga. "Ya mereka bilang kalau kamu kadang minggu ke resto. Aku gak mau kamu kecapean Di, kamu di resto hanya pengisi waktu luangmu sebelum kita nikah." "Kan aku kerja di sana Hen, aku di gaji buat kerja." "Ya tapi kan tidak harus kerja di hari minggu juga Di, kamu perlu istirahat!" Sepertinya percuma aku membantah perkataan Hendra karena sampai kapanpum aku akan kalah jika berdebat dengan dia. Hendra selalu memiliki jawaban yang tepat untuk menghempaskan semua argumenku. "Aku bosan di rumah Hen," kataku menyerah dengan semua pembelaanku atas usahaku pergi ke resto di hari minggu kelabu ini. "Aku tahu kamu bukan bosan, tapi kesal karena aku harus pergi. Maafkan aku ya Di, kewajibanku membuat kita jarang memiliki waktu bersama." "Tidak, ini bukan salahmu Hen. Aku tahu ini adalah resikoku menjadi pasanganmu. Maaf ya aku sudah bersikap tak dewasa seperti barusan." "Tidak Di, kamu wajar bersikap demikian karena kamu adalah manusia yang memiliki hati. Aku tutup dulu ya lagi nyetir. I love you." "I love you too."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD