Minggu Kelabu (2)

1060 Words
Akhirnya aku hanya bisa menghabiskan hari mingguku dengan berdiam diri di rumah. Aku hanya mengerjakan beberapa aktivitas mulai dari masak, nonton televisi, hingga merawat Mawar-mawarku. Bosan? Tentu saja itu yang aku rasakan. Bagaimana aku tidak bosan jika aktivitasku hanya itu-itu saja sedang pikiranku melayang jauh pada pria yang entah sekarang sedang berbuat apa. Sudah empat jam dari terakhir Hendra menelponku tadi, tapi sampai saat ini dia belum juga mengabariku lagi, entah apa yang sedang dilakukannya hingga tak sempat mengabariku. Aku sudah berulang kali mengecek ponselku mulai dari sms, telpon, hingga semua sosial media yang aku miliki, tapi tetap saja tak ada kabar dari Hendra. Karena kesal akhirnya aku memutuskan untuk menemani Yoga yang sedang main game. Sebenarnya aku tak tertarik dengan game yang sedang dia mainkan, tapi daripada aku hanya berdiam diri tanpa ada kegiatan, lebih baik aku melihat dia. Sesekali Yoga menatapku dengan ujung matanya tapi aku mengacuhkannya. Aku sedang tak ingin di jahili olehnya walau niat dia baik. "Bosan yak Kak?" tanya Yoga setelah menyelesaikan game-nya. "Hhhhhmmm ...," kataku tanpa berbicara lebih lanjut lagi. "Kita jalan yuk Kak biar kakak gak bosan di rumah," tawar Yoga. Jalan, apa aku salah dengar kalau Yoga ngajak aku jalan? Selama ini dia tak pernah mengajakku jalan sama sekali, yang dia tahukan hanya menjahiliku dan menjahiliku tiada henti. Aku menatap wajah adikku dan mencari keseriusan di wajahnya. Aku takut jika itu hanya salah satu kejahilan dia. Tapi kali ini tiada ekspresi kejahilan yang biasa dia tunjukkan padaku. "Bagaimana?" tanya Yoga. "Hhhmmm ... boleh deh," kataku sambil menyunggingkan seulas senyuman. "Ya sudah ayo," kata Yoga. Aku beranjak dari dudukku untuk mengambil tas tangan berukuran kecil yang biasa aku gunakan untuk jalan-jalan. Aku sengaja tidak mengganti pakaianku karena dalam pikiranku paling hanya putar-putar kota tidak jelas dan berakhir dengan makan sesuatu di salah satu tempat makan kesukaan Yoga. Selesai memasukkan ponselku, aku segera menghampiri Yoga yang sudah bersiap di atas motornya. Tanpa banyak kata aku langsung naik ke boncengan Yoga. Perlahan motor di jalankan dengan kecepatan sedang, Yoga memang tidak pernah menjalankan motor dengan kecepatan tinggi, sangat berbanding terbalik denganku. Deru angin yang berhembus dengan kasarnya mulai membelai wajahku yang tidak kututup dengan kaca helm. "Kak ... bukannya itu Kak Wilman ya?" tanya Yoga setelah kamj cukup jauh berputar keliling kota samnbil menunjuk pada seorang pria yang tengah makan di salah satu tempat makan. Aku yang penasaran mengikuti arah telunjuk Yoga. Dan benar saja, aku melihat Wilman tengah makan di tempat makan tersebut. Dia makan sendiri sambil sesekali menatap ke arah jalan seolah mencari sesuatu yang aku tak tahu apa itu. "Sedang apa dia di sini, bukannya dia telah di pindah tugaskan?" tanyaku dalam hati. Belum selesai kekagetanku akan kehadiran Wilman, tiba-tiba Yoga menghentikan motornya di parkiran tempat makan yang sama di mana Wilman tengah makan. "Kenapa berhenti di sini Yog?" tanyaku yang tak paham dengan jalan pikirannya. "Kali-kali nyapa mantan calon kakak ipar," jawa Yoga sambil nyengir kuda. Harusnya aku sudah memahami sifat jahil adikku dari awal. Dia pasti tak akan membiarkanku hidup tenang walau sehari saja. Tapi kali ini kejahilannya sungguh tak dapat aku toleransi. Bagaimana bisa dia tiba-tiba menghentikan motornya di tempat makan yang sama dengan orang yang aku sendiri tak ingin menemuinya. Mau tak mau akhirnya aku berjalan mengekori Yoga. Muka yang tadi sempat senyum sumringah kini kembali harus kutekuk karena ulah Yoga yang berniat menghampiri Wilman yang sedang makan. "Kak Wilman? Lho kok ada di sini?" tanya Yoga yang pura-pura kaget dengan kehadiran Wilman di tempat makan. Entah demi apa dia melakukan hal itu yang justru membuat enek dan ingin segera pergi ke manapun itu, meski harus terbang ke langit tujuh. "Eh Yog, ku kira siapa," kata Wilman sambil menatap ke arah Yoga, dan pastinya ke arahku juga. "Ya Kak, kakak kok di sini?" tanya Yoga lagi. "Aku pesan makan dulu," kataku sambil berlalu dari hadapan Wilman dan Yoga. Aku memang sedang tak ingin berbicara dengan Wilman, terlebih setelah aku mengatahui semua kebusukan dia. "Eh Di, Hendra mana?" tanya Wilman sesaat sebelum aku pergi. "Telpon saja dia, tak usah tanya aku," kataku sambil terus melangkahkan kakiku. Beberapa kali aku mendengar Wilman memanggilku, tapi aku menghiraukannya. Aku tak peduli dengan kehadiran dia, bahkan aku merasa enek dengannya. "Di ... tunggu ...," kata Wilman sambil menarik tanganku agar berbalik dan melihat ke arahnya. "Ada apa?" tanyaku sinis. "Tak bisakah kita bicara baik-baik? Aku masih ...," kata Wilman. "Maaf Wil, aku lapar, mau makan!" kataku memotong perkataan Wilman. "Kita makan bareng saja Di," ajak Wilman sedikit memaksa. "Maaf, lebih baik aku makan sendiri untuk menghindari salah paham orang lain!" kataku menolak ajakan Wilman. Meski Wilman berusaha mencegahku pergi, tapi aku sungguh tak peduli dengan hal itu. Aku terus melangkahkan kakiku dan menjauh darinya. Huft ... aku menarik napas dalam saat sudah berhasil menjauh dari Wilman. Aku memesan makanan untukku dan Yoga mesti dia masih terlihat mengobrol dengan Wilman. "Kak, makan semeja sama Kak Wilman yuk?" ajak Yoga. "Sudah jangan bikin gara-gara kamu!" kataku sengit. "Ye ... gitu aja marah," kata Yoga sambil duduk di hdapanku. "Lagian kamu tahu aku malas ketemu Wilman, ngapain kamu malah berhenti di sini dan nyapa dia?" "Menjalin tali silaturahmi kan gak apa-apa kak." "Gak apa-apa buat kamu, tapi buatku masalah!" Yoga baru saja akan membantah perkataanku, tapi pelayan datang mengantarkan pesananku hingga dia mengurungkan niatnya. Dia hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada pelayan yang langsung berlalu dari hadapan kami. Tanpa banyak kata, aku langsung menikmati makanan yang kupesan, yaitu bakso super peda lengkap dengan jus strawberry. Hhhmmm ... ini adalah kompisis yang pas untuk di nikmati saat hati sedang panas dan kondisi di sekitar tidak bersahabat. Saat aku sedang menikmati bakso, tiba-tiba ponselku berbunyi, aku segera mengambilnya dari tas. Aku melihat siapa yang menelponku, ternyata itu Hendra. "Kamu di mana Di?" tanya Hendra setelah aku mengangkat telponnya. "Lagi makan sama Yoga, kamu dimana?" "Aku baru selesai rapat koordinasi." "Ada kasus baru ya?" "Ya Di, dan aku harus pergi." "Pergi? Ke mana?" "Aku harus ke sebuah pulau terpencil tempat wisata alam. Aku tak tahu apakah di sana ada signal atau tidak." "Pulau terpencil? Pulau yang ada di seberang laut itu?" "Ya Di, ada kasus pembunuhan di sana." "Tapi Hen ...." "Ini sudah menjadi tugasku." "Ya aku tahu, hati-hati di sana." Inilah hal yang sangat tidak mengenakan menjadi pasangannya, aku harus siap di tinggal tugas padahal kami sedang menyiapkan pernikahan kami. Tapi bagaimana lagi, aku tak bisa protes.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD