Kegundahan Hati

1002 Words
Setelah menerima telpon dari Hendra, napsu makanku menguap bersama angin hingga aku hanya memainkan makanan yang ada di hadapanku. Aku ingin protes, tapi protes pada siapa? Pada atasan Hendra atau pada Negara? Huft ... berulang kali aku menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan sangat perlahan hanya agar aku merasa tenang dan bisa melepas Hendra ke meda tugas dengan penuh senyuman walau itu rasanya sangat sulit. Ini memang bukan pertama kalinya aku di tinggal tugas oleh Hendra, tapi entah kenapa rasanya kali ini terasa begitu berat. Ada beban lain yang menghinggapi hatiku tapi aku sendiri tak tahu apa itu. "Kenapa Kak?" tanya Yoga yang mulai menyadari perubahan sikapku. "Gak apa-apa," jawabku berbohong sambil teeus memainkan makanan yang tadi aku pesan. Jika aku boleh jujur, saat ini aku ingin berdiam diri di kamarku dan meluapkan semua yang aku rasakan. Tapi sayang aku tak dapat melakukan itu karena sepertinya Yoga masih lama. Dia memang baru saja menghabiskan makanannya, tapi beberapa menit kemudian dia memesan makanan lain kepada pelayan. Biasanya hal itu akan menjadi salah satu alasan bagiku untuk menjahilinya, tapi kali ini aku sungguh sedang tak ingin menjahilinya. Pikiranku terganggu dengan kabar yang baru saja Hendra berikan padaku. "Kak, kenapa sih bengong mulu?" tanya Yoga lagi sambil menanti pesannya datang. "Hendra mau pergi ke pulau Y, ada kasus pembunuhan di sana," jawabku yang entah bagaimana berhasil mengeluarkan kata-kata itu dengan mulus tanpa kendali apapun. "Pulau Y? Wah seru dong bisa sambil liburan, belum lagi di sana banyak bule yang cuma pakai bikini doang. Wiiiihh ... Kak Hendra bisa sambil cuci mata tuh," kata Yoga sambil terseny lebar. Mendengar perkataan Yoga aku langsung mendelik ke arahnya tajam. Aku tak mengerti bagaimana dia bisa berpikiran  jika Hendra ke sana sambil cuci mata? Hendra ke sana untuk tugas, bukan untuk liburan. Tapi tunggu, bagaimana jika apa yang dikatakan Yoga benar adanya? Bagaimana jika Hendra cuci mata dan menggoda perempuan-perempuan bule yang hanya mengenakan bikini? "Tidak mungkin, Hendra pria yang setia," gumamku lirih sambil menggelengkan kepalaku dengan kuat. "Kenapa kak kok geleng-geleng kepala sih? Kepikiran soal Kak Hendra ya takut seperti yang duduk di sono?" tanya Yoga lagi sambil matanya mengerling ke tempat duduk di mana Wilman masih menikmati makanan yang ada di hadapannya sambil sesekali menatap ke arahku dan Yoga. "Hendra bukan laki-laki b******k model dia," kataku dengan tegas. Seketika aku melihat Wilman beranjak dari duduknya dan berjalan ke arahku. Sepertinya dia mendengar apa yang aku katakan barusan. Alih-alih salah tingkah, aku malah cuek dengan hal itu dan terus memainkan makanan yang ada di hadapanku. "Tadi kamu bilang aku b******k?" tanya Wilman yang sudah berdiri di sampingku. "Tak penting aku bilang kamu seperti apa!" kataku sambil beranjak dari dudukku, "Kakak tunggu di depan Yog." Aku berjalan menuju ke arah kasir dan langsung menanyakan jumalh yang harus aku bayar. Aku memang tak ingin berbicara dengan Wilman hingga menghindar menjadi hal terbaik yang bisa aku ambil. Setelah membayar semuanya aku segera berjalan ke pelataran parkir. Dengan ujung mataku aku masih dapat melihat jika Wilman sedikit kesal dengan sikapku, dia berusaha mengejarku namun Yoga menghalangi langkahnya. "Kita ke mana lagi Kak?" tanya Yoga setelah berada di hdapanku. "Pulang!" "Lho gak lanjut jalan-jalan lagi biar otaknya fresh?" "Kakak mau pulang!" Yoga tidak membantah lagi, dia segera mengenakan helmnya dan duduk di atas motor. Aku pun segera naik di boncengan Yoga. Selama perjalanan pulang entah kenapa aku benar-benar merasakan suatu kesesihan yang teramat. Hatiku berat melepas Hendra bertugas dan merasa akan ada sesuatu yang terjadi pada Arjunaku itu. "Tuhan lindungi Hendra," do'aku dalam hati. Tanpa terasa cairan bening dan panas mulai membasahi pipiku. Ya, aku menangis untuk pertama kalinya hanya karena Hendra akan pergi bertugas. "Sudahlah Kak jangan nangis, seperti pertama kalinya saja Kakak di tinggal tugas sama Kak Hendra," kata Yoga yang sepertinya menyadari jika aku tengah menangis karen kepergian Hendra. Tapi benar kata Yoga, ini adalah bukan kali pertama aku di tinggal tugas. Sebelumnya Hendra sering kali pergi walau untuk kasus yang berbeda, tapi kali ini tetap rasanya sangat berbeda. Tak lama kemudian kami telah sampai di rumah. Tanpa menghiraukan Mama yang sedang berdiri di teras, aku langsung berjalan menuju kamarku sambil sesekali menghapus air mata yang jatuh membasahi pipiku. "Kakakmu kenapa Yog, kalian berantem lagi?" samar aku mendengar pertanyaan Mama. "Kak Hendra mau tugas ke Pulau Y," jawab Yoga. Aku terus berjalan menuju kamarku tanpa menghiraukan pembicaraan antara Mama dan Yoga. Saat ini aku hanya ingin menyendiri dan menangis sepuasnya. Kring ... ponselku tiba-tiba berbunyi saat aku baru sampai di kamarku. Aku melihat nama Hendra terpampang di layar ponsel. Perlahan aku menghapus mutiara bening dan cair yang membasahi pipiku sebelum akhirnya aku mengangkat telpon dari Hendra. "Hallo Hen," kataku saat mengangkat telpon dari Hendra. "Kamu habis nangis ya Di, kenapa?" tanya Hendra yang seolah tahu jika aku sedang menangis padahal kami tidak sedang melakukan vidio call "Tidak kok," jawabku bohong "Suaramu sumbang begitu Di, ayo cerita kenapa kamu menangis?" desak Hendra. Aku ingin berbohong pada Hendra agar dia tak tahu apa alasan sesungguhnya aku menangis. Jika Hendra sampai tahu kenapa aku menangis,maka sudah barang pasti dia akan tertawa. Tapi aku tak pernah berhasil berbohong pada Hendra karena dia pasti tahu mana kata-kata jujurku dan mana kebohonganku. "Aku ... aku ...," kataku terbata karen bingung harus di mulai dari mana. "Katakan ada apa?" tanya Hendra dengan suara cemas. "Aku takut kamu kenapa-napa di sana, memang gak bisa ya di ganti yang lain?" akhirnya kata-kata itu keluar juga. "Hhhhmmmm ... tidak bisa sayang, ini sudah menjadi tugasku. Memangnya kenapa kamu keberatan?" tanya Hendra menelisik. "Entahlah,rasanya tidak enak saja melepasmu pergi ke sana," kataku sambil menundukkan kepalaku melihat lantai kamar yang tertutup karpet bercorak Hello Kitty. "Kenapa sayang tumben kamu bicara seperri itu?" "Entahlah Hen, rasanya aku berat saja melepasmu ke sana." "Kamu cemburu kali karena di sana tempat oara turis berlibur." Kesal, itu yang aku rasakan kali ini. Aku yang sesang gundah gulana memikirkan dia, tapi orang yang dikhawatirkan malah ngajak bercanda. "Bukan gitu Hen, kita bentar lagi nikah, jadi ...," kataku yag merasa ragu dengan apa yang akan aku katakan selanjutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD