SR-12

1003 Words
Keesokan harinya. Setelah makan malam, mereka dipanggil oleh Rana ke ruangan. Alan dan Shera tidak tahu alasan mereka didudukkan bersama saat ini. Rana tersenyum lebar melihat mereka bergantian. Kini giliran Alan dan Shera yang melirik satu sama lain. Rana pun tertawa ringan. "Bagaimana harimu di sini, Shera?" tanyanya. "Baik, Bu. Saya mulai betah." "Apa Alan memperlakukanmu dengan baik?" Shera melirik ke arah pria itu, sedikit naik sudut bibir kirinya. "Hehe, baik, Bu!" "Baguslah! Selanjutnya kalian harus saling melindungi dan menjaga. Shera ini menderita suatu phobia yang menakutkan. Dia tidak berani dalam kegelapan." Alan tertawa dalam hatinya, Dia juga sudah merepotkanku berkali-kali. "Ibu tahu juga masalah itu?" tanya Shera kaget. "Ya, dari surat papamu kemarin." "Ooh." Mulut Seira terbuka lebar. Rana memberikan surat pada mereka, satu dari papanya Shera dan yang satu dari ayahnya Alan. "Apa ini, Bu?" tanya mereka bersamaan. Rana sontak tertawa. "Haha, Kalian lucu, bisa serentak gitu." Shera tersenyum, tetapi Alan malah mengerutkan alis menatap ke surat itu. "Baca lah!" perintahnya. Mereka saling berpandangan sebelum membukanya. Perasaan Shera dan Alan tidak enak. Mata mereka terpaku melihat dari arah kiri ke kanan terus menerus. Matanya perlahan membesar, nafasnya juga bergemuruh. “Tidak mungkin,” timpal Alan meletakkan lagi sepucuk surat itu ke meja kemudian melihat ke arah Rana yang tersenyum padanya. “Apanya yang tidak mungkin?” tanya Rana. “Aku tidak mau nikah muda!” tambahnya lagi menolak isi surat tersebut. Shera mematung. Dia membaca surat dari papanya yang berisi mengenai perjodohan. Di umurnya yang masih 20 tahun, Shera rasanya masih ingin bermain dan belajar serta bekerja. Jika dia menikah sekarang, berarti dia akan menjadi seorang istri dan punya anak? Oke lah kalau menikah dengan orang yang dicintai, pasti akan terasa menyenangkan. Masalah terberat dari isi surat wasiat itu adalah hidup bersama dengan ALAN ZEGA! Pria yang selalu bertengkar dengannya dan tidak pernah terlintas sedikitpun rasa suka padanya walau sudah sekamar dan seminggu di sini. “Kalau kami menolak, apa yang terjadi?” tanya Shera dengan tatapan nanar. “Kalian akan kehilangan harta warisan keluarga,” jawab Rana santai. Alan dan Shera menoleh saling berpandangan. Sebuah petir menggelegar memisahkan jarak di antara mereka. Tatapan setegang aliran listrik itu saling menyetrum, menyipit dan menggerutu dalam hati. Aku tidak akan mau menjadikannya istri, huh! Bagaimana hidupku nanti bila menikah dengan wanita yang tidak bisa masak dan takut gelap? Dia juga ceroboh serta sok cantik, batin Alan mengomentari Shera. Kini gantian gadis itu yang mengoceh dalam hati. “Pria dingin, cuek, super menyebalkan dan yang sok kegantengan ini mau jadi suamiku? Cuih! Aku tidak sudi! Aku bisa dapat suami yang jauh lebih tampan dan kaya dari dia. Aku percaya kalau harta orang tuanya tak sebanyak harta papaku, gumam Shera lebih tajam. “KAMI MENOLAKNYA!” jawab mereka serentak. “Hoho, lihatlah! Kalian ini sebenarnya berjodoh, buktinya kalian bisa bersamaan menjawab pertanyaanku sejak tadi. Rana yakin mereka bisa saling menyukai setelah menikah. “Kalian punya waktu 3 hari untuk berpikir. Ingat! Jangan sampai kalian kehilangan harta warisan hanya karena ego masing-masing. Kalian diskusikan di kamar, saya mau mengurus sesuatu,” sahut Rana berdiri lalu pergi dari ruangan. Alan dan Shera masih terpaku, tangannya mengepal. Shera tersadar, memasukkan isi surat itu ke dalam amplop lalu pergi. Alan menarik tangannya, dia tidak mau didahului oleh Shera. Alan yang pergi lebih dulu dari ruangan dengan cepat, Shera terduduk dan merasa sebal pada Alan. “Ah! Kenapa aku harus mengikuti perintah papa? Hidupku harus bebas!” jerit Shera. Alan memutuskan untuk pergi dan menenangkan diri. Pria itu mengunjungi lapangan bola basket yang ada di dekat asrama mereka. Bermain sendiri, mencari keringat serta meluapkan kekesalannya dengan melempar bola itu berulang kali tapi gagal masuk, hanya menabrak papan penyanggah keranjangnya. Bryan yang berniat untuk bermain basket juga malam ini tidak sengaja bertemu sahabatnya. Bryan segera melepas jaket dan merebut bola itu dari Alan. Alan mempertahankannya lalu melemparnya ke gawang, masuk! Itu bola pertamanya setelah dari tadi kehilangan konsentrasi. “Kau baik-baik saja?” tanya Bryan melihat tubuh Alan berkeringat parah. “Ya, kenapa kau ke mari?” tanya Alan balik. “Aku ingin mencari angin, ternyata bertemu denganmu. Apa aku bisa main ke asramamu besok? Aku ingin bertemu dengan Shera,” tanya Bryan lagi. “Terserah, kalau kau mau datang, datang saja.” “Oke, deh! aku akan menjemputnya pergi ke kampus.” Alan benar-benar tidak peduli pada gadis itu. Mau pergi sendiri atau berdua atau bersepuluh, itu haknya. Alan merasa perintah kedua orang tuanya sangat kekanak-kanakan. Dia meninggalkan Bryan sendirian di lapangan. Sahabatnya bingung melihat sikap Alan yang aneh. “Dia kenapa?” tanya Bryan sembari memegang bola dan mengikuti arah Alan keluar dari lapangan tanpa pamit. Dalam perjalanan kembali, Alan menghubungi ayahnya. Tanpa menunggu lama, pria yang sedang duduk membaca buku itu menerima panggilan anaknya. “Alan,” sapanya. “Apa tujuan Ayah menyuruhku menikah?” tanyanya. “Haha, ternyata Rana sudah memberitahukanmu,” sahutnya tertawa ringan, “Aku hanya ingin kau menikah sekarang agar aku bisa membagi surat wasiat hartaku untukmu sepenuhnya.” “Ayah, ini masih terlalu dini. Aku belum mau menikah.” “Umur kami sudah tidak lagi muda, ibumu sering sakit begitu juga aku. Takutnya kami tak bisa lagi memberikan surat ahli waris itu.” “Iya, oke, tapi kenapa harus menikah?” tanya Alan. “Karena persyaratan negara ini hanya bisa mengalihkan harta pada anak yang sudah menikah,” jawab ayahnya. “Lalu apa alasan aku harus menikahi Shera?” “Dia anak sahabat ayah, kedua orang tuanya sangat baik dan pintar berbisnis. Ayah yakin kalau dia mewarisi sifat mereka dan kalian sangat cocok. Rana sudah memberikan foto wanita itu, cantik dan berkelas.” Alan tersenyum miring kemudian mematikan panggilan tanpa kalimat mengakhiri. Alan meremas ponselnya sendiri lalu berjalan ke arah asrama. Saat dia membuka pintu, Shera duduk di ruang santai dengan posisi memegang kepalanya. Ketika Alan penasaran, dia bisa bertanya pada ayahnya. Namun, Shera hanya bisa bermain dengan pemikirannya sendiri. Menangis dan menyembunyikan kesedihan dari anak asrama termasuk Alan. Alan meninggalkannya, tidak mau mengurus hidupnya lagi. Alan butuh istirahat agar bisa berpikir jernih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD