SR-13

1084 Words
Alan mengeraskan volume suara dari alat yang menempel di lubang telinganya, sambil merebahkan diri. Tak lama kemudian, Alan pun memutuskan mandi, sambil berpikir tentang permintaan ayahnya berulang kali dilontarkan. Tetap saja dia tidak menyetujui masalah pernikahan ini. Pintu kamar terbuka, suaranya sedikit kuat karena Shera membenturkannya ke dinding. Gadis itu melihat Alan memejamkan mata. Dia ingin bicara lalu membangunkannya. Tangannya memukul tulang kering kanannya yang bertekuk. Alan sontak membuka mata dan menatapnya tajam. “Kenapa kau pukul aku?” tanyanya. “Aku mau bicara, duduklah.” Alan bangkit dengan malasnya, memperhatikan gerakan Shera yang sedang berjalan ke arah meja belajar dan menarik kursinya lalu menggeret benda itu ke samping tempat tidur. Alan menghela nafas. Mau apa, sih, Dia? tanyanya dalam hati. “Aku ingin berdiskusi denganmu, bagaimana menurutmu masalah perjodohan ini?” tanyanya. “Aku jelas menolakmu, kau kira kau bisa memilikiku?” erang Alan. “Heh, kau kira aku suka padamu? Jangan sok kegantengan, deh! lebih baik aku menikah dengan orang lain ketimbang denganmu.” Shera tak mau kalah. “Baguslah! Kalau begitu besok kita akan mengatakan penolakan pada bu Rana.” “Tapi aku butuh harta papaku, itu satu-satunya pegangan supaya aku bisa melanjutkan hidup. Biaya sekarang mahal, apa-apa mahal.” Shera mengerucutkan bibir. “Aku juga tidak mungkin menyia-nyiakan warisan ayah yang melimpah,” balas Alan. “Eh, aku punya ide!” ucap Shera. “Apa itu?” mata Alan menyipit. “Bagaimana kalau kita nikahnya pura-pura saja? hanya untuk mendapatkan surat warisan,” jawab Shera menaikkan alis dan tersenyum tinggi. Alan merasa itu adalah ide bagus. “Kau benar juga, kita akan buat kesepakatan untuk tetap menjalani kehidupan secara normal walau sudah menikah.” “Ya, itu benar! Kau juga jangan menyentuh tubuhku!” “Hah! Aku tak sudi,” sahut Alan tertawa renyah. “Kita juga harus buat permintaan pada bu Rana,” saran Shera lagi. “Permintaan apa?” “Kita minta acara pernikahannya tertutup dan tidak boleh ada satu pun yang tahu. Alasannya karena kita masih kuliah, malu dengan teman-teman.” “Ide cerdas!” Alan setuju. Mereka sudah menemukan solusinya. Selanjutnya Shera pun tidur karena pikirannya mulai tenang. Alan mematikan lampu, sontak Shera menjerit. Pria itu mengejarnya dan menutup mulut gadis tersebut. “Kenapa kau harus menjerit?” “Habisnya kau matikan lampu!” bentak Shera. “Aku akan menyalakan lampu tidur.” “Aku tidak mau!” “Iiisshh! Ini kamarku, kalau kau gak terima, kau bisa tidur di luar.” “Alan!” jeritnya merasa kesal dan tetap mematikan lampu utama lalu menyalakan penerang yang lebih redup. Shera mengambil bantal dan selimutnya, dia keluar dari kamar lalu memilih tidur di ruangan tengah. Ada kursi panjang yang bisa dijadikannya tempat berbaring berselimutkan kain. Shera sangat lelah, akhirnya dia terlelap sampai tidak tahu bahwa listrik padam secara keseluruhan 2 jam kemudian. Ada gangguan listrik dari trafo mesin dan sedang diperbaiki. Alan saja baru menyadari listriknya mati saat keringat bercucuran dari tubuhnya karena merasa panas. Saat Alan membuka mata, dia merasa tak ada bedanya dengan menutup mata. Semua gelap terasa. Alan mengeluarkan ponselnya, lalu menghidupkan senter. Dia melihat ke arah tempat tidur Shera yang masih kosong. Anak itu benar-benar tidur di luar? Astaga! Alan terpaksa turun lalu melihat ke luar kamar. Menggunakan senter, Alan mengarahkan pencahayaan itu ke kursi panjang dekat dengan rak buku. Shera memang terlelap sampai tidak tahu kalau ada pemadaman listrik. Alan memutuskan duduk di ujung, berniat menjaga dan mengawasi Shera yang bisa saja menjerit karena ketakutan. Alan yang masih mengantuk, tertidur dengan posisi kepala bersandar ke permukaan meja beralaskan tangan sendiri. Tiba-tiba, Alan mendengar suara benda jatuh. Alan terbangun dan segera melihat Shera. “Ma!” ucapnya sendiri sambil menggeletar. Alan menyalakan senternya kemudian mengarahkannya pada Shera. “Ada pemadaman listrik, kau mau tidur di sini atau di kamar?” Shera tidak mendengarnya karena phobia ruangan gelapnya muncul. Dia merasa di mana-mana ada mereka, si makhluk tak kasat mata. Shera histeris sendiri meski suaranya lemah. Shera gemetaran, matanya terbelalak sampai menetes air mata, tetapi mulutnya terbungkam untuk menjerit. Dalam pikirannya, ada sosok yang membekap mulutnya, hingga tidak bisa mengeluarkan suara. Melihat Shera seperti orang kesurupan, Alan segera mendekat dan mengarahkan lampu padanya. Alan memeluknya. “Shera, Hei! Shera,” panggilnya sambil menepuk pipi. Alan melepas dekapannya dan duduk di hadapannya. Cahaya itu dia dekatkan ke wajah mereka. “Shera, ini aku, Alan!” ucapnya beberapa kali. Setelah berusaha menyadarkan gadis itu, akhirnya dia sadar dan merengek lalu memeluk Alan dengan erat. “Alan!” Shera membenamkan dirinya ke tubuh pria itu. Alan memegang kepalanya lalu tetap mengarahkan cahaya itu padanya. “Kita masuk ke kamar ya,” ajaknya. Shera mengangguk. Alan membantunya berdiri, tetapi kakinya lemas. Alan memintanya memegang ponsel miliknya lalu pria itu pun menggendong Shera. Shera tidak keberatan karena tubuhnya lemas tak berdaya dalam keadaan gelap gulita seperti tadi. Shera menyandarkan kepalanya ke bahu Alan. Mereka masuk lalu Alan meletakkannya ke tempat tidur. “Alan! Jangan tinggalkan aku,” katanya. Pria itu mengangguk. Melihat ekspresi Shera yang menakutkan, tak ingin rasanya membuat gadis itu tersakiti oleh pikirannya sendiri. “Aku akan melihatmu dari tempat tidurku,” kata Alan. Shera menarik tangannya, menggeleng cepat. “Aku takut.” “Jadi maumu apa?” Shera juga bingung, tak mungkin dia minta Alan tidur di sampingnya. Shera menggeleng, tidak mau mengutarakan keinginannya. Bukan karena dia ingin merebut kesempatan untuk berduaan, tetapi memang dia butuh teman yang jaraknya sangat dekat demi menghilangkan rasa takut ini. Shera menahan diri dari rasa takut meski sudah berada di kamar dan mengetahui bahwa Alan kembali ke tempat tidurnya. Alan berbaring menghadapnya, melihat Shera duduk menatap ke arah langit-langit. Pandangannya seakan melihat sesuatu yang menakutkan, perlahan dirinya lemas, keringat dingin dan bibirnya membiru. Alan tak mampu melihat keadaan terparah dari Shera malam ini. Sejak mengenalnya, kali ini dia seperti sedang menghadapi malaikat maut. Pria itu bangkit dari tempat tidurnya lalu menghampiri Shera. Naik ke tempat tidurnya, membentangkan lengan yang disambut oleh Shera dan mereka pun berbaring bersama. Shera menghadapkan wajahnya ke tubuh Alan, dia tidak peduli dengan pikiran yang ada pada Alan, saat ini dia hanya ingin tenang. “Alan, maafkan aku ya karena membuatmu repot,” katanya. “Kuat lah, kau bisa mengalahkan rasa takutmu.” “Dulu bibi Lara juga memelukku saat ada pemadaman listrik.” “Hmm. Kau harus bisa memerangi dirimu sendiri.” Shera mengangguk lalu perlahan memejamkan mata karena sudah merasa terlindungi. Alan menarik selimut, akhirnya tidak bisa menahan kantuk hingga terlelap bersama sampai tak menyadari kalau listriknya menyala sudah sejak satu jam sebelum subuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD