SR-14

1119 Words
Keesokan harinya. Alan melihat Bryan datang dan menjadi pusat perhatian anak asrama seperti biasanya. Pria itu tersenyum ramah dan tak jarang dia melambaikan tangan ke arah mereka. Memang Bryan termasuk orang yang sering mengunjungi sahabatnya di asrama Voilla. Kali ini dia datang bukan untuk Alan, melainkan untuk menjemput Shera pergi ke kampus. Shera dan Alan berjalan sama-sama ke gerbang, begitu melihat Bryan ada di sana, Shera pun menghentikan langkah. Alan meliriknya kemudian menghadap ke arah wanita itu. "Ada apa?" "Dia kemarin membantuku di kampus." "Oh, terus?" "Tidak ada," jawabnya menggeleng kemudian melanjutkan perjalanan. Beberapa meter di depan, Bryan sampai ke arah mereka dan segera menyapa Shera. "Hai, Shera!" Wanita itu tersenyum aneh, "H-hai, Bryan!" "Kau mau ke kampus?" tanya Bryan. "Ya, aku mau ke sana bersama Alan." Bryan melirik Alan yang membuang pandangannya. "Kalau pergi bersamaku, kau mau?" "Mmh? Kalau begitu kita pergi sama-sama saja," jawab Shera tertawa renyah. Alan tersenyum kemudian melanjutkan perjalanan. Shera mengajak Bryan untuk pergi sama-sama. "Aku bawa kendaraan, kau bisa pergi denganku dan biarkan Alan jalan kaki," kata Bryan. "Huh?" Shera pun terkejut saat melihat Bryan menunjuk ke arah mobil yang parkir di depan gerbang. "Alan ikut ya?" katanya. "Kenapa? Dia sudah biasa jalan kaki." "Ta-tapi, kasihan Alan." Shera memikirkan pria itu. Bryan menariknya paksa kemudian membawanya ke mobil. Alan hanya bisa melihatnya saja kemudian mengikuti arah mobil Bryan pergi. Alan berdecak kesal kemudian melanjutkan perjalanan. Di dalam mobil. Bryan banyak cerita tentang keadaan kampus, Shera jadi tahu kalau di sana Alan adalah mahasiswa favorit. Bryan memberi nasihat pada Shera untuk tidak jatuh cinta padanya karena kriteria Alan tidak ada padanya. "Memangnya, kriteria dia bagaimana?" tanya Shera. "Kenapa kau ingin tahu?" "Ahaha, maksudku aku juga penasaran. Teman asrama ada yang menyukai dia, kurasa dia cantik, tetapi Alan tidak menggubrisnya." Bryan langsung tertawa. "Hahaha, dia memang begitu! Cinta pertamanya ada di luar kota, sedang mengais ilmu sama seperti kita." "Oh, ternyata dia sudah punya pacar. Pantas saja dia cuek pada perempuan lain." "Hmm, dia tipe pria setia." "Wah, keren!" "Jadi, kau tidak perlu jatuh hati padanya karena dia sudah pasti memilih kekasihnya." Shera pun mengangguk. "Ya, tentu. Aku tidak mungkin menyukainya. Dia suka marah, galak, dan kejam!" sahutnya, meski dia baru menyadari kebaikan Alan tadi malam. Bibir Shera langsung terkatup saat mengingat momen tadi malam yang membuatnya tidur dalam pelukan Alan. "Kau mau makan malam bersamaku?" "Huh?" Shera kaget karena pertanyaannya menyadarkan dia dari lamunan. "Jangan pikir yang aneh-aneh, makan malam untuk meresmikan pertemanan kita." "Oh, begitu. Haha, baiklah. Eh, tapi aturan di asrama Voilla harus makan malam bersama. Sepertinya aku tidak bisa." "Oke, kalau begitu kita bertemu di lapangan olahraga asrama. Aku bawakan kau makanan ringan terlezat di sini, sekaligus kita akan bermain basket." "Haha, aku tidak pandai." "Aku ajarin." Shera tersenyum, mengangguk setuju. Menurutnya kalau Bryan yang mengunjungi asrama tidak masalah, tetapi kalau dia keluar dari asrama, tentu akan bermasalah. Sesampainya di kampus. Shera terkejut melihat Alan sudah tiba di kelas lebih dulu darinya. Padahal, dia naik mobil sementara Alan jalan kaki. Shera meliriknya, tetapi pria itu tidak membalas tatapannya. Di telinga Alan ada headset berwarna hitam, tangannya pun sedang menggoreskan pensil di kertas. Shera duduk kemudian Joanna menyapanya. Mereka bercengkrama dengan riang sampai tawanya terdengar ke telinga Alan yang sudah tertutupi benda kecil itu. Alan menoleh sejenak dan memalingkan wajahnya lagi. Saat istirahat tiba, Shera memutuskan untuk tidak pergi ke kantin karena mengingat uang jajannya sudah berkurang drastis. Tersisa beberapa dollar saja. Sejak papanya meninggal, baru ini dia memegang uang dengan jumlah kurang dari 1000 dollar. Rasanya dia harus berhemat. Alan dihampiri wanita yang membawa bingkisan. Mereka menyapa Alan sangat manis. Parfumnya juga semerbak, sampai ke hidung Shera yang duduk di depannya. Alan menerima bingkisan itu meski dia tidak menjawab apa pun dari ucapan wanita itu. Setelah perempuan-perempuan itu keluar, Alan melemparkan tiga kotak itu ke arah Shera. "Eh, kenapa kau berikan padaku?" "Aku tidak butuh, mungkin saja kau mau." "Serius? Aku buka ya?" "Hmm." Shera membuka bingkisan itu di depannya kemudian melihat ada jam tangan mewah, sapu tangan dan, sekotak celana dalam. Shera sontak terbahak-bahak melihatnya. Alan langsung mendatanginya dan berdiri di depannya. "Simpan dalam tasmu, kau buang saja nanti ke tempat seharusnya," kata Alan. "Kenapa dibuang? Mungkin bermanfaat dan muat untukmu." "Shera!" "Haha, maaf!" "Hebat sekali mereka, ternyata mereka mengukur milikmu." Shera malah menatapnya. Alan melotot kemudian menyuruhnya berdiri, "Ikut aku!" perintahnya. Shera tidak mau, dia menggelengkan kepala. Alan memasukkan semua benda di mejanya ke dalam tas dan memberikan tas itu pada Shera kemudian menarik Shera pergi. "Mau ke mana?" "Menghukummu!" Orang-orang melihat mereka, terutama wanita-wanita yang menyukai Alan. Mereka tampak tak suka pada cara Alan menarik Shera. Namun, Alan tidak peduli. Pria itu memaksanya masuk ke sebuah ruangan yang tidak diketahui Shera. Alan mengunci pintunya dan Shera pun ketakutan. Ruangan tanpa cahaya itu sengaja dipilih Alan untuk menghukumnya. "Alan, aku mau keluar. Jangan tempatkan aku di ruangan seperti ini!" jerit Shera. "Kau kira aku senang mendapat hadiah seperti itu? Kenapa kau menertawaiku?" "Maaf, Alan! Aku tidak sengaja." "Kau tahu kalau aku tidak minta mereka memberiku barang-barang itu?" "Ya, aku tahu." "Lantas kenapa kau menertawaiku?" Shera mencari keberadaan Alan. Mendapatkan bajunya, Shera pun mendekat. "Aku minta maaf, aku minta maaf. Bisa kita keluar?" "Kau akan di sini sampai satu jam ke depan," jawabnya. "Tidak, aku tidak mau. Alan kumohon, jangan hukum aku dengan cara seperti ini. Beri aku hukuman lain. Alan!" Shera benar-benar ketakutan. "Cium aku," pinta Alan iseng kemudian tersenyum. Alan tahu Shera tak akan menurutinya. Shera meremas bajunya, memikirkan permintaannya itu. Alan pun merasa sudah keterlaluan padanya kemudian berniat mengeluarkannya. Namun, saat Alan membuka pintu, Shera berpikiran kalau Alan akan meninggalkannya. Dengan cepat Shera menutup pintunya kembali dan mendorong Alan ke balik pintu tersebut kemudian memegang kedua pipinya. Meski tidak melihat apa pun, Shera bisa merasakan nafas pria itu dan juga hangatnya pancaran energi dari tubuh Alan. Shera mendekat, tetapi tidak mendaratkan bibirnya dengan cepat. Alan pun merasa gugup. Tidak menduga kalau Shera serius karena rasa takutnya. "Ini ciuman pertamaku," ucapnya kemudian menautkannya ke bibir Alan. Pria tersebut melotot dan tidak menduga kalau dia mengatakan hal itu. Alan melingkarkan tangannya di pinggang Shera kemudian menyambut ciuman itu dengan hangat. Meski Shera terkesan kaku, Alan mengajarinya cara terbaik menyatukan pagutan itu. Shera melepasnya dan mengalihkan wajah yang sudah memerah walau Alan tidak melihatnya. "Bisa kita keluar?" tanya Shera mengulum bibirnya, bekas lumatan Alan. "Baiklah." Alan setuju dan memegang tangannya. Saat pintu dibuka, mereka pun keluar. Posisi canggung itu terasa di antara mereka. Alan melihat wajah dan juga bibir yang sudah berani menghampirinya lebih dulu. Shera mengusap sekitar bibir merahnya tersebut kemudian pergi. Alan menutup mata, waktu terasa melambat. Aliran deras terasa di dalam jantungnya karena berdenyut cepat. Wanita itu, kenapa polos sekali? Bahaya bila Bryan mendekatinya. Dia akan terjebak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD