SR-9

1608 Words
Alan pergi begitu saja tanpa mempedulikan Shera yang tidak tahu arah ke kampus. Secepat kilat, Shera kehilangan jejak pria itu. Shera pun bertanya-tanya jalur tercepat menuju Universitas Rustig, mereka bilang tak ada jalan potong, hanya melalui jalan normal saja sekitar 10 menit. "10 menit? Jalan?" tanya Shera kaget. Mereka mengangguk. Sayangnya anak yang ditanya oleh Shera tak kuliah di sana, tetapi di universitas lainnya. Mengikuti arah yang dijelaskan oleh 2 orang tadi, Shera mengerahkan tenaganya untuk tiba di sana tepat waktu. Melalui jembatan penyebrangan, Shera turun ke sisi lain lalu melewati pertokoan dan akhirnya tiba di depan kampus. Shera masuk ke pintu gerbang, memberi salam pada satpamnya. Tak ingin tersesat di gedung yang besar ini, Shera memutuskan bertanya. "Maaf, Pak! Saya ingin bertanya, kalau ke jurusan ekonomi di mana ya?" tanyanya. Pria berumur sekitar 40 tahun itu menunjukkan arahnya, Shera mengikuti instruksinya kemudian mengucapkan terima kasih. Langkahnya dipercepat, jam tangannya menunjukkan pukul 9 lewat 45 menit. Sementara jadwal masuknya pukul 10 pagi. Shera berlari dan menabrak beberapa orang, dia berbalik lalu minta maaf. Tubuhnya sangat lelah karena tidak terbiasa bekerja keras. Dari semalam di suruh bersihkan ruangan makan dan kamar mandi, sama halnya tadi pagi juga membersihkan ruang makan setelah sarapan. Kini dia harus berlari mulai dari asrama hingga ke kampus. Shera merasa lemas di lututnya. Gadis itu pun tersungkur di lorong menuju kelasnya di lantai 3. Shera menahan tubuh dengan siku ketika dia mendesah kesakitan. Orang-orang disekitarnya hanya melihat saja tanpa membantunya berdiri. Shera terduduk lalu menatap tangannya yang terluka. Shera melihat ada tangan yang menjulur padanya, berniat membantu untuk berdiri. Shera menggenggamnya kemudian ditarik olehnya. Shera terkejut, matanya langsung terbelalak sempurna. Seorang pria tampan menolongnya. Penampilannya seperti aktor komik, sangat memperhatikan penampilan, rambutnya berwarna abu muda. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Seketika Shera terpelongo karena terpesona pada penampilannya. "Hehe, tidak apa-apa,” jawabnya. “Kau yakin?” tanyanya. “Ya, aku hanya jatuh dan itu tidak membuatku terluka,” jawabnya lagi menutupi kebenaran. Pria itu menarik tangannya lalu menekuk lengan Shera. Dia melihat sikunya berdarah. Dia malah tertawa renyah. “Kau terluka, kenapa kau bilang kalau kau baik-baik saja?” tanyanya. Shera menarik tangannya. “Hanya luka kecil, tidak masalah. Nanti juga kering sendiri,” sahutnya tersenyum. “Aku Bryan.” Pria itu memperkenalkan namanya. Shera menyahutnya, “Shera.” “Wah, nama yang bagus.” Shera tersenyum lalu dia teringat pada jadwal kuliahnya. “Mmh, maaf! Lain kali kita bisa bicara lagi? sekarang aku mau masuk kuliah, waktunya sangat terburu-buru.” “Oh, begitu, ngomong-ngomong, kau anak mana?” tanya Bryan. “Bisnis, pagi ini masuk di ruangan 109.” Bryan menaikkan alisnya mendengar jurusan dan ruangan tersebut. “Kau anak bisnis? Kenapa aku baru lihat?” tanya Bryan. “Ya, aku mahasiswi baru.” “Oh, itu ruanganmu,” tunjuk Bryan ke arah belakang Shera. Gadis itu menoleh dan menyipit, meringis sedih karena sudah melewati ruangan yang dicarinya. Segera dia pamit dan pergi ke kelasnya. Di depan pintu, Shera menoleh lagi pada pria tampan yang telah menolongnya tadi. Bryan menyambut tatapannya dengan senyuman. Shera sontak malu karena ketahuan memperhatikan lalu masuk ke dalam kelas. Semua menatap ke arahnya. Dia menunduk lalu mencari tempat duduk ternyaman. Ketika Shera ingin menyandarkan tubuhnya ke kursi, tiba-tiba saja seseorang melarangnya. “Maaf, ini punya temanku.” “Oh, maaf saya tidak tahu.” Shera lalu melihat ke arah lain. Tepat di dekat jendela ada satu kursi kosong. Di belakangnya ada seorang pria yang sedang tidur dengan posisi tangan menyembunyikan wajahnya. Gadis itu berjalan ke arah sana lalu bertanya dengan wanita yang duduk di depan kursi tersebut. “Apa kursi ini ada pemiliknya?” tanyanya. “Tidak ada,” jawabnya tersenyum. Shera langsung meletak tas dan duduk di sana. “Kau anak baru?” tanyanya. “Ya, perkenalkan namaku Shera.” Wanita itu menyambut tangannya. “Aku Joanna.” Shera menganga, mencoba menerima perkenalannya, sambil manggut lalu tersenyum. “Makasih sudah mau berkenalan denganku.” “Haha, santai saja.” Shera melihat ke arah jendela. Dia bisa menatap ke arah lapangan olahraga di luar. Banyak mahasiswa melakukan kegiatan, ada yang berlari, latihan otot dan bermain bola. Kehadirannya dengan aroma khas bunga lily membuat seseorang yang berada di belakangnya terbangun. Dia hapal betul aroma ini. begitu kepalanya terangkat, pria itu mengulum bibirnya sendiri lalu berdecak ringan. Shera mengeluarkan buku catatan dan kotak pulpennya. Saat hendak mengeluarkan satu pulpen dari dalam pouch, benda itu malah jatuh ke sisi kanan lantai. Shera mengambilnya, tetapi seseorang menginjak jarinya dengan kuat. Shera menjerit tanpa suara dan segera menarik tangannya lagi, lalu mengibas-ngibas jarinya yang ditekan oleh seorang mahasiswa dikelasnya. Shera lantas menoleh, sejenak dia melihat wajah yang dikenalnya. “Seperti Alan?” tanyanya sendiri, seolah sulit mendeteksi wajah pria yang sedang menggunakan topi tersebut. Joanna mendengar ucapannya dan langsung menyahut, “Memang Alan. Dia Alan Zega, pria tampan yang misterius. Pendiam, tapi galak!” Shera tercengang, Huh? Aku bahkan satu kelas sama dia? Astaga! Mimpi buruk apa ini? kuharap aku bisa lepas dari dia sedetik aja. Kenapa malah terus bersama seperti ini? Haha, Di kampus Alan juga dikenal galak? Ternyata memang dia menyebalkan! gerutu Shera mengerucutkan bibirnya. Gadis itu mendadak tidak semangat menjalani hari pertamanya di kampus. Alan meliriknya kaku dan berpura-pura tidak mengenalnya. 5 menit kemudian dosen masuk dan memanggil Alan ke depan. Tanpa menunggu terlalu lama, Alan segera menuruti panggilan itu dan dia dimeminta membagikan kertas pada semua mahasiswa di kelas. Alan langsung berkeliling membagikan kertas itu dan berhenti sedikit lama di depan Shera, tetapi malah dibalas dengan sinis. Shera menarik diri dan jadi lebih kaku. Shera menunduk lalu menanti kertas miliknya datang. Alan memberikannya kertas itu beserta 2 buah plaster. Shera sontak kaget dan menoleh ke belakang. “Untuk apa plaster ini?” tanyanya saat Alan baru saja duduk. Namun, sayangnya Alan tidak menyahutnya kemudian memilih membaca isi lembaran yang baru saja dibagikannya. Shera berbalik arah lagi, memegangi plaster yang ada di tangannya. Dia baru sadar kalau sikunya masih terluka dan meneteskan darah. Apa dia melihat tanganku berdarah makanya dia memberikan ini? tanya Shera dalam hati lalu melirik singkat ke Alan. Dibalik cuek dan dinginnya Alan, masih terselip perhatian dan rasa kasihan. Shera menoleh padanya. “Makasih ya untuk plasternya,” ucapnya pelan. Alan menatap singkat lalu membuang tatapan itu ke arah meja. Bibirnya tidak bergerak sama sekali, hanya mengatup rapat. Wajahnya juga datar seperti aspal jalan raya. Shera mengoyak kemasan plaster itu, lalu menutupi lukanya. Alan melihat gerakannya dari belakang. Plaster bergambar dinosaurus itu sudah menempel di kulitnya. Alan memang memperhatikan kejadian tadi dari pintu ruangan, tetapi dia tidak menolongnya sebab Bryan sudah lebih dulu membantunya. Saat istirahat, Joanna mengajaknya ke kantin. Wanita itu tampaknya tidak punya teman di kelas ini karena tidak ada yang menghampirinya. Shera tidak menolaknya, dia berdiri dan hendak berjalan, tetapi Alan malah menarik tasnya untuk ikut bersama dirinya, tetapi caranya sangat kasar. “Eehh!” Shera yang kaget terpaksa mengayunkan tungkai bersama dengannya. Joanna menyipit, alisnya bergelombang. “Mereka saling kenal?” tanya wanita itu heran sendiri. Alan menariknya keluar kelas dan membawanya ke bawah tangga. Tubuh Shera terhempas kuat ke dinding karena Alan mendorongnya terlalu kuat. “Kau mau apa? Tak bisa kah aku lepas darimu sebentar saja? aku juga punya kehidupan!” pekik Shera. “Jangan berteman dengan Joanna,” jawabnya. Shera bingung, dia menariknya kuat sampai ke sini hanya untuk menyampaikan hal itu saja. “Kenapa rupanya?” tanya Shera. “Kau membangkang? Sudah kukatakan kau harus menurutiku.” Shera membantahnya. “Aku hanya akan menurutimu di asrama, tidak di luar asrama!” bentaknya dengan berani lalu meninggalkan Alan. Pria itu tercengang lalu tertawa miring. Matanya berkedip beberapa kali dan rahangnya masih terbuka beberapa detik, karena Alan masih saja terkejut pada perlawanan Shera. Alan meninggalkan lokasi pertengkaran mereka dan menghubungi seseorang. “Kau di mana?” “Lapangan basket, kemarilah!” “Oke.” Alan mematikan ponselnya dan menghampiri sahabatnya. Beberapa menit kemudian Alan tiba di lapangan basket. Dia melihat sahabatnya sedang memantulkan bola basket. Alan melepas jaketnya lalu meletakkannya bersama tas di atas kursi. Dia pun ikut bermain dengan Bryan di lapangan. Bryan mengoper bola padanya lalu Alan memasukkannya ke dalam ring. “Kau punya teman baru di kelas?” tanya Bryan. Alan menghentikan bola yang sedang dipantulkannya. “Dari mana kau tahu?” tanyanya. “Haha, aku bertemu dengannya saat jatuh di lorong kelasmu.” Alan mengerutkan alisnya lalu menjatuhkan bola itu dan memantulkannya lagi. Bryan mengejarnya, Alan berusaha menghindarinya. “Dia cantik, siapa namanya?” tanya Bryan mengetes Alan. Alan diam saja, tidak menjawabnya. Dia hanya melanjutkan permainan dan bolanya dirampas oleh Bryan lalu memasukkannya ke dalam keranjang. “Kalian tidak saling kenal?” tanya Bryan. “Buat apa kau tanya tentang dia? Kau suka?” tanya Alan. “Lumayan bagus badannya, wajahnya juga cantik. Kalau boleh, kau bantu aku mendapatkannya,” pinta Bryan. Alan tertawa miring. “Cari saja wanita lain, dia tidak bisa kau miliki.” “Oh, kau kenal dengannya?” tanya Bryan. Kini dia tau kalau Alan mengenalnya, tapi berpura-pura tidak tahu. “Dia anak baru di asrama kami,” jawab Alan. “Haha, bagus lah! Kalau begitu aku bisa sering main ke asramamu dan mendekatinya.” Alan menggeleng kepala. “Dia bukan wanita yang bisa kau ajak bermain.” “Dari mana kau tahu?” tanya Bryan. “Menurutku seperti itu.” “Haha, tak ada yang tak bisa bertekuk lutut di hadapanku. Kupastikan dia akan kudapatkan!” kata Bryan lalu melempar bola terakhir mereka sebelum pergi dari lapangan basket tersebut. Alan ditinggal begitu saja oleh Bryan karena sahabatnya akan masuk ke kelas. Alan menghembuskan nafas. Dia tau kalau Bryan bukan pria yang bisa menjaga wanita. Setiap pria yang didekatinya akan berakhir di tempat tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD