SR-10

1635 Words
Shera tidak memedulikan perkataan Alan untuk menjauhi Joanna, dia malah menghampiri wanita itu di kantin. Joanna menyapanya ramah lalu mengajaknya pesan makanan. Mereka duduk bersama di meja nomor 23 dekat dengan jendela. “Jadi, kau kenal dengan Alan?” tanya Joanna. “Ya, dia satu asrama denganku,” jawab Shera. “Oh, begitu.” Joanna menggigit bibirnya lalu memutar jarinya yang berdiri di atas meja. “Kenapa kau pindah ke mari?” tanya Joanna. “Aku hanya menuruti keinginan papaku,” jawab Shera tersenyum. “Gadis baik! Kau gadis penurut.” Shera tersenyum lagi padanya. “Kau asli dari Rustig?” tanyanya. “Ya, mama dan papaku dari sini, otomatis aku juga anak Rustig. Haha.” Shera ikut tertawa. “Kenapa sendirian ke kantin? tidak ada teman?” tanyanya. “Haha, temanku ada, tapi di beda jurusan. Aku kurang nyaman berteman dengan mereka yang ada di kelas kita. Suka pilih-pilih kasih,” jawabnya dengan ekspresi aneh, bibirnya menurun dan seolah benci. Shera mengerutkan matanya sebentar kemudian tersenyum. “Memangnya mereka pilih kasih sampai memusuhi orang yang tidak mereka suka?” tanya Shera. “Ya, begitu lah. Terkadang ada juga yang menyesatkan.” “Masa, sih?” “Ya, hati-hati berteman dengan mereka.” Joanna memberi peringatan, Shera tidak bisa menerimanya begitu saja karena dia masih baru di sini. Dia akan menangkap semua informasi lalu melihat kebenarannya seiring berjalannya waktu. “Nanti malam aku dan temanku mengadakan pesta, apa kau mau ikut?” tanyanya. “Haha, kayaknya tidak bisa. Asramaku ketat sekali peraturannya. Aku tidak boleh keluar di atas jam 6 sore.” “Wah, sayang sekali, berarti lain waktu ya, aku ajak jalan.” “Terima kasih atas tawarannya,” sahut Shera. Shera melalui perkuliahannya dengan aman. Alan tidak memedulikannya setelah Shera berani membentaknya tadi pagi. Begitu jadwal kuliah selesai, Alan langsung pergi. Shera melihatnya berjalan dengan tergesa-gesa. Shera penasaran lalu mengikuti Alan diam-diam. Pria itu menuruni anak tangga kemudian menyapa beberapa teman prianya lalu berlari kecil ke arah lapangan olahraga. Alan keluar dari pintu belakang. Shera mengikutinya dengan mengendap-endap. Jalanannya sangat sepi, gadis itu bingung dengan tujuannya ke arah belakang kampus. Tempatnya senyap, jalan di antara dua bangunan yang pintu belakangnya tertutup rapat membuat semakin menyeramkan untuk Shera. Alan tidak sengaja melihat bayangan Shera dari pantulan kaca jendela. Decak kecil terdengar dari mulutnya kala mengetahui kalau gadis itu mengikutinya. Kenapa dia harus ikut? tanya Alan dalam hati. Alan berusaha lari agar menghilangkan jejak dari Shera. Dia akan melakukan sebuah misi rahasianya. Alan berhasil kabur, Shera berhenti di persimpangan. Melongok ke kanan dan kiri mencari bayangan pria itu lagi. “Ya, dia ke mana?” tanya Shera sedih kemudian menoleh ke belakang. Dia baru sadar kalau jarak kampus dan posisinya saat ini sudah sangat jauh. Shera pun tidak ingat kembali lagi ke pintu belakang tadi. Bagaimana caranya aku balik ke kampus? Atau aku cari jalan lain ke asrama? Shera tidak mau ambil risiko lebih besar tanpa ada yang melindunginya. Dia memutuskan kembali ke jalur awal, mencoba mengingat apa yang sudah dilihatnya tadi sejak mengikuti Alan. “Ke kanan kayaknya,” tanyanya sendiri sambil berjalan. Setelah melalui beberapa liku jalan sempit, dia baru menyadari kalau tersesat. “Astaga! Aku salah jalan.” Shera kembali lagi ke posisi awal dia belok ke kanan tadi. Dia berhasil menemukan jalur awalnya dan lanjut ke arah yang benar. Shera hampir sampai ke pintu belakang lapangan olahraga. Gadis itu berusaha membuka gerbangnya, tapi terkunci. “Lho, kenapa terkunci?” Dia ingin meminta tolong pada seseorang di sana, sayangnya tidak ada yang mendengarnya karena suasana sudah sunyi. Shera bersandar di besi pintu mengarah ke jalanan sepi tadi lagi. Hari sudah mulai redup, ketika dia melihat jam di tangannya, waktu telah masuk pukul 5 lewat 25 menit. Tidak terasa dia berkeliling di sini selama hampir setengah jam. Shera perlahan jalan dan mencari seseorang yang bisa membantunya kembali ke asrama Voilla. Gadis itu menyusuri kembali lorong jalanan yang sempit. Tiba-tiba ada seorang pria yang keluar dari pintu belakang rumahnya. “Kau sedang apa?” tanya pria itu. Shera tidak menggubrisnya karena takut, sontak dia berlari dan mengabaikan pria itu. Merasa penasaran, pria tadi mengejarnya dari belakang. Shera spontan menjerit dan lari sembarangan. Tidak melihat jalan, menghantam semua bebatuan yang ada. Jalanan yang dilaluinya sudah berganti. Tadinya rata karena beraspal, sekarang mereka masuk ke wilayah taman berbatu dan tanah yang basah. “Hei, jangan lari! Kalau kau tersesat, aku bisa menolongmu,” jerit pria itu. “Tidak perlu, aku tak butuh bantuan,” sahut Shera. Pria itu merubah niatnya menjadi jahat karena Shera mencurigainya. Mereka kejar-kejaran sampai Shera masuk ke jalan yang lain. “Tolong!” jerit Shera. Shera terjatuh dan terus mengesot sambil berbalik badan. Dia melihat pria itu semakin mendekatinya dan tangannya hampir menyentuhnya. Seseorang memegang pergelangan tangannya lalu memelintirnya dengan kuat. Shera menoleh dan melihat ke arah penyelamatnya. Pria itu adalah Alan. Shera berusaha berdiri dan mencari tempat berlindung di balik pohon. Alan menghajar pria itu dengan sekuat tenaga sampai tersungkur dan membentur batu. “Kau! Aku peringatkan padamu untuk tidak menyentuh wanita mana pun, termasuk dia!” erangnya lalu meludah ke kanan. Shera melihat wajah Alan sudah babak belur sebelum menolongnya. Gadis itu menduga dia juga baru saja bertengkar di suatu tempat tadi. Alan meninggalkan pria yang masih terduduk di tanah itu kemudian menarik Shera pergi. Tangannya dicengkram sangat kuat, Shera kesakitan, tetapi dia memahami perasaan Alan yang marah padanya karena mengikuti dan tidak bisa melindungi diri. Alan melepaskannya ketika sampai ke persimpangan jalan besar, Shera terdorong ke depan. “Kenapa kau ikuti aku?” tanya Alan. “Ba-bagaimana kau tahu?” tanya Shera sambil memegang pergelangan tangannya. “Aku melihatmu dari cermin, harusnya kau tidak perlu mengikutiku!” bentaknya. Shera sampai kaget lalu meminta maaf. Shera melihat pelipisnya berdarah dan sudut bibirnya juga terluka. Namun, gadis itu tidak berani bertanya. Alan juga melihat rok Shera koyak, bajunya kotor terkena tanah. Dia melepaskan jaket yang dipakainya lalu memberikannya pada Shera kemudian pergi meninggalkan wanita itu. Shera mengambil jaketnya lalu melihat ke arah bajunya. Dia paham alasan Alan memberikan miliknya agar bisa dipakai untuk menutupi rok yang sobek. Shera segera melilit jaket itu ke pinggangnya, menutupi bagian yang rusak. Shera berjalan mengejar Alan kemudian mereka melangkah bersama-sama. “Aku haus, boleh beli minum dulu?” tanya Shera. Alan menghentikan langkah dan menunjuk ke arah kanan. Ada toko penjual minuman di sana. Shera mengangguk dan segera menyebrang jalan untuk membeli minuman. “Mau yang mana?” tanya penjualnya. “2 teh mangga,” jawab Shera. “Tunggu sebentar, ya!” pria itu membuatkannya, lirikannya sesekali ke arah pakaian Shera yang berantakan. “Habis jatuh?” tanyanya. “Haha, iya. Aku terlalu ceroboh,” jawabnya tertawa malu. Pria itu tersenyum kemudian memberikan pesanannya. Shera membayar uangnya lalu pergi dari toko itu dan menyebrang kembali, menghampiri Alan. “Ini untukmu,” ujarnya memberikan satu untuk pria yang tengah melipat tangannya ke perut. Alan menerimanya. “Terima kasih sudah membantuku, maaf karena membuatmu repot,” ujar Shera. “Bukannya kau yang bilang tadi, kalau kau tidak mau diganggu dan punya kehidupan sendiri?” sahut Alan. Shera manyun lalu memikirkan cara untuk lepas dari serangan balik ucapannya tadi. Shera menunjuk ke arah kanan dan segera jalan meninggalkannya, memilih diam tanpa membalas perkataannya itu. Decak kesal Alan terdengar lalu dia mengejar langkah Shera. Sayangnya gadis itu salah jalan, Alan berbelok tanpa memanggilnya. Shera yang sedang senyum sendiri seketika berhenti karena tidak mendengar tapak kaki di belakangnya. Shera menoleh dan tidak lagi melihat Alan. Gadis itu mencarinya ke semua tempat, akhirnya dia melihat Alan sudah menyebrang jalan di sisi kanan. “Hah! Terbuat dari apa dia? Kenapa bisa tega meninggalkan teman sekamarnya seperti ini?!” Shera segera menyusul Alan dan berlarian supaya bisa jalan di sampingnya. Mereka terus jalan tanpa bicara walau Shera memancingnya dengan suatu topik yang dilihatnya, tetap saja Alan cuek. Akhirnya Shera memilih diam dan mengikutinya terus kembali ke asrama. Kondisi berantakan mereka membuat perhatian anak-anak sekitar teralihkan. Shera menunduk dan terus berjalan mengikuti Alan. “Menjauhlah,” katanya. Shera menjauh, lalu bertabrakan dengan Nana. Alan terus jalan sementara Shera berhenti untuk menanggapi temannya. “Eh, Nana.” “Shera, kau dari mana? jam segini baru balik,” tanya Nana. “Aku tersesat!” “Haha, serius?” “Ya, aku tersesat dan Alan menolongku.” “Alan menolongmu? Haha, mustahil!” “Lho, memangnya kenapa?” tanya Shera. “Sangat langka bagi kami di sini bila dia menolong orang. Prisilla pernah jatuh di tangga saat dia lewat, dan dia meninggalkannya begitu saja tanpa membantunya berdiri,” jawab Nana. Shera tersenyum karena berpikiran bahwa dia termasuk orang beruntung mendapat perhatian si iblis itu. Shera pamit untuk bersih-bersih diri karena jadwal makan malam sudah mau tiba. Lampu lorong masih mati! Shera berhenti di ujung dan menyiapkan mentalnya untuk melalui lorong menuju tangga ke bawah. “Astaga! Kenapa lampunya gak diperbaiki, ya?” Tiba-tiba Shera merasa ada seseorang di belakangnya, ketika dia melihat ternyata Alan berjalan sambil bermain ponsel. Spontan lega hatinya karena sudah berpikir yang bukan-bukan. Shera tidak mau menyia-nyiakan momen tersebut dan segera mengikuti Alan sampai ke kamar. Shera mengikutinya kemudian mengunci pintunya. Alan segera masuk ke kamar mandi, Shera menunggu sambil duduk di kursi dan melihat keadaan tubuhnya yang menyedihkan. Siku terluka, rok sobek, baju kotor. “Kenapa aku ceroboh sekali?” ucapnya sendiri. Wanita itu melepas plaster yang menutupi luka tadi pagi. Meninggalkan bekas dan harus segera ditangani agar tidak merusak kulit dan penampilannya. Berhubung Alan sedang berada di kamar mandi, Shera dengan cepat mengambil pakaian ganti lalu membuka bajunya di sana dengan cepat. Shera segera mengganti pakaiannya kemudian jaket Alan yang tadi dipinjamkan, langsung dibersihkan dari kotoran lalu menggantungnya ke dinding. Shera tersenyum melihat jaket yang terpajang itu. Alan adalah anak baik yang menutupi dirinya dengan cuek dan sikap dinginnya. Aku yakin kalau Alan punya alasan dibalik sikapnya yang seperti es batu itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD