SR-8

1130 Words
“Kalau gitu kita harus pisah kamar!” pekik Shera. “Masa kau keluar dari kamar mandi menggunakan handuk begini. Gak tau malu,” sindirnya. Alan segera ke arah lemari dan mengambil pakaiannya kemudian masuk lagi ke kamar mandi. Shera mendengus kesal dan menjatuhkan kepalanya di atas bantal. “Kenapa aku harus satu kamar sama pria ini, ya Tuhan?” Shera segera bangkit dari tempat tidurnya kemudian mengambil bajunya dalam lemari dan berjalan ke arah pintu. Begitu Alan keluar dari kamar mandi, Shera langsung menyambar bahunya untuk masuk ke dalam kamar mandi. Alan geleng kepala kemudian menjeritkan sesuatu dari luar. “Jangan lupa ke ruang makan, kau harus sarapan sebelum pergi ke kampus.” “Ya!” sahutnya singkat. Alan mengambil ponselnya lalu keluar dari kamar. Perlahan menaiki anak tangga dan menapaki lorong yang gelap karena matahari belum meninggi. Hanya mengandalkan lampu saja untuk menuntunnya ke ruang makan. Alan melihat ke arah plafon, sepertinya bola lampu di ujung mati. Alan menghubungi teknisi untuk membetulkan lampunya sekarang. Alan meneruskan langkah sampai ke halaman belakang. “Selamat pagi, Alan!” sapa perempuan anak asrama dengan ramah. Alan hanya membalas dengan senyum singkat lalu berhenti di ujung lorong. Alan didatangi lagi oleh anak asrama lain karena mau memberikan hadiah dalam kotak ungu. Tidak ada momen spesial, tetapi dia selalu mendapatkan hadiah setiap hari. Alan mengambilnya tanpa mengucapkan terima kasih. Alan yang galak tetap menghargai pemberian orang, walau akan dibuangnya juga nanti. Bagaimana tidak diterima, Alan sedikit trauma karena pernah menolak hadiah dari mereka kemudian mereka menangis berhari-hari dan mengaku kalau dia sudah menganiayanya. 15 menit kemudian. Shera keluar dari kamar. Tak sengaja melihat ke arah tong sampah yang belum dibersihkan oleh pelayan asrama. Shera sangat penasaran pada isi kotak hadiah yang dibuang oleh Alan. Satu persatu dipungutnya, dibawa ke dalam, lalu melihat jam tangannya, hanya tinggal beberapa menit lagi sebelum waktu sarapan tiba. Shera memutuskan untuk menyimpannya dulu dalam lemari kemudian berlarian meninggalkan kamar setelah menguncinya. Begitu tiba di lantai atas. Dia melihat lorong ke arah ruang makan sangat gelap. Padahal matahari di kamarnya sudah meninggi, tetapi dalam lorong itu tetap remang-remang kelihatannya. Shera yang terus merasa ketakutan, langsung mengira ada yang mengikutinya dari belakang. Gadis itu pun berlari sekuat tenaga dan menabrak Alan yang baru saja keluar dari sudut lorong karena melihat Shera berjalan. Niatnya memang ingin menemani wanita itu ke ruang makan karena tahu kalau Shera terkena phobia gelap. Alan tidak tega melihatnya ketakutan. Tubuh Shera menggeletar, pikirannya menggila sendiri karena merasa telah bersentuhan dengan hantu. Shera menutup matanya tanpa melihat sesuatu yang ditabraknya tadi. Shera menyudut dan meluruskan tangannya pada Alan yang berjalan mendekat. “Kumohon! Jangan dekati aku. Pergilah hantu baik, pergilah!” ucapnya dengan nada bergetar. Alan duduk dan tertawa lemah melihat dia ketakutan. “Ini aku,” sapa Alan. Mendengar suara pria yang dikenalnya, Shera perlahan membuka matanya dan menoleh ke arah depan. “A-Alan?” sahutnya. Gadis itu merangkak mendekatinya lalu memegang lengan kanannya. Shera lega karena ternyata pria itu benar-benar Alan. “Apa kau lihat ada bayangan hitam mengejarku?” tanyanya dengan ekspresi tegang. “Enggak ada.” Alan melepaskan tangannya kemudian berdiri. “Ayo sarapan! Kau bisa terlambat ke kampus kalau terus dikalahkan oleh rasa takut,” sambungnya berjalan meninggalkan Shera. Gadis itu segera mengejarnya dan memegangi bajunya Alan. “Lepasin,” katanya. Shera melepasnya, kini jemarinya saling bertautan dan melirik ke kanan serta kiri secara bergantian. Beberapa saat kemudian. Mereka tiba di ruang makan bersamaan. Beberapa anak asrama melihat mereka jalan bersama. “Sedang apa, tuh, anak baru? nempel terus di belakang Alan,” tanya salah satu dari mereka. "Iya, anak itu sepertinya cari masalah!” ujar seorang wanita yang menyukai Alan sejak dulu, tapi tidak pernah berani mengutarakannya. Alan membuka pintu, Shera masuk lalu duduk di kursinya semalam. Alan jalan ke mejanya juga, meski semua tatapan mengarah padanya, tapi Alan tetap cuek saja. “Selamat pagi, Semua!” sapanya. “Selamat pagi, Alan!” jawab mereka serentak. “Bu Rana pergi selama seminggu, kini asrama akan aku pantau. Jika kalian melakukan kesalahan atau keributan, kalian akan berhadapan langsung denganku.” “Iya, Alan!” Shera menyeka peluh di keningnya, masih ada sisa ketakutan dalam hatinya karena melalui lorong gelap tadi. Sembari Alan bicara, dia malah mikir caranya balik ke kamar untuk mengambil tas kuliahnya. Prisilla, Nana dan Roy melihat ke arah Shera, tetapi gadis itu tidak membalas tatapannya karena menundukkan kepala saja dan seperti orang ketakutan. Sampai ketika mereka semua selesai sarapan, Shera masih tampak murung. “Hei, apa kau sakit?” tanya Nana. “Enggak, kok! aku tidak apa-apa, hanya gugup mau masuk ke kampus baru,” jawab Shera, bohong, menutupi alasan sebenarnya. “Haha, tenanglah kampus Rubenaro itu adalah kampus terkeren! Semua dosennya baik,” sahut Roy. “Haha, benarkah?” tanya Shera. “Ya, kau jurusan apa?” tanya Prisilla. “Jurusan bisnis,” jawabnya. “Hah? Jurusan bisnis?” “Ya, kenapa?” Shera heran melihat wajah mereka meringis. “Haha, tidak ada, hanya ingin kau jaga diri aja di sana, tapi jangan takut, aku yakin kau anak kuat!” ujar Nana. “Hei, ada apa ini? kenapa dengan jurusan itu? sepertinya menakutkan,” tanya Shera. “Hahaha.” Mereka lalu pamit dengan alasan mau ke kampus juga. Sayangnya mereka bertiga tidak satu jurusan dan pastinya bertemu di kampus juga sulit. Kebanyakan akan bertemu di asrama saja nantinya. Shera menghembus nafas dengan berat, tangannya mulai kedinginan memikirkan lorong gelap ke arah kamarnya sambil melangkah ke arah sana. Semua anak sudah kembali ke kamarnya dan bersiap pergi ke kampus atau melakukan kegiatan lainnya, tapi Shera masih terdiam di ujung lorong tadi. Alan yang baru saja selesai bertelepon dengan temannya pun menghentikan langkah karena melihat Shera mematung. Alan mengantongi ponselnya dan melewatinya begitu saja. Shera menoleh lalu mengejarnya. “Alan, aku di belakangmu.” Shera sengaja mengikutinya demi mencari teman ke ruang rahasia. Pria itu tidak menggubrisnya dan berjalan terus. Bagi Shera tidak masalah dicuekin oleh Alan, yang penting ada teman menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, Shera menunggu Alan membuka pintu, tangannya sangat dingin kemudian ikut masuk bersama pria itu. “Bu Rana memintaku mengantarkanmu ke kampus, kau mau ikut aku atau tidak?” tanya Alan. “Aku bisa sendiri, tapi keluar dari lorong ini bisa kah kita sama-sama?” pintanya memelas. Alan menaruh tangan kanannya di pinggang. “Kau harus melawan rasa takutmu, kalau tidak, sampai kapan pun kau akan terus mengalami phobia itu,” celetuk Alan. Shera diam saja, sekuat apa pun dia mencoba tetap saja tidak bisa. Alan mengambil tas, memasukkan bukunya lalu pergi. Shera pontang panting mengambil tasnya juga dan menjatuhkan ponselnya di atas tempat tidur karena takut ditinggal oleh Alan. “Alan, tunggu!” Shera cepat-cepat mengejar langkahnya lalu berdiri di sampingnya sambil memeluk tas. Kenapa aku jadi ngurusin dia, sih? protes Alan dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD