SR-7

1087 Words
Shera memukul pintu berulang kali. “Alan!” panggil Shera. Pria tersebut membuka alat penyuara jemala yang menempe di telinga, suaranya semakin jelas. Dia langsung membuka pintu dan Shera pun terjatuh. Wanita itu menyudut ketakutan sambil melihat ke arah luar. Alan sangat bingung pada tingkah Shera yang belum dia pahami. “Kau kenapa?” tanyanya. “Di sana, ada-“ “Hmm, kau berhalusinasi lagi?” tanya Alan. Shera tak menjawab pertanyaan Alan dan segera berlari ke tempat tidurnya. Shera menarik selimut kemudian menutupi dirinya, meninggalkan kepalanya saja di luar. Alan melongok ke luar karena penasaran pada sikap Shera yang berlebihan. Alan menutup pintu lalu kembali ke meja belajarnya. Dia melihat ke arah tempat tidur Shera. Menghela nafas lalu menggeleng, kembali duduk untuk mengerjakan tugas kuliahnya. “Apa kau melihat penjahat di luar?” tanya Alan. “Bukan,” jawabnya. “Lalu kau melihat apa?” Shera takut mengatakan keadaannya pada Alan, takut dimarahi atau ditertawakan. Alan yang penasaran masih menahan diri bertanya lebih banyak lagi. Akhirnya dia membiarkan Shera dengan tingkahnya tersebut hingga setengah jam berlalu. Shera mulai membuka selimut dan duduk dengan posisi kaki meringkuk. Dia melihat ke arah jendela lalu menutup pemandangan malam itu dengan gorden. Selama ini Alan tidak pernah menutupnya karena dia suka melihat bintang dari kamarnya. “Kenapa kau tutup?” tanya Alan. “Biarkan seperti ini kalau malam. Aku bisa tidak tidur karena keadaan yang gelap.” Alan mendengus, lalu mengerutkan alis. “Jadi, kau tidur dengan keadaan terang?” tanyanya. Shera mengangguk. Alan menarik kepalanya ke belakang, menghadapkan wajahnya ke atas sambil membuang nafas. “Aku suka gelap kalau tidur,” sahut Alan. “Aku tidak bisa tidur kalau gelap,” sambarnya. Alan berdecak dan mencari cara supaya mereka bisa istirahat tanpa mengganggu keinginan masing-masing. Di ruangan ini ada dua lampu belajar, rasanya Alan akan membuat peraturan baru untuk menyesuaikan keinginannya. “Jika kau tidur nanti, cukup hidupkan ini di samping tempat tidurmu dan buat agar cahayanya tidak mengenai ke tempatku,” pinta Alan. “Ya, baik lah, aku akan coba.” Shera turun dari tempat tidur lalu mengambil baju gantinya dalam lemari serta pouch berisi perlengkapan tubuhnya kemudian melangkah ke kamar mandi. 10 menit kemudian, Shera keluar dari kamar mandi. Aroma parfum dari tubuhnya berkelana sampai ke sel olfaktori di hidung Alan. Alan sempat melirik sejenak kemudian melanjutkan belajarnya. Shera masih belum ada tugas karena besok adalah hari pertamanya di kampus. Sebelum pukul 11 malam, Alan selesai mengerjakan semua tugasnya. Dia merapikan buku lalu mematikan lampu belajarnya. Alan meminta Shera menyalakan lampu di sampingnya. Begitu lampu itu menyala, lampu ruangan kamar pun dimatikan oleh Alan. Hanya ada penerangan dengan kadar lemah dari lampu belajar di sampingnya. Shera langsung duduk dan menyudut. Alan melihat keanehan itu lagi. “Kalau lampunya dihidupkan boleh?” pujuk Shera memelas dengan nada lemah. Nafasnya mulai tak karuan karena pikirannya sedikit melayang ke arah lain. “Tidak ada hantu,” ujar Alan duduk di tepi tempat tidurnya menghadap ke arah Shera. “Maaf, tapi aku tidak bisa menyingkirkan ketakutan itu.” “Kau seperti anak kecil, tidak sesuai dengan ucapan dan sikapmu saat lampu menyala,” kilah Alan. “Aku menderita Phasmophobia, bukankah aku sudah mengatakan itu tadi?” Alan sampai menggaruk kepalanya dengan jari dan tertawa kecil. “Iya, aku tahu kau pasti menertawakanku sama seperti orang lain. Aku sudah berusaha menepis dan melawannya, tapi aku tetap terjebak dalam ketakutan ini.” Shera menjelaskan keadaan itu agar Alan mengetahui dan memahami satu saja kelemahan dirinya untuk saat ini. Alan menyipitkan matanya, melihat Shera seperti itu dia pun tak tega. Alan berdiri lalu menghidupkan kembali lampunya. “Makasih ya, Alan!” ucapnya. “Ya sudah, tidurlah!” sahutnya. Shera bisa istirahat dengan nyaman setelah mengatakan rahasia dirinya. Kini Alan sedang mencari akal untuk tidur dalam keadaan terang. Alan mengambil kain dan menutup matanya lalu menyembunyikan wajah di balik bantal. Namun, tetap tidak bisa karena tubuhnya menerima respon cahaya lampu yang mengenai kulitnya. Alan berbalik badan, melihat Shera sudah tertidur pulas. Pelan-pelan dia mematikan lampunya setelah menghidupkan lampu belajar yang ada di hadapannya agar tidak membuat ruangan gelap seutuhnya. Alan merasa Shera tidak bergerak, pria itu langsung masuk ke dalam selimutnya lalu tidur. Keesokan paginya. Alan lebih dulu bangun dari Shera, melakukan peregangan di atas tempat tidur lalu menoleh ke arah kanan. Terdengar decak kesal dari mulutnya. Alan melihat kondisi tidur gadis tersebut berantakan. Kakinya terbuka lebar, untung saja dia memakai celana panjang. Selimutnya juga jatuh dan bajunya tersingkap sampai hampir menampakkan bagian terpentingnya. Alan turun dari tempat tidur, mematikan lampu mengambil selimutnya kemudian menutupi pemandangan yang tak seharusnya dilihat pagi ini. Kenapa dia harus tidur dengan keadaan kacau seperti ini? Hmm Alan beranjak membersihkan tempat tidurnya lalu mandi. Mendengar suara gemericik air, Shera terbangun. Matanya terbuka lebar dan langsung duduk. Kepalanya sontak pusing karena melakukan aktivitas mendadak. Rambutnya berantakan, bibirnya manyun dan menatap ke arah ruangan. Tempat tidur Alan sudah rapi sementara punya dia masih berantakan. Shera membuka gorden lalu menata kembali agar terlihat sedap dipandang kemudian turun untuk merapikan tempat tidurnya. Pesan masuk ke ponselnya dari Rana. Wanita itu menyampaikan jadwal kuliahnya pagi ini dan menyuruhnya minta tolong pada Alan mengantarkannya sampai ke ruangan. Shera tertawa miring. "Ngapain aku minta tolong sama dia, aku bisa sendiri, kok!" ucapnya sombong lalu meletakkan ponselnya di atas tempat tidur. Shera menarik tubuh, senam ringan sambil menunggu Alan siap mandi. Gawainya berdering lagi, kali ini dari temannya. Shera menjawabnya, "Halo!" "Kau di mana? Tadi malam aku ke rumahmu, tapi kosong!" jerit seorang lelaki. "Aku pindah." "Apa? Kau jangan bercanda!" "Hei, aku gak bercanda. Aku pindah ke Oklahoma." "Haha, gila! Apa yang kau pikirkan sampai kau putuskan untuk pindah? Menjauhiku?" tanyanya. "Haha, tentu tidak! Aku hanya menuruti keinginan orang tuaku melanjutkan hidup di sini." "Aku akan ke sana saat waktu luang." "Ya, bawa juga teman lain. Anggap saja mengunjungiku di sini sambil liburan." "Kau tinggal di mana sekarang?" "Asrama Voilla." "Hmm?" “Kenapa?” tanya Shera. “Haha, tidak ada. Kau harus pintar menjaga diri di sana. Kudengar ada asisten kepala asrama yang super galak.” Shera sontak tertawa terbahak-bahak. “Ya kau benar!” gadis ini tak mungkin mengatakan pada temannya bahwa dia sekamar dengannya mulai tadi malam. Percakapan itu berakhir, Shera menaruh ponselnya di meja dan berbalik ke arah kamar mandi. Alan keluar dengan menggunakan handuk. Spontan Shera menjerit sekuatnya. Alan langsung mengejarnya agar tidak ada yang mendengar suara jeritannya. Telapak tangannya menutup mulut Shera rapat. “Kau jangan menjerit! Mereka bisa tahu kalau kita sekamar!” Shera menggigit tangannya hingga membuat Alan kesakitan lalu melepasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD