SR - 6

1029 Words
Alan berdiri di depan pintu, menatap Shera yang kebingungan. “Minggir, aku mau menutup pintu.” “Alan,” panggilnya. Pria itu menahan daun pintu yang hampir tertutup itu. “Apa lagi?” “Di sini tidak ada hantu kan?” tanyanya lagi meyakinkan. “Hmm, tidak ada!” Alan langsung mendorongnya dan menutup pintu. Shera berdecak kesal kemudian memilih untuk mengelilingi ruangan bawah tanah yang memiliki banyak rak buku. Tersusun berbagai buku di sana dengan rapi. Ada meja dan juga kursi panjang. Shera segera duduk dan menunggu pria itu selesai mandi. Saat Alan selesai mandi, Shera diminta masuk dan dia ingin mengatakan sesuatu padanya. “Pertama, aku tidak suka kamar ini berantakan.” Shera mengangguk, si pemilik kamar sedang mengatakan aturannya. “Kedua, aku tidak suka melihat peralatanmu di kamar mandi berserakan.” “Oh, maaf.” “Ketiga, kau sudah melakukan kesalahan padaku dan harus menebusnya.” Shera mengangguk. “Ya, aku terima. Apa itu?” tanyanya. “Kau harus bersedia membersihkan asrama ini sejak kau pulang kuliah.” “A-apa?!” Shera benar-benar terkejut mendengarnya. “Kenapa harus membersihkan asrama? Bukannya ada pembantu atau pelayan yang bekerja sebagai bersih-bersih asrama?” tanyanya bingung. “Ya, tapi aku ingin kau membantu mereka. Jadi, setiap habis makan malam, kau harus membersihkan ruang makan dan membantu mereka mencuci piring.” “Huh?” Shera syok. “Setelah itu, bersihkan kamar mandi umum sebelum kau mandi.” “A-apa? itu juga harus aku lakukan?” Shera menganga. “Ya, itu akibat kalau kau berbuat ceroboh. Kalau kau berbuat ceroboh lagi, aku akan menambah hukumanmu.” Alan rasa sudah selesai mengatakan hal yang ditundanya tadi karena mandi. “Sebelum jam 7 malam, kau sudah harus ke ruang makan untuk makan bersama,” jelasnya lagi kemudian beranjak pergi. “Oke,” sahutnya semakin lemas. Shera takut menolaknya karena mengingat dia adalah anak dari pemilik asrama ini. Setelah makan malam, Alan berdiri di depan pintu memperhatikan Shera yang perlahan ingin melarikan diri dari tugasnya. Tatapan tajam Alan membuat gadis itu tidak berani dan mengurungkan niatnya untuk lari dan akan melaksanakan perintahnya. “Hai, Shera!” sapa Prisilla. “Hai, Pris!” “Ayo, keluar!” ajaknya. “Mmh, kau duluan saja ya, aku mau bantu bersihkan ruangan ini,” jawab Shera. “Hah? Buat apa? kan, itu sudah tugas mereka,” sahut Prisilla bingung. “Hehe, tidak apa-apa! Aku mau cari kegiatan saja setelah makan supaya aku tidak gemuk.” Shera berdalih dari alasan sebenarnya. Prisilla menaikkan bahunya lalu menyemangati temannya. “Kau memang anak baik!” Prisilla melirik ke arah Alan, lalu berbisik pada Shera. “Jangan bilang kau sedang kena hukum sama dia,” lanjutnya. Shera tertawa renyah dan menggeleng pelan. “Sudah pergilah, besok kita bertemu lagi.” “Haha, baiklah, Nana dan Roy udah duluan keluar,” pungkas Prisilla. “Ya, mereka sudah menegurku tadi, katanya mereka sibuk mengerjakan tugas kuliah,” sahut Shera. “Mmh.” Prisilla mengangguk. “Aku juga! Bye!” Wanita itu melambai padanya, Shera membalasnya dan segera berbalik badan. Tangannya dengan cekatan mengambil kain lalu mengelap meja di sana satu persatu. Pelayan yang bertugas merasa heran padanya. “Apa yang kau lakukan?” tanya seorang wanita berumur 40 tahun yang sedang menyapu lantai. “Membantu kalian,” jawabnya sambil tertawa nyengir. “Tidak perlu, biar kami saja yang bereskan,” ujarnya lagi. Alan berdeham. “Ehem, biar saja, Bu! Anak kota harus diajari cara bekerja,” sahutnya lalu berjalan ke arah Shera. “Iya, benar itu, Bu! Haha.” Shera tertawa palsu sekali lagi untuk menutupi penolakan dalam batin yang tak mampu ia luapkan karena takut pada Alan. Mereka pun tidak bisa membantah ucapan Alan. Selama Rana tidak ada maka Alan adalah kaki tangan kepercayaannya yang mengawasi asrama. Shera ke sana ke mari membersihkan ruangan yang ukurannya besar tersebut. Menyapu, mengepel dan mengelap meja serta memastikan semua piring sudah bersih. Setelah itu pekerjaan lain menunggu, dia harus memastikan semua anak selesai mandi, baru Shera mulai membersihkan dua pemandian umum di asrama yang memiliki fasilitas kolam air panas untuk melepas penat. Alan menjaga di luar kamar mandi pria agar tidak ada yang masuk ketika dia membersihkan. Setelah setengah jam berlalu, Shera keluar dengan keadaan kusut. “Aku sudah siap di sini. Lalu aku harus ke mana?” tanyanya dengan mulut manyun. “Sana,” tunjuk Alan ke arah kanan. Shera mengikutinya lalu mengecek orang di dalam. Ternyata sudah kosong. “Jika sudah selesai, apa aku boleh berendam di dalam?” tanya Shera. “Silakan, jangan sampai kau ketiduran dan merepotkan orang,” ujarnya meninggalkan gadis itu. Shera mengepalkan tangan lalu memasang ancang-ancang memukulnya dari belakang. Gadis itu merasa sangat geram pada sikapnya yang memerintah dia seperti seorang pembantu. “Iiisshh, dasar iblis!” gerutunya lalu masuk ke dalam ruangan pemandian. Shera membersihkan semuanya, menyikat lantai lalu membersihkan tempat-tempat yang ada di dalam sampai benar-benar bersih. “Dulu aku tak pernah membersihkan rumah, semua sudah dikerjakan oleh pelayan. Nah, sekarang? Masa aku jadi pembantu di sini? Tangan mulusku bisa rusak." Dia pun merengek. Sekitar pukul 9 malam, Shera kembali ke kamarnya. Mendadak rasa takutnya kambuh, semua anak asrama sudah berada di dalam kamar. Lorong terlihat sepi dan senyap. Shera sejak kecil memang sangat takut gelap dan sepi, dia pernah pingsan karena membayangkan ada monster buruk rupa yang mendekatinya. Phobia-nya sudah berusaha diobati, tapi tetap saja tidak hilang seutuhnya. Shera berjalan dengan perlahan, melirik ke kiri dan kanan. Tangannya sudah dingin, terlihat getaran ringan juga karena menahan takut. “Aduh,” rengeknya menangis tanpa suara. Mulutnya saja yang terdorong ke atas lalu sudutnya menurun. Shera sejak kecil memang sangat takut gelap dan sepi, dia pernah pingsan karena membayangkan ada monster buruk rupa yang mendekatinya. Shera berjalan dengan perlahan, melirik ke kiri dan kanan. Tangannya sudah dingin, terlihat getaran ringan juga karena menahan takut. Suasana terasa berubah lebih mencekam. Lampu di belakangnya seperti korsleting. Sebentar mati, sebentar hidup. Shera langsung berlari menuju ruang bawah tanah dan segera mengambil kuncinya dalam kantung. Tangannya kini sangat gemetaran. Tak mampu jemarinya memasukkan anak kunci itu ke dalam lubang. Akhirnya dia menjatuhkan kuncinya terus menggedor pintu agar dibukakan pintu. Alan yang sedang menutup telinganya dengan penyuara jemala mendengar samar suara ketukan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD