SR -5

1123 Words
Shera menuju kamar mandi untuk menghubungi Rana. Dia harus menerima penjelasan dari wanita itu karena telah menempatkannya di ruangan bersama seorang lelaki. Rana yang sedang mengecat kukunya itu pun menerima panggilan dan tersenyum melihat nama Shera di layarnya. “Halo, anak cantik!” sapanya. “Halo, Bu Rana,” sahut Shera. “Bagaimana harimu di asrama?” “Baik, Bu.” “Aku dengar kau sudah punya teman di sini, bagus lah! Kau sangat mudah bergaul ternyata.” Shera tersenyum tipis. “Bu, aku mau bertanya,” ucapnya. “Apa itu?” tanya Rana penasaran. “Kenapa ibu menempatkan aku bersama seorang pria?” tanya Shera. Rana langsung tersenyum. “Hihi, maaf, Shera. Peminat asrama ini sangat banyak! Dan hanya tersisa kamar itu saja. Semoga kau dan Alan bisa akur.” Shera menghela nafas. “Bu, dia pria, aku wanita, kenapa bisa digabung? Aku takut.” “Shera, dia bukan pria jahat! Dia sangat baik, meski kau melihat sikapnya kejam di depan semua anak asrama, sebenarnya dia sangatlah baik.” Shera terdiam. “Ya, tapi bagaimana bisa aku sekamar dengannya?” “Bisa, kalian buat saja perjanjian. Alan orang yang bisa dipercaya akan janji. Sudah dulu ya, aku mau mengeringkan cat kuku yang baru saja aku ukir.” Rana langsung mematikannya dan tersenyum manis. Wanita itu menaruh ponselnya di meja dan mengurus kukunya lagi. Sementara Shera masih terdiam di dalam kamar mandi. Dia tidak sengaja melihat peralatan mandi milik pria bernama Alan itu di sana. Saat dia masuk tadi, belum ada peralatan itu. Shera menggaruk kepalanya karena bingung. Shera tidak tahu cara menghadapi pria galak itu. Shera juga bukan perempuan yang berani menghadapi pria karena dirinya belum pernah berpacaran sebelumnya. Shera membuka pintu kamar mandi dengan perlahan dan melongok sebentar, ketika dianggapnya aman, Shera pun keluar dan merapikan pakaiannya. Alan berdiri di dekat pintu dengan keadaan telinga masih tertutup alat berwarna hitam itu. Shera terkejut dan langsung mengelus tubuhnya. “Kau mengagetkan aku,” kata Shera. “Ngapain kau di sini?” tanya Alan. “Aku hanya ingin ke kamarku.” “Kamarmu?” Alan pun tidak tahu kalau Shera adalah teman sekamar yang dikatakan Rana pasca makan siang tadi. “Iya, Bu Rana memberikan aku kunci kamar ini dan memintaku tinggal di sini.” Alan mengerutkan kening, wajahnya yang tegang itu semakin berkedut. “Keluar!” pintanya. “Enak saja, kau yang keluar!” Shera tidak mau menurutinya. “Aku yang lebih dulu di sini,” kata Alan. “Bu Rana memintaku di sini, kalau kau keberatan, kau bisa pergi.” Shera malah balik menyerangnya dan meninggalkan Alan. Shera berjalan ke arah lemari dan mencari pakaian ganti karena dia mau mandi. “Kau yakin sekamar dengan pria?” tanya Alan menyipit. Shera berhenti mencari celananya di tumpukan baju dan menutup mata. “Sejujurnya tidak,” jawabnya. “Terus, kenapa kau masih bertahan? Sebaiknya kau pergi.” Shera berdiri dan menghadap ke arah Alan. “Aku sudah menghubungi Bu Rana, katanya tidak ada kamar lagi di sini. Dia terpaksa menempatkan aku di sini bersamamu.” Alan menggaruk lehernya dan menggeleng lemah, “Tidak betul ini.” “Ya sudah, kau bisa tanyakan pada Bu Rana. Aku mau mandi, tolong beri aku ruang.” “Kau mengusirku?” “Bukan begitu, tapi aku mau mandi. Tubuhku sudah berkeringat! Tolonglah, tidak mungkin aku membiarkanmu di sini selama aku mandi.” “Aku tidak akan berpikiran negatif!” “Tidak ada yang bisa menjaminnya,” sambar Shera. Alan pun menghela nafas panjang dan segera keluar dari kamar. Dia ingin menanyakan hal ini pada Rana secara langsung. Alan sendiri tidak mau satu kamar dengan perempuan. Beberapa menit setelahnya. Alan kembali ke ruang bawah tanah dan mengetuk pintu kamarnya sendiri. Shera menyahut dan memintanya menunggu. Tidak lama kemudian wanita itu membuka pintu dan melihat teman sekamarnya kembali dengan wajah kusut. “Kau sudah bertanya pada Bu Rana?” tanya Shera. “Sudah.” “Apa katanya?” desak Shera sambil mengeringkan rambut dengan handuk putih miliknya. “Sama seperti yang kau katakan. Dia terpaksa menempatkan kita dalam satu kamar.” Shera langsung duduk di tempat tidur dan memanyunkan mulutnya. “Bagaimana ini?” tanyanya. “Apanya yang bagaimana?” Alan balik bertanya. “Apa aku bisa selamat darimu?” tanyanya. “Huh?” Alan pun terkejut mendengarnya. “Apa maksudmu?” “Pria itu identik dengan pikiran kotor. Aku takut saat aku tidur, kau menghampiriku dan melakukan hal yang buruk padaku.” Alan menggerakkan rahangnya dengan keras. Dia benar-benar kesal mendengarnya. “Aku bukan lelaki seperti itu!” “Kau yakin?” Shera menatapnya. Alan mendengus ringan. “Terserah! Ini kamarku, kalau kau tidak mau maka kau bisa keluar dari sini.” “Aku tidak punya tempat lain sekarang. Berjanjilah untuk tidak melakukan hal aneh padaku.” “Hei! Kau yang aneh!” tuduh Alan balik. “Aku?” Shera menunjuk dirinya sendiri. “Ya, Kau!” “Aku aneh? Apanya yang aneh?” tanya Shera berkedip beberapa kali. “Kau lupa kalau kau masih punya hutang karena telah membuat wajah dan bajuku kotor?” tanya Alan. Shera pun tertawa menyengir. “Hihi, maaf. Aku benar-benar ketakutan tadi.” “Kau sudah besar, tetapi kenapa masih takut? tidak ada hantu!” kata Alan. “Aku sebenarnya benci mengatakan ini pada orang lain. Di dunia hanya ada dua orang yang tahu kalau aku menderita sebuah phobia.” Alan mengerutkan keningnya. Shera menarik nafas dalam sebelum mengatakan rahasianya itu. “Aku mengatakan ini karena menganggap kalau kau adalah teman sekamarku. Aku yakin kau juga orang yang bisa jaga rahasia.” Alis Alan berkerut hebat. Menunggu kalimat selanjutnya dari Shera. “A-aku menderita Phasmophobia,” lanjutnya menatap wajah Alan yang memandangnya kaku. “Phasmophobia?” ulang Alan. “I-iya, kau tahu kan tentang phobia itu?” tanya Shera. Alan membuang tatapannya ke kanan dan lurus ke bagian nakas di tengah ruangan, terletak di antara tempat tidurnya dan tempat tidur Shera. “Itu adalah sebuah istilah untuk rasa takut berlebihan pada hantu. Sejak kecil aku selalu takut pada ruangan gelap dan juga aku benci kesendirian,” jelasnya. Alan tahu tentang phobia itu sebelum Shera menjelaskanya. “Itu hanya halusinasimu,” katanya. “Ya, aku tahu, tetapi mereka seolah nyata.” “Tidak ada.” “Ada!” “Tidak ada!” “Ada! Oh, ayolah jangan berdebat seperti ini. Aku yang mengalaminya dan aku benar-benar tidak bisa menghadapi mereka.” Alan geleng kepala dan segera beranjak dari posisinya kemudian meminta Shera keluar. “Kau mengusirku?” tanya wanita itu. Alan meliriknya. “Aku mau mandi juga, apa kau mau melihatku pakai handuk?” tanyanya. “Eh, tidak.” Shera langsung kikuk dan segera beranjak dari ruangan itu dan melihat ke sekitar. Dia mulai merasa di mana-mana sama menakutkannya seperti di lorong itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD