SR-18

1046 Words
Beberapa menit setelahnya. Shera dan Rana sudah berdiri di depan pintu masuk sesuai dekorasi yang terpasang. Shera menunjukkan wajah gembira, setelah melihat semua menatapnya senang, tak mungkin Shera membalas senyuman dengan kesedihan. Rana mendampinginya berjalan perlahan ke depan. Krish beserta istri terharu melihat dirinya. Meski belum pernah bertemu, mereka mempercayai dirinya bisa menjadi istri terbaik untuk anaknya. Demikian pula sebaliknya. Sebelum Shera menghampiri Alan, Krish menghampirinya. Shera pun berhenti, menatap pria yang wajahnya mirip dengan calon suaminya. "Nak, saya Krish, ini istri saya, Nelly. Kami akan menjadi orang tuamu mulai sekarang. Kami senang bertemu denganmu dan akan mendoakan yang terbaik untuk kalian," ucapnya. Nelly mengangguk, air matanya mengalir dengan senyuman. Shera melihat mereka berdua, membalas ucapan itu dengan senyuman. Shera sendiri bingung mau bicara apa? Semua terjadi begitu cepat, bahkan pertemuan pertama dengan keluarga Alan di acara pernikahannya ini. Sebagai bentuk rasa hormat, Shera mengangguk. "Iya, Pa, Ma. Shera senang bisa memiliki orang tua lagi. Semoga hubungan kita nantinya akan berjalan baik." "Oh, kau anak yang manis sekali. Mama menyukaimu," ujar Nelly kemudian menyentuh pipinya. "Ma, jangan halangi dia terlalu lama, setelah menikah kita akan berbincang kembali," kata Krish. Nelly menepi dan mempersilahkan calon menantunya melanjutkan langkah menghampiri Alan. Shera menatap ke depan, Alan dengan aktingnya yang luar biasa, menyambut wanita itu dengan senyum lebar dan wajah yang gembira. Shera pun demikian, membalas tatapan tulus yang diberikannya meski hanya tipuan belaka. Alan memegang tangannya dan membawa Shera duduk di kursi. Mereka menghadap penghulu kemudian bersiap mendengarkan nasihat sebelum mengucapkan janji pernikahan. Ikrar janji suci telah dilaksanakan dan semua ikut senang. Pengantin muda itu diminta berdiri dan saling memasang cincin. Alan diberikan kotak berwarna biru, dalamnya ada cincin yang harus diselipnya ke jari manis Shera. Alan mengambilnya saja kemudian membawa ke depan jari istrinya. Seketika khayalan Alan mengarah ke Celine, berhalusinasi kalau wanita di depannya adalah kekasihnya. Alan tersipu malu, mengambil tangan Shera kemudian memasukkannya dengan senyuman. Shera menatap Alan, seperti tidak ada rasa bohongan di wajahnya. Shera pun terhenyak dan mengikuti alur, merasa kalau Alan benar-benar menerimanya setelah mendapat nasihat dari orang tua dan juga orang yang menikahkan mereka. Shera memasangkan cincin berwarna hitam, terbuat dari akar pohon itu ke jari Alan. Mengingat mereka masih muda dan juga masih kuliah, Krish sengaja membuatkan cincin tersebut mengikuti usia muda anaknya. Tiba-tiba, dari arah tamu, meneriaki sesuatu yang membuat semuanya ikut bersuara. "Cium istrimu, Alan!" Alan tersenyum, masih sosok Celine yang dilihatnya. Tanpa merasa keberatan, pria itu pun mencium Shera hingga membelalakkan mata wanita itu secara sempurna. Apa yang dia lakukan? Kenapa menciumku? tanya Shera dalam hati. Alan melepas bibirnya dan tersenyum, begitu menjauhi Shera, dia pun baru sadar kalau wanita yang telah diciumnya, dipakaikan ya cincin itu adalah Shera, bukan Celine. Alan terkejut kemudian Krish menghampiri mereka untuk mengajak mereka berfoto. Shera menoleh pada Alan yang terbodoh sendiri. "Apa yang kau lakukan?" bisiknya. Alan tidak menggubrisnya dan meminta Shera tersenyum. "Kau harus ingat kata Bu Rana, kita harus mesra." Shera terpaksa berlaku demikian demi membuat perjanjian di antara mereka berjalan lancar. Setelah berfoto dengan kedua orang tua, mereka pun berfoto berdua. Alan diminta memeluk istrinya, merangkul dan juga mencium keningnya. Momen pernikahan telah berlalu, mereka juga diminta menginap di rumah kedua orang tua Alan sementara waktu. Setidaknya selama seminggu. Shera dan Alan saling menatap. "Ta-tapi, kami tidak bawa pakaian, lebih baik kami kembali ke asrama saja," kata Alan berusaha menolak. Shera pun mengangguk. Krish menggerakkan jari telunjuknya ke kiri dan kanan. "Tidak, tidak! Kalian pengantin baru, harus tinggal di rumah. Papa ingin memantau caramu memperlakukan istrimu begitu sebaliknya mama akan memberi banyak pelajaran untuk Shera agar menjadi istri yang baik." Shera dan Alan langsung lemas. Permintaan itu sulit ditolak karena mereka tidak ingin semua rencana batal hanya karena ajakan tidur di rumah mereka. Akhirnya Shera dan Alan menurut. Mereka dibawa ke rumah Krish. Shera melihat rumah orang tua Alan lebih besar dari miliknya. Mereka langsung disambut manis, dengan pelayanan yang sangat baik. Shera yang masih menggunakan gaun pengantin disuruh duduk, diberi minuman serta makanan enak. Shera sudah tidak bisa memakannya lagi karena kenyang. Nelly pun tertawa gembira. "Mama, jangan halangi mereka. Sudah saatnya mereka istirahat. Sudah sore, menjelang malam. Kalau mereka masih merasa kenyang, maka makan malam bisa dilewati," kata Krish. "Benar juga," sahut Nelly. "Bibi!" panggil Nelly pada seorang perempuan paruh baya. Setelah dihampiri, dia pun melanjutkan bicaranya, "Tolong sediakan buah di kamarnya, nanti kalau mereka lapar, bisa makan dan minum tanpa harus turun," lanjutnya tersenyum pada Shera dan Alan. Pengantin muda itu pun tertawa renyah. Astaga, apa yang dipikirkan mama? Mereka minta aku menikmati malam bersama Shera? Tentu saja tidak mungkin kulakukan, gumam Alan dalam hati. Sepuluh menit kemudian. Mereka berada di kamar. Shera melihat ruangan yang sangat luas itu. Seperti kamarnya dulu di rumah kedua orang tuanya. Bedanya nuansa warna di kamar Shera dulu adalah biru, tetapi di kamar Alan semuanya berwarna abu dan kuning muda. Alan melihat Shera berkeliling dan memperhatikan kamarnya. "Kenapa, kau merasa beruntung menikah denganku?" tanyanya. Shera langsung berbalik, "Enak saja! Kamarku juga luas ya, kau kira aku orang susah apa? Hmm." Alan melepas jas dan dasinya kemudian memasukkannya ke wadah pakaian kotor. "Kau tahu, orang tuaku sangat loyal, apa pun yang kau minta, mereka pasti akan memberikannya." "Aku tidak suka minta-minta," sahut Shera mendorong bibirnya ke atas. "Bagus lah, biasakan cari uang sendiri untuk kebutuhanmu. Jangan minta-minta." "Oke, aku memang tidak mau mengemis darimu atau keluargamu. Aku hanya butuh milikku diberikan." Alan tersenyum. "Ganti bajumu, semua sudah tersedia di lemari. Aku mau keluar." "Ya, pergilah." Namun, begitu Alan ingin membuka pintu, terkunci dan tidak bisa terbuka. "Ah, papa dan mama pasti sengaja melakukannya." "Eh? Kita dikunci?" "Hmm, mereka kadang kekanak-kanakan. Ponselku? Ah," jawab Alan, lalu ingat kalau ponselnya ada pada pengawal papanya tadi. Mereka benar-benar tidak bisa akses keluar kamar sekarang. Alan kesal kemudian jalan ke arah sofa dan duduk. "Alan, aku mau buka baju." "Ya sudah buka, aku juga tidak akan selera dengan tubuhmu." "Oya, aku lupa, kau kan tidak normal." "Hei! Kenapa kau bilang begitu?" "Pria normal akan bersikap baik dengan wanita, sementara kau itu tidak." Alan menyipitkan mata dan membuka celah bibirnya. "Kalau aku kejam, kubiarkan saja kau bersama komplotan Joanna di kafe Drummer. Kalau aku kejam, hantu yang ada dalam otakmu itu akan kubiarkan membunuhmu karena rasa takut." Shera seketika melemah. Merasa salah dengan ucapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD