SR-17

1192 Words
Keesokan harinya. Sebelum mereka pergi, Alan dan Shera kembali mengingatkan masing-masing akan keinginan mereka. Alan dan Shera memegang kertas yang sudah ditulis dan sedang membaca surat tersebut. Alan melihat poin-poin yang dituliskan Shera, demikian Shera juga begitu. "Apa ini?" tanya Alan merasa tidak setuju dengan salah satu poin. "Apa?" Shera melirik Alan. "Ada yang salah?" tanyanya. "Kita hanya menikah sampai mendapatkan surat warisan kan?" "Iya, tapi kenapa aku juga diwajibkan melindungimu? Kau sudah besar dan tidak seharusnya minta perlindungan padaku," jawab Alan. "Mmh, begitu? Apa aku tidak bisa minta perlindungan darimu?" "Tidak, mulai sekarang aku tidak peduli dengan halusinasimu dan juga sifat cerobohmu. Kau punya 3 teman di sini, kau bisa minta perlindungan dari mereka." Shera manyun, rasanya kalau Alan yang melindungi jauh lebih membuatnya aman. "Oke, maaf, aku akan coret itu." "Satu lagi, kau harus mandiri, tidak boleh bergantung pada siapa pun." "Baiklah." "Apa poin yang kuminta ada yang membuatmu keberatan?" tanya Alan. "Tidak, semua pas. Tidak boleh ada sentuhan, berarti kau tidak boleh menjebakku seperti kemarin. Tidak boleh ada yang tahu hubungan ini, aku juga berharap seperti itu. Tidak boleh menghalangi hubungan di luar pernikahan, maksudnya?" tanya Shera. Alan menghela nafas. "Aku punya pacar, setelah menikah, aku tidak ingin pacarku tahu kalau kita sudah menikah. Aku ingin meneruskan hubunganku dengannya." "Oh, berarti kalau aku suka sama pria lain, boleh?" "Terserah, tapi jangan Bryan." "Karena dia sahabatmu?" "Bukan, alasannya cukup aku yang tahu, kau turuti saja." "Tidak ada poin menurutimu di sini, berarti aku tidak bisa menurutimu," balas Shera. Alan mengerutkan kening. Wanita itu mulai membuatnya kesal. "Terserah, bila terjadi sesuatu padamu, kau jangan bilang padaku." "Ya." Shera teringat akan sesuatu sebelum mereka pergi. "Saat selesai menikah nanti, biasa di film-film, pengantin pria mencium pengantin wanitanya, apa kita akan melakukannya juga?" tanyanya. "Ya, mauku tidak." "Baiklah, tanpa ciuman. Aku setuju." Mereka segera pergi, Rana sudah menunggu di luar melalui pintu belakang. Shera yang baru saja mengetahui ada akses tersembunyi di asrama ini pun celingukan ke segala arah. Lokasi pintu rahasianya dari ruang bawah tanah. Pantas saja tidak boleh ada anak asrama lain tahu tentang ruangan ini. Mungkin mereka tahu, tetapi dilarang masuk. Rana terus melihat keduanya, senyum sendiri dan membayangkan hal manis yang akan terjadi setelah mereka menikah. "Saya dengar kalian selalu bertengkar, benarkah?" tanya Rana. Mereka berdua diam saja, senyum tipis menandakan ucapannya benar. "Sayang sekali, kau tampan, dia cantik, jika kalian akur, pemandangannya pasti akan terlihat sangat bagus." Shera tersenyum singkat pada Rana, sementara Alan memilih menatap gawainya dan tidak menggubris omongan Rana. "Memang pernikahan ini terkesan buru-buru dan aneh, tetapi ketahuilah, setelah kalian menikah, segala sesuatu yang sudah kalian impikan akan menjadi kenyataan." "Aku ingin jadi seorang pengusaha, meneruskan bisnis papaku,” kata Shera. "Boleh, tentu boleh. Bagaimana denganmu, Alan?" "Aku ingin jauh darinya." Alan menunjuk ke arah Shera. Rana tertawa kecil. "Hihi, kalian menggemaskan. Awas jatuh cinta, jangan terlalu benci, nanti malah tidak bisa jauh darinya." "Bu Rana, jangan bicara seperti itu, aku tidak setuju pada pernikahan ini," sahut Alan berdecak. "Aku juga," sambar Shera. Rana mengulum bibirnya sendiri. "Sudah, sudah, kalian jalani kehidupan setelahnya, pasti Tuhan akan mengiringi langkah kalian dengan cinta." Kedua remaja itu pun menoleh ke arah berbeda, tetap saja tidak mau akur. "Di hadapan orang tua Alan, kau harus berpura-pura akrab serta bahagia, kalau tidak surat wasiat kalian tidak akan diberikan." "Hehe, Ada aturan begitu?" tanya Shera bingung. "Ya, kalian harus tampil mesra sebelum dan setelah menikah. Akan ada pesta kecil untuk kalian. Meski hanya dihadiri oleh orang tertentu saja." Alan dan Shera saling memandang. Mereka sudah berjanji untuk tidak melakukan itu tadi. Kini mereka jadi gusar. Sebelum tiba di taman Edelweis, mereka harus ke suatu tempat dulu untuk berganti pakaian. Tidak mungkin menikah dengan pakaian biasa yang kini menempel di tubuh mereka. Mereka masuk ke sebuah hotel kecil dekat dengan lokasi pernikahan, melihat pakaian pernikahan bernuansa warna putih tersebut menampilkan mimik senang. Shera saja terpukau pada indahnya gaun yang ditunjukkan oleh seorang pelayan. Shera memegangnya dan merasakan kain yang amat mewah serta model yang diinginkannya. Alan juga senang melihat setelan tuxedonya, berandai-andai bila pasangannya adalah Celine, dia jgpasti akan lebih bahagia. "Buruan! Tidak ada waktu lagi, kalian harus menggunakan pakaiannya." Rana segera memberi perintah, mereka pun langsung bersiap-siap. Beberapa menit setelah Alan selesai menggunakan kemeja dan celananya, Shera pun keluar dengan gaunnya. Alan melihat wanita itu berdiri ambil melihat ke bawah, ke arah gaunnya yang begitu indah. Tersita waktu Alan beberapa detik untuk melihat calon istrinya. Belum dirias saja, paras wanita itu sudah membuat Alan terpesona. "Kau mulai kagum pada kecantikan calon istrimu?" sindir pria yang bertugas mengawasi dirinya dalam berpakaian. Shera melirik Alan setelah mendengarnya, merasa tidak senang dan cemberut padanya. Alan ikut memalingkan wajahnya karena malu. Alan melanjutkan niatnya untuk merapikan pakaian. Setengah jam kemudian. Alan sibuk menghubungi Celine yang tidak menjawab panggilannya itu, begitu mendengar pintu terbuka, Alan langsung menoleh, menandakan Shera sudah selesai berpakaian dan sudah dirias secantik mungkin. Ponsel yang bersandar di telinga kanannya langsung turun karena memandang kecantikan Shera yang terpancar sempurna, membuatnya lupa kalau panggilan ke Celine sebenarnya sudah tersambung, tetapi Alan malah terpaku ke arah Shera dan batal bicara pada kekasihnya itu. Akhirnya ponsel dan semua alat komunikasi milik mereka disita agar tidak mengganggu acara sakral hari ini. Shera mengayun tatapannya kepada Alan. Tak hanya pria itu yang terpukau, Shera pun begitu. Tatanan rambut serta pakaian itu sangat cocok untuk Alan. Shera senyum ringan padanya, tetapi malah dapat balasan cuek. Alan buang muka karena malu dan harus tetap pendirian dengan keinginan hatinya untuk tetap menyukai Celine bukan Shera. Alan mengontrol dirinya, menatap ke arah lain kemudian mereka dipandu naik ke mobil untuk di bawa ke lokasi. Di taman Edelweis. Papanya Alan, Krish, sudah bersama beberapa saudara yang diundang untuk menyaksikan pernikahan anaknya. Krish memang awalnya dimarahi karena telah menyatukan dua anak yang masih muda, tetapi setelah mendengar nama orang tua dari calon menantunya, mereka pun terdiam. Hubungan antara Krish dan Arley memang sangat baik sejak dulu. Jasanya juga tak bisa dibayarkan karena Arley pernah membantu Krish bangkit dari keterpurukan. Tamu undangan hanya ada 10 orang, ditambah pelayan mereka yang dibawa dari rumah sekitar 5 orang. Nuansa outdoor, di taman, kursi putih berpita disusun menghadap ke depan agar bisa menyaksikan acara ikatan janji sucinya. Beberapa saat kemudian. Alan diminta turun lebih dulu, menanti Shera di depan bersama para tamu dan penghulu. Sementara Shera masih di mobil, menunduk sedih. Rana memberikan tisu padanya. "Kau ingat kedua orang tuamu?" Shera mengangguk. "Ya, aku tidak menyangka kalau pernikahanku terjadi tanpa mereka." "Sabar ya, Alan anak baik, dia akan melindungimu." "Alan tidak mau melindungiku katanya." "Kenapa?" "Karena aku sudah besar, aku harus mandiri. Ini kali pertamaku hidup sendiri di luar rumah. Harus beradaptasi dengan keadaan, semua terasa asing." Rana mengelus bahunya. "Dia memang terkadang suka bicara asal-asalan, tetapi saya yakin Alan akan menjagamu. Kau akan menjadi istrinya. Krish, mertuamu, nanti akan memberi nasihat padanya agar dia tidak keluar dari jalur semestinya." Shera menyeka pelan ujung mata dan pipinya. Rana membantu Shera mengeringkan wajahnya. "Jangan menangis lagi, kau makin cantik kalau menangis," kata Rana. "Benarkah? Haha," sahut Shera. "Nah, begitu lebih cantik," puji wanita itu. "Hmm, Arley, anakmu sangat cantik, kau beruntung memilikinya. Doakan mereka hidup bahagia, Arley," lanjut Rana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD