SR-16

1240 Words
Setibanya di asrama. Taksi masuk dari gerbang belakang dan langsung disambut Rana. Semua sudah diamankan, tidak ada anak lain yang tahu mereka datang dengan keadaan buruk seperti ini. Alan menggendongnya hingga ke kamar. Perlahan membaringkan Shera ke tempat tidur. Rana meminta waktu pada Alan untuk menceritakan semuanya. Alan setuju, mereka keluar dari kamar dan bicara serius. Rana sangat terkejut mendengar kejadian itu dan tidak bisa membiarkan hal buruk menghantui Shera lagi. "Alan, minta ayahmu mengeluarkan Joanna." "Bu, tapi ini bukan masalah yang terjadi di kampus?" "Alan, saya tidak mau tahu, dia calon istrimu dan kau juga tidak mau mahasiswa lain merasakan hal sama sepertinya. Aku yakin dia menderita trauma." "Bisakah kita tidak membicarakan pernikahan sekarang?" Rana menggeleng, "Tentu tidak bisa, semua sudah diatur besok. Tepat hari Minggu, kalian harus ke tempat yang sudah direncanakan oleh ayahmu." "Tapi keadaan Shera-" "Aku akan berikan obat anti depresan padamu, lalu kau berikan padanya. Besok, dia akan mendingan." Alan menghembuskan nafas, tidak mampu mengatakan apa pun lagi selama ayahnya yang punya kuasa. Rana pergi setelah memberikan obat itu dan Alan mengantonginya. Alan menerima panggilan dari ayahnya dan segera dia jawab. "Ayah." "Aku sudah dengar kabar Shera dijebak anak sekelasmu," sahutnya langsung. "Ayah tahu dari Bu Rana?" "Ya, ayah cukup terkejut. Lantas, apa pria itu sempat berhubungan dengannya?" "Tidak, ayah. Aku menyelamatkannya tepat waktu." "Syukurlah, kalau begitu ayah yakin kau bisa menanganinya. Dia adalah calon istrimu, kau harus menghiburnya malam ini." "Ayah," panggilnya lirih. "Tanpa alasan, besok siang, datang ke taman Edelweis dan kita adakan pernikahan kalian." Ayahnya langsung memutus panggilan. Alan bingung, kepalanya terasa penuh. Alan terduduk di kursi panjang dan menatap layar ponsel yang bertuliskan nama kekasihnya, Celine. Alan coba menghubunginya, tetapi tidak dijawab. Alan mencoba terus hingga Celine menjawabnya. "Alan, maaf, aku benar-benar sibuk! Mungkin rencanaku ke asrama bulan ini juga batal. Kita harus menunggu waktu lain ya, Sayang," ucapnya. Alan membuang nafas perlahan, ujung matanya berair dan dia hanya bisa menyekanya menggunakan jari. "Oke, jaga kesehatanmu, aku mencintaimu." "Aku juga, Alan. Aku merindukanmu, Sayang." "Aku juga." "Sudah dulu ya, aku mau pergi!" Celine mematikan ponselnya dan Alan pun bersandar lemah. Dirinya masih sangat mencinta Celine, tetapi orang tuanya tidak merestui hubungan mereka karena latar belakang keluarga seorang pembunuh. Alan mendengar suara pintu terbuka, segera dia mengontrol dirinya dan menoleh. Shera berdiri di sana, menatapnya. Alan beranjak menghampirinya. "Shera, kau sudah siuman?" "Kepalaku pusing." "Masuklah, aku akan buatkan air hangat." "Alan, kenapa aku bisa di sini? Bukannya tadi Joanna-" seketika Shera ingat pada kelakuan buruk pria tadi. "Alan!" jeritnya. "Ada apa?" "Pria itu, apa dia sudah mati?" tanya Shera. "Mati? Kenapa dia mati?" "Apa kau memukulinya sampai sekarat?" tanya Shera balik. "Huh?" "Oh, berarti aku hanya bermimpi. Tadi aku mimpi kau memukuli dia sampai berdarah-darah dan sekarat." Alan tertawa miring. "Terlalu banyak berhalusinasi!" "Hehe, jadi apa kau yang membawaku kembali ke rumah?" tanya Shera. "Ya, aku yang menolongmu." Shera tersenyum lebar. "Alan, terima kasih banyak, aku berhutang budi padamu." "Lupakan, kau tidak perlu berhutang padaku." Pria masuk ke dalam kamar, menuang air dari dalam termos dan membawa teh hangat itu serta juga obat. "Minumlah, kau akan lebih baik." "Apa ini?" "Obat anti depresi." Sontak Shera tertawa. "Astaga! Kau memberiku obat itu, untuk apa? Aku baik-baik saja." "Serius?" Shera mengangguk. "Seratus persen!" Alan lega, dugaan traumanya menepi dan sekarang lebih ceria wajahnya setelah minum air hangat. "Shera," panggilnya. "Ya, Alan?" "Mengenai kejadian di ruangan tadi, aku benar-benar minta maaf." Shera langsung ingat, spontan pipinya memerah. "Kau, jangan menjebakku seperti itu lagi atau kau akan menyesal," katanya. "Aku juga tidak senang kau cium seperti itu." Shera berdecit geram. "Tidak senang, tapi kau bermain dan membuat bibirku perih. Semua pria sama saja, suka memanfaatkan situasi." "Aku bukan pria seperti itu." "Buktinya sudah jelas, tidak perlu membela diri." "Shera, aku bukan pria seperti itu." "Ya, kau terkenal dengan kesetiaanmu. Alan salah tingkah, berdeham dan langsung memintanya keluar kamar karena dia mau bersiap untuk makan malam. Shera menepi dan menunggu di kursi panjang. Kepalanya masih terasa pusing dan dia memijatnya sesekali. "Joanna keterlaluan, pantas Alan melarangku berteman dengannya." Shera mengingat kejadian di kafe tadi dan merasa geram dengan pria yang sudah memaksa minum. Seusai makan malam, Nana dan Roy menariknya keluar asrama. Mereka mengajaknya untuk bersantai menghabiskan malam akhir pekan dan tidak perlu mengejar tugas kuliah sementara waktu. Mereka duduk di lapangan olahraga dan Roy memberikan cemilan pada mereka. Nana senang sekali, langsung dia buka, lalu mengambil isinya. "Shera, ambil lah." Nana menyodorkan bungkus makanan ringan itu. "Aku baru makan," sahutnya. "Ah, kenapa rupanya kalau makan keripik lagi setelah makan?" tanya Roy. "Ya kurang sehat kata papaku, karena itu kan sama saja menambah karbohidrat," jawab Shera. "Haha!" Kedua temannya sontak terbahak-bahak. "Pantas tubuhmu bagus, ternyata kau menjaga makan dengan cara seperti itu." "Ya, mungkin juga," sahut Shera tersenyum. "Kalau aku, makan banyak juga tidak pengaruh ke tubuh. Tetap kurus dan sulit naik," ujar Nana. "Eh, serius? Wah, kau dikaruniai keajaiban yang diinginkan semua wanita." Shera memujinya. "Bohong," sambar Roy. Shera pun menoleh padanya. "Maksudmu?" "Nana pernah memiliki tubuh besar, bahkan pipinya Segede bakpau kiri dan kanan. Perutnya juga seperti kudanil. Haha." Nana melemparnya dengan sampah dedaunan. "Dasar mulut besar!" Roy langsung cekikikan. Shera sampai menatap Nana tidak percaya. "Serius kau pernah gemuk?" tanya Shera. "Ya, sekitar 5 tahun lalu. Pasca putus dari pacarku, bawaannya makan melulu. Tanpa terasa timbangan mendekati 100 kilo." "Apa? 100 kilo?" "Iya, aku olahraga mati-matian sampai bisa kembali ke bentuk semula." Shera memberi tepuk tangan atas usaha keras yang sudah pasti menyiksa Nana. "Kau hebat! Aku salut padamu." "Haha, jangan kau sebar lagi pada orang lain, kalau sampai Prisilla tahu, habis kau!" ancam Nana. "Oke, aku akan tutup mulut." Shera memberikan pergerakan seperti sedang mengancing bibirnya. Tidak lama kemudian, ketika mereka sedang asyik bercerita dan tertawa, tiba-tiba Bryan datang dan menghampiri mereka bertiga. Shera terkejut, ingat kalau tadi siang, pria itu memang menjanjikan diri untuk mengunjunginya di lapangan. Nana dan Roy saling melirik, "Siapa dia?" tanya Nana. "Bryan, teman satu kampusku," jawab Shera. "Eh, kau sahabat Alan, kan?" tanya Roy. Nana dan Shera terkejut, mereka kurang tahu masalah itu. Roy berdiri dan memperhatikan Bryan dari dekat. Pria itu menahan senyum, mengikuti arah Alan bergerak. "Ya, aku sahabat Alan." Shera kaget bukan main, tidak sangka kalau mereka berteman dekat. "Shera, bisa kita bicara?" tanya Bryan. Nana dan Roy menatap sahabatnya. "Shera, sepertinya aku baru ingat kalau kucingku belum makan." Roy mengajak Nana pergi. "Kucing? Aku belum pernah lihat kau pelihara kucing?" Shera dengan polosnya menggaruk kepalanya sambil mengingat hal itu. "Haha, kapan-kapan aku kasih tahu kucingku ya. Yuk, Nana!" Roy dan Nana pamit, meninggalkan mereka berdua di lapangan olahraga. Bryan tersenyum, Shera masih ditinggal dengan pikirannya akan kucing Roy. Bryan duduk di samping Shera dan memberikan kotak kecil berwarna merah jambu. "Buka lah," katanya. "Mmh, apa ini?" tanya Shera. "Untukmu." Bryan tersenyum manis padanya. Angin berhembus semilir, menerbangkan rambut Shera yang tergerai. Helaiannya menutup wajah dan membuat wanita itu tampak semakin cantik. "Terima kasih." Shera membuka bingkisan tersebut kemudian melihat sebuah pita rambut cantik berwarna ungu muda. Di ujung lapangan, saat Alan selesai menjawab panggilan dari Celine, dia melihat Shera duduk bersama sahabatnya. Termasuk saat Bryan memakaikan pita rambut yang dia berikan. Alan memutuskan bersandar di pohon dan memperhatikan mereka dari kejauhan. Alan sedang memperhatikan wanita yang akan menjadi istrinya besok, sementara kekasihnya terus saja tidak bisa ditemui dengan alasan sibuk. Padahal Alan ingin bertemu dan ingin jujur padanya kalau dia akan menikah, tetapi Celine terus saja mematahkan keinginannya itu dan membuat Alan kecewa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD